Kini, Virna sudah ada di dalam ruangan kerja milik Pak Hanzie yang masih satu area dengan area supermarket miliknya.
Tadinya, Virna malah berfikir pria itu akan membawanya keluar area Mall. Tapi ternyata tidak.
Lelaki berwajah dingin itu justru membawanya ke ruangan di mana biasa pria itu melakukan pekerjaannya sebagai bos.
"Virna Ratu Anggraeni. Punya makna filosofi, bunga anggrek, yang artinya bisa bertahan dalam situasi apapun."
Virna bengong ketika mereka sudah berada di dalam ruangan beraroma terapi itu, si bos jutek dan pelit justru mengomentari nama lengkapnya.
Dia saja tidak tahu makna dari nama yang diberikan oleh orangtuanya.
Yang ia tahu, ibunya selalu berpesan, jadi wanita itu jangan lemah, meskipun wanita identik dikenal punya fisik yang lemah. Itu saja.
"Bapak memanggil saya, ingin mengatakan hal itu?" tanya Virna sembari memberanikan diri untuk menatap wajah lelaki tersebut.
"Duduk!"
Pria itu memerintah, tanpa ekspresi.
Terpaksa, Virna menurut.
Gadis itu segera duduk di kursi, yang ada di hadapan sang bos yang juga sudah duduk sejak tadi.
Mereka duduk berhadapan dengan penghalang hanya meja di antara mereka.
"Kamu tahu arti nama kamu itu punya makna yang cukup dalam? Orang tua kamu pasti ingin kamu itu jadi wanita yang tangguh, aku lihat juga seperti itu, meskipun kamu baru saja bekerja di sini. Tapi, apakah kamu sadar, ada hal negatif yang tersirat dari makna nama kamu itu?"
Suara pak Hanzie terdengar dingin ketika mengucapkan kalimat tersebut.
"Makna negatif? Apa maksud Bapak?"
"Nama itu tidak ada gunanya, jika kamu tidak bersikap sesuai dengan apa yang tersirat dalam namamu itu."
"Contohnya? Memangnya, saya melakukan apa?"
Jemari tangan Pak Hanzie yang memegang pulpen mengerat. Seperti ingin mematahkan pulpen tersebut.
"Kamu tidak sadar? Kesalahan yang kamu perbuat? Kamu melakukan kesalahan demi kesalahan di sini dengan santai karena kamu kuat menghadapi situasi apapun sesuai makna nama kamu! Oleh karena itu, kamu tidak pernah mau introspeksi diri! Kamu menganggap kesalahan itu adalah hal yang biasa! Begitu, bukan!?"
Aura di ruangan itu langsung berubah menjadi aura membunuh. Virna tertunduk. Meski terkejut dengan apa yang diucapkan oleh bos-nya, gadis itu tetap tidak paham seberapa buruk sikapnya selama ini saat bekerja?
Ia hanya telat sesekali, apalagi saat ada Bee di kostnya. Ia harus memastikan kucing itu benar-benar aman ditinggal, karena hewan itu belum sepenuhnya sembuh.
Bukan sengaja ingin bersikap tidak disiplin.
"Saya mohon, Bapak mengatakan dengan jelas, kesalahan apa yang Bapak maksud tidak cocok dengan filosofi nama saya itu," pinta Virna dengan nada suara pelan tapi penuh rasa ingin tahu.
"Tidak disiplin. Itu yang tidak aku suka darimu!"
"Saya sudah mengatakan alasannya."
"Karena kucing? Astaga! Apakah pekerjaan di sini tidak penting hingga menurut kamu terlambat itu hal yang biasa?"
"Saya hanya terlambat sesekali, itu juga tidak sangat terlambat, apakah menurut Bapak itu tidak bisa dimaafkan? Lagipula, saya sudah menerima hukumannya bukan? Bapak meminta saya lembur tanpa bayaran sama sekali, itu sudah lebih dari cukup sebagai rasa tanggung jawab saya sebagai karyawan di sini!"
"Lalu tadi? Bagaimana kamu menjelaskan, tentang kejadian tadi?"
Virna terdiam. Sial! Gara-gara curhat soal suara aneh di kamarnya, ia jadi lupa daratan, hingga tidak menghiraukan jam kerja meskipun baru berjalan beberapa menit semenjak jam masuk ditetapkan.
"Maaf...."
"Kamu tahu? Aku tidak suka dengan karyawan yang suka menyepelekan sesuatu?"
Virna makin tertunduk.
"Apa yang kamu katakan pada Ismi, tentang kualitas lampu yang aku jual di sini?"
Spontan, Virna mengangkat wajahnya ketika Pak Hanzie mengatakan hal itu dengan suara makin terdengar dingin.
Astaga! Kasir satu itu! Apa saja yang ia laporkan pada Pak Hanzie hingga bosnya ini sampai tahu keluhan dirinya beberapa waktu yang lalu?
Pantas saja, wanita itu tadi bicara padanya saat melewati meja kasir, bahwa hari ini adalah hari terakhir dirinya bekerja di tempat ini.
Gawat! Mana ia sudah berhutang pada Morin pula.
