"Ah. Akhirnya aku pulang ke rumah juga. Jenuh banget rasanya di rumah sakit hampir dua minggu. Nggak enak banget." kata Rania yang berjalan tertatih di bantu oleh Langit menuju ke dalam kamarnya.
Hari ini Rania sudah di perbolehkan untuk pulang setelah dia di nyatakan sembuh oleh dokter bedah yang merawatnya. Lukanya sudah membaik, meskipun belum sepenuhnya kering. Dan dia di haruskan untuk melakukan kontrol rutin untuk melihat perkembangan kondisi luka jahitannya.
"Iya. Tapi kamu harus hati-hati. Nggak boleh terlalu banyak bergerak. Bedrest dulu. Aku akan jaga dan bantuin kamu sampai kamu bisa memenuhi kebutuhan kamu sendiri. Aku akan tinggal di sini sementara waktu buat jagain kamu. Atau kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari pembantu. Biar aku yang cari." kata Langit setelah membaringkan Rania di atas tempat tidurnya.
"Aku nyaman-nyaman aja kok kalau kamu di sini. Tapi Ibu kamu beneran nggak kenapa-kenapa kalau kamu tinggal lama-lama? Soalnya kamu udah full nungguin aku di rumah sakit, sekarang harus full juga jagain aku di rumah. Aku jadi nggak enak terlalu ngerepotin kamu." kata Rania. Dia menggenggam tangan Langit.
"Nggak apa-apa. Kebetulan ada sepupu yang main ke rumah. Jadi dia bisa jagain Ibu. Dan aku bisa di sini jagain kamu. Aku udah ijin kok ke Ibu. Aku juga harus tanggung jawab kan karena kamu kayak gini gara-gara aku." Langit membalas genggaman tangan Rania. Dia menggenggam erat tangan Rania dengan kedua tangannya.
"Ngomong apa sih. Aku kan atlet karate. Jadi ya aku harus menggunakan ilmuku itu di saat yang di butuhkan. Kalau pun aku terluka, itu sudah menjadi resiko aku. Aku juga akan melakukan hal yang sama ke orang lain kalau aku melihat orang lain dalam masalah. Apa lagi kamu pacar aku, orang yang aku cintai, orang yang selalu ada buat aku. Jadi aku nggak akan mikir lagi buat melindungi kamu." Rania membelai lembut wajah Langit. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan penuh cinta.
"Seharusnya aku yang melindungi kamu. Bukan kamu yang malah berkorban demi aku. Maafin aku. Mantan atlet karate yang lemah ini." kata Langit lirih. Dia tertunduk. Dia tampak menyesal.
Rania menatap dalam ke arah Langit. Dia lantas memeluk lelaki di hadapannya yang begitu di cintainya itu. Dia memeluknya erat. Sangat erat.
"Udah ya. Nggak usah ngomong kayak gitu lagi. Aku nggak apa-apa. Aku udah sehat. Dan aku cinta banget sama kamu. Jadi aku rela melakukan apapun untuk membuat kamu bahagia. Bahkan aku rela mengorbankan nyawaku untuk kamu." kata Rania.
"Jangan Ran. Kamu jangan ngomong seperti itu. Aku bukan orang baik yang harus menerima cinta sebesar itu dari kamu. Aku bukan orang yang pantas untuk menerima pengorbanan kamu itu Ran. Jadi jangan mencintaiku sebesar itu." kata Langit lirih. Suaranya bergetar.
"Maksud kamu apa? Kita pacaran Mas. Dan kita saling mencintai. Aku juga ingin serius dan menikah sama kamu suatu hari nanti. Jadi wajar kalau aku mencintai kamu dan rela berkorban demi kamu. Tapi kenapa kamu ngomong kayak gitu? Kamu nggak cinta sama aku? Kamu nggak mau berkorban demi aku? Kamu nggak mau nerima cinta aku? Kamu nggak mau nerima pengorbanan aku?" Rania melepas pelukannya. Dia menatap tajam ke arah Langit. Tatapannya seakan menegaskan kalau dia meminta penjelasan.
