"Nez. Langit ngilang Nez." Rania yang kebingungan segera menelepon Inez agar datang ke rumahnya bersama dengan Kevin. Pagi-pagi sekali.
"Gimana ceritanya sih Ran? Bukannya kamu kemaren sempat bilang kalau Langit tinggal di rumah kamu selama kamu masih belum benar-benar pulih? Kenapa sekarang jadi ilang? Kamu bertengkar sama dia?" Kevin tak percaya dengan apa yang Rania katakan.
"Iya Vin. Dia tinggal di sini ada sekitar 2 minggu sampai aku benar-benar pulih. Tapi tadi pagi saat aku bangun, aku udah nggak lihat dia dan ada surat ini di atas meja makan." Rania menunjukkan surat dari Langit kepada Kevin.
"Baca yang keras dong Vin." pinta Inez. Dia penasaran dengan isi surat Langit tersebut.
"Oke. Dengerin ya. Teruntuk Rania. Wanita hebat ketiga yang aku temui setelah Ibuku dan seseorang yang ada di dalam hatiku, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku tak bisa terus berada di sisimu. Aku tak baik untukmu. Terimakasih karena kamu sudah menyelamatkan nyawaku. Aku tak akan pernah melupakan itu. Meskipun begitu, kamu harus tetap melupakanku. Semoga kamu bahagia. Langit." Kevin menarik napas panjang setelah membaca surat dari Langit tersebut.
"Gitu doang suratnya? Dia nggak ngasih alasannya kenapa dia bisa memutuskan untuk meninggalkan Rania? Dia nggak ngasih alasan kenapa dia bilang dia tak baik? Dan wanita yang ada di hatinya? Bukan Rania gitu? Maksudnya apa nih?" Inez tampak emosi.
"Aku nggak tahu Nez. Aku juga kaget. Kita hampir tiga bulan pacaran, tapi ternyata aku tak pernah ada di hatinya. Terus maksud dia apa macarin aku kalau dia nggak cinta sama aku? Apa dia punya niat jahat sama aku sebelumnya? Tapi karena hutang budinya sama aku, dia jadi mengurungkan niatnya? Aku nggak ngerti Nez. Padahal semalam masih baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba dia jadi seperti ini? Hatiku sakit banget Nez di tinggalin tiba-tiba seperti ini." Rania kembali terisak.
"Kamu tahu rumahnya nggak Ran? Biar aku samperin dia. Seenaknya banget ya dia kayak gitu sama kamu. Mentang-mentang ganteng dan kaya." Kevin mengepalkan kedua tangannya. Dia tampak tak terima melihat sahabatnya itu sakit hati.
"Iya nih. Aku juga pengen ngasih pelajaran buat Langit. Enak aja dia kayak gitu. Udah di selametin sampai Rania hampir mati, bisa-bisanya dia ninggalin Rania gitu aja. Jadi lelaki kok kayak gitu." Inez juga tak kalah emosi dengan Kevin.
"Kalau aku tahu, aku pasti udah langsung nyamperin dia setelah aku nemuin surat ini Nez, Vin. Sayangnya, aku tak tahu di mana rumahnya. Dia tak pernah mengajakku ke rumahnya."
"Kalau kayak gitu berarti bener dugaan kamu Ran. Dia ada niat jahat sama kamu awalnya, tapi karena kamu udah baik dan rela berkorban untuk nyelametin dia, dia jadi nggak tega buat melanjutkan kejahatannya. Akhirnya dia ngilang." kata Inez.
"Dia kemaren juga sempat berkali-kali minta maaf sama aku saat aku baru pulang dari rumah sakit Nez. Tiap kali aku tanya kenapa terus-terusan minta maaf, dia nggak pernah mau jawab. Tapi aku nggak curiga sama sekali karena dia selalu baik dan hampir nggak pernah membuatku kecewa dan sakit hati. Tapi hari ini, dia udah benar-benar membuat hatiku sakit." kata Rania dengan air mata yang terus mengalir.
"Kita benar-benar harus nyari tahu tentang dia nih Ran. Tapi gimana caranya ya." Kevin serius berpikir.
"Gini deh Ran. Kamu pernah kan telepon perusahaan milik Langit? Sekarang coba deh kamu telepon lagi. Kita tanya saja sama pegawainya. Siapa tahu mereka tahu di mana tempat tinggal Langit. Kalau nggak, kita samperin aja kantor dia. Mungkin aja kita bisa ketemu dia di sana." kata Inez.