"Pak, maaf itu hanya sebuah ungkapan perasaan sebal, karena dalam sepekan saya sudah selalu mengganti lampu beberapa kali," ucap Virna dengan nada suara terbata, tapi diusahakan untuk tetap tegas.
"Kamu beli lampu di sini semua yang bermasalah itu?"
"I, iya, Pak!"
"Lalu, dalam hitungan hari lampu yang kamu beli, putus?"
Virna mengangguk.
Pak Hanzie tertawa mencemooh.
"Kamu pikir, supermarket milik orang tuaku ini menjual barang palsu? Kamu bisa melihat keaslian barang yang terjual! Apakah untuk mengetahui hal itu saja kamu tidak bisa?"
"Saya tahu! Karena itulah, saya mengeluh! Saya yang merasa dirugikan, jadi wajar saya mengatakan kalimat itu! Bukan berarti saya mengatakan hal itu pada orang lain! Karena saya tahu, itu dilarang. Lagipula, saya tidak mengatakan barang yang dijual Bapak itu palsu saya hanya heran!"
"Kamu yang tidak tahu cara memasang lampu dengan benar!" tuduh Pak Hanzie dengan nada suara masih terdengar tidak bersahabat seperti yang sudah-sudah.
"Pak! Saya emang cewek! Tapi, bukan berarti perihal memasang lampu saja saya tidak bisa! Saya bisa! Jadi, saya yakin sekali kalau saya sudah memasang lampu itu dengan benar!"
"Dengan tubuh kamu yang tidak begitu tinggi itu?"
Virna mendelik, mendengar apa yang diucapkan oleh Pak Hanzie.
"Meskipun saya tidak setinggi Bapak, tapi saya bisa memanjat Pak!"
"Cara memasang lampu yang salah, bisa membuat lampu itu rusak! Jika rusak, maka pemakaiannya juga tidak akan awet!"
"Kenapa Bapak sangat yakin, kalau saya salah memasang lampu?"
"Karena tidak mungkin hanya dalam hitungan hari saja lampu yang kamu beli di sini itu selalu putus! Kamu mau merendahkan kualitas barang di supermarket ini?"
Astaga! Ada apa dengannya hari ini? Kenapa Virna seperti sedang dikutuk? Pagi-pagi sekali sudah disemprot oleh ibu kostnya gara-gara si Parjo tetangganya itu.
Lalu, ada suara aneh yang menyapa dirinya tanpa wujud, setelah itu sekarang ia sedang beradu mulut dengan bosnya gara-gara sebuah lampu!
Semua ini gara-gara mulut lemas kasir dengan dandanan menor itu! Ismi!
Virna ingin sekali mencekik wanita itu lantaran terlalu kesal. Apa maksud kasir itu menyampaikan keluhannya di hadapan Pak Hanzie? Cari muka?
"Pak. Saya minta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Tapi, Bapak harus percaya sama saya, saya tidak pernah mengatakan apapun tentang produk di sini pada orang lain, saya hanya bicara pada Ismi saja pada waktu itu."
Memilih untuk tidak membuat mereka semakin berdebat panjang, Virna akhirnya mengucapkan hal itu pada Pak Hanzie.
Memilih untuk mengalah saja, meskipun ia sangat dongkol dikatakan tidak bisa memasang lampu dengan benar hingga menyebabkan lampu itu selalu putus tanpa sebab.
"Aku masih tidak terima dengan hal ini."
Pak Hanzie tidak merespon perkataan maaf Virna. Padahal gadis berponi itu melakukan hal itu dengan susah payah.
"Jadi, apa yang harus saya lakukan untuk membuat Bapak bisa memaafkan saya?"
Virna bicara dengan nada frustasi.
"Bawa aku ke rumah kamu!"
"Hah?"
Tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh bos-nya, Virna sampai mengatakan "hah" dengan suara yang keras.
"Kenapa? Tidak berani?" sinis Pak Hanzie dengan ekspresi wajah yang bagi Virna terlihat sangat menyebalkan!
"Bukan tidak berani! Tapi, untuk apa?"
"Untuk membuktikan kebenaran bahwa kamu memasang lampu dengan benar!"
"Jadi?"
"Apakah lampu yang sekarang juga kamu beli dari supermarket ini?"
Virna mengangguk.
"Putus lagi?"
Virna juga mengangguk kembali.
"Aku yakin, dalam hubungan cinta, kamu juga sama seperti ini, selalu putus tanpa alasan!"
Wajah Virna merah padam mendengar apa yang diucapkan oleh Pak Hanzie dengan nada suara sinisnya itu.
"Jangan sembarangan dan sok tahu, Pak! Saya selalu putus? Saya bahkan belum pernah pacaran sama sekali!"
Wajah Pak Hanzie seketika berubah mendengar pengakuan jujur Virna!
Note: ada kejadian ada sebab, untuk itulah, kita tidak boleh menyimpulkan sesuatu dari apa yang kita lihat saja.
(Apakah Virna akan mengizinkan bos-nya itu untuk ke kamar kostnya? Stay terus di sini untuk tahu kelanjutan ceritanya ya, terimakasih sudah membaca)