"Maafin aku Rania. Maafin aku." Langit menunduk. Dia tak berani menatap Rania. Seakan dia telah membuat sebuah kesalahan besar yang tak akan pernah bisa di maafkan.
"Maaf untuk apa Mas? Kenapa kamu minta maaf? Kamu buat salah apa sama aku?" Rania kembali meminta penjelasan.
Langit tak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia tampak menyesal. Entah apa yang telah membuatnya menyesal. Entah kesalahan apa yang telah dia perbuat. Sehingga dia harus meminta maaf kepada Rania. Dia bahkan tak mau mengatakannya kepada Rania.
"Mas, coba kamu tatap mata aku. Kamu bilang sama aku. Kenapa kamu minta maaf? Mas jelasin ke aku kenapa kamu seperti ini?" Rania memegang tangan Langit. Dia menatap dalam ke arah mata Langit yang kini sudah mulai basah.
Langit tak bergeming. Dia masih diam dan menunduk. Seakan tak mau memberi penjelasan apapun kepada Rania.
"Mas..." Rania memegang wajah Langit dan mencoba untuk membuat Langit menatap matanya.
"Maaf." kata Langit setelah dia menatap ke arah mata Rania.
"Kenapa?" Rania masih berusaha mencari jawaban.
"Aku bahkan tak mampu mengatakannya." Langit berkaca-kaca.
"Kalau memang seperti itu, kamu nggak usah mengatakan apapun Mas. Aku maafin kamu, tanpa tahu apa kesalahan kamu. Aku mencintaimu, sebesar apapun kamu menyakitiku. Meskipun aku tahu, bahwa sampai detik ini kamu tak pernah menyakitiku." Rania membelai mesra wajah Langit.
"Jangan terlalu mencintaiku Rania." Langit berkata lirih. Matanya tampak sayu.
"Jangan mencoba memperingatkan seorang wanita yang sedang jatuh cinta Mas. Aku tak akan pernah mendengarkanmu." Rania tersenyum manis ke arah Langit. Dia tak tampak khawatir dengan permintaan maaf Langit. Dia seakan tak mau tahu apa yang membuat Langit meminta maaf. Yang dia tahu, dia tulus dan sangat mencintai Langit.
Langit menatap lekat ke arah Rania. Dia tak mengatakan sesuatu. Meskipun begitu, dari sorot matanya, Rania tahu kalau tatapan itu adalah tatapan penuh cinta.
"Dan jangan menatapku seperti itu. Jangan membuatku sudah merasa melakukan hal yang besar kepadamu Mas. Ini hanya hal kecil. Aku mencintaimu. Aku mau melakukan apapun untukmu. Bahkan kalau aku harus mati sekalipun. Aku bahagia melakukannya. Untuk kamu. Untuk kita." Rania memang begitu mencintai Langit. Cinta yang begitu besar. Sebesar galaksi dan tata surya. Mungkin.
"Rania. Jangan ngomongin soal mati ya. Aku nggak mau kamu ngomong bersedia mati buat aku. Aku nggak akan memaafkan diri ku sendiri kalau sampai itu terjadi. Janji?" Langit menggenggam tangan Rania dengan erat. Dia seakan takut kehilangan Rania.
"Iya. Janji. I love you Mas." Rania memeluk Langit. Sangat erat.
Langit tak menjawabnya. Dia juga seakan enggan membalas pelukan Rania. Tangannya meremas sprei di tempat tidur Rania. Air matanya jatuh. Bibirnya terkatup rapat. Dan badannya terasa kaku. Meskipun begitu, dia tak mampu menolak pelukan Rania. Ada rasa bahagia di hatinya. Meskipun hanya sedikit. Dia tak kalah berbunga seperti Rania.
Semakin lama Rania semakin erat memeluk Langit. Dia bahkan menarik tubuh Langit untuk berbaring bersamanya. Langit tak menolaknya. Dia menuruti apa yang Rania ingin lakukan.
Dan kini mereka sudah berbaring berdua di atas tempat tidur Rania. Rania seakan tak mau melepaskan Langit. Langit hanya menatap kosong ke arah langit-langit. Tampak dia memikirkan sesuatu. Entah apa yang di pikirkannya.
***