"Nah, iya Ran. Kita ke sana aja deh sekalian. Kita cari sampai ketemu. Greget banget aku pengen ngajarin Langit etika. Biar nggak main pergi gitu aja." Kevin menambahkan.
"Tapi aku takut Vin, Nez. Bagaimanapun juga aku cinta banget sama dia. Bagaimana kalau aku malah semakin hancur setelah ketemu dia lagi? Aku nggak bakalan sanggup ketemu dia dan menerima kenyataan kalau dia orang yang jahat." Rania menunduk. Dia terlihat begitu terpuruk.
"Terus kamu mau biarin dia gitu aja Ran? Dia udah ninggalin kamu kayak gini. Padahal kamu cinta dan baik banget sama dia. Bahkan kamu juga terluka parah gara-gara nyelametin dia. Kamu berhak mendapat penjelasan apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa dia ninggalin kamu? Apa niat dia sebenarnya? Agar kamu bisa lebih mudah melupakan dia tanpa banyak pertanyaan yang tak akan pernah bisa kamu jawab sendiri Ran. Kamu berhak." Inez meyakinkan Rania.
"Nggak usah Nez. Aku lebih baik nggak tahu alasan dia sebenarnya. Daripada aku tahu dan aku akan lebih merasakan sakit hati yang berkali-kali lipat dari saat ini." kata Rania lirih.
"Rania. Kita sahabat kamu. Kita nggak mau kamu sedih. Setidaknya kita selesaiin ini sampai benar-benar selesai. Kita siap bantu kamu Ran." kata Kevin.
"Aku tahu Vin. Tapi aku benar-benar takut ketemu dia lagi Vin. Aku nggak mau." Rania bersikeras.
"Ya udah deh kalau itu mau kamu Ran. Kita nggak bisa maksa. Kita support apa pun mau kamu. Yang kamu rasa terbaik buat kamu, kita dukung. Tapi kamu jangan terlalu mikirin Langit. Jangan terlalu berlebihan sedihnya. Biar aku nggak kehilangan Rania yang pintar dan semangat seperti dulu." Inez memberi semangat.
"Iya Nez." Rania tersenyum. Senyum yang di paksakan.
"Semangat ya Ran. Semangat cari yang baru. Atau kalau kamu mau berubah pikiran, aku siap kok jadi penggantinya Langit." Kevin menggoda Rania.
"Kevin." Inez melirik Kevin.
"Hehe. Bercanda Nez." Kevin tertawa.
"Pantesan kamu kemaren di tolak sama Sweety kamu itu, kamu aja masih belum move on dari Rania." Inez mencibir Kevin.
"Hahaha. Aku yang mundur kali Nez. Sweety batal jadi pujaan hatiku." jawab Kevin.
"Lah, emangnya kenapa Vin?" Inez penasaran. Karena dia sendiri melihat bagaimana Kevin mulai menyukai Sweety setelah Rania menolaknya.
"Ah. Rahasia deh kalau itu. Yang jelas. Dia jadi bukan tipe aku setelah aku kenal dia lebih jauh. Beda sama Rania. Sampai kapanpun dia akan tetap jadi tipe aku." Kevin tersipu sambil melirik ke arah Rania.
"Mulai deh." Inez kembali menghentikan Kevin.
"Hehe. Iya-iya." Kevin tersenyum.
"Hah. Seandainya kamu itu Langit Vin. Aku pasti bahagia banget." Rania menyenderkan kepalanya di senderan sofa di ruang tamunya.
"Udah Ran. Lupain aja ah. Kita temenin kamu ya malam ini. Kita nginep sini." kata Inez.
"Iya Ran. Lagipula kita kan lagi libur satu bulan, jadi bisa deh kalau kita di sini setiap hari biar kamu nggak sendirian." Kevin menambahkan.
Rania menatap kedua sahabatnya itu. Kemudian dia mengangguk pelan tanda dia setuju jika Inez dan Kevin menginap.
"Ya udah kalau gitu. Kita keluar dulu yuk. Mumpung masih belum panas nih. Kita pergi ke mall, makan, nonton, biar kamu seneng. Biar kamu sedikit bisa melupakan Langit." ajak Inez.
"Iya yuk. Aku juga laper belum sarapan tadi. Dapet telepon dari Inez, habis mandi langsung lari ke sini." Kevin memegangi perutnya.
"Oke deh. Aku ganti baju dulu ya. Kalian kalau haus ambil minum sendiri di belakang." Rania berdiri dan berniat untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Siap!" kata Inez dan Kevin bersamaan.
***