"Mbak Ana, ditunggu mas Benandra, di private zone."
Lidia berbicara di meja kasir. Ben. Masih ingat aku rupanya. Ini sudah satu minggu semenjak pengakuan cintanya kepada Sera dan saatnya aku bicara dengannya.
"Vivi, mana?" Aku menghampiri Lidia.
"Vivi, belum datang Mbak, dari pagi."
Aku mengernyit kemudian memeriksa jam di pergelangan tanganku. Lalu merogoh tas dan tidak menemukan pemberitahuan apapun di ponsel. Akhir-akhir ini, Vivi memang sering menghilang tidak jelas. Gerak-geriknya juga sangat mencurigakan. Tidak biasanya dia seperti ini.
"Ruang VIP, ada yang sewa?"
"Ada, Mbak." Tumben.
"Atas nama siapa?"
Lidia yang masih berdiri di kasir langsung memeriksa komputernya. "Atas nama, Rahsetia Ainaya Islami." Jawab Lidia sambil membaca daftar nama di komputer. Naya?
"Oke, terima kasih."
"Sama-sama, Mbak."
Kemudian, aku menggandeng Rey menuju ruang VIP. Begitu aku membuka pintu ruang VIP, aku menemukan Naya sedang di depan komputer dengan wajah yang mengenaskan. Rambut coklatnya diikat ke atas asal-asalan. Tangannya sibuk menekan huruf-huruf di atas keyboard sambil sesekali berdecak kesal. Makanan ringan, kaleng minuman soda, berserakan di mana-mana mengotori lantai.
"Nay,"
Dia tidak menjawab, masih sibuk dengan komputernya.
"Naya!"
Panggilku sekali lagi lebih keras dan kali ini wanita itu menoleh.
"An," dia nampak terkejut dan membenarkan letak kaca matanya.
"Ada apa dengan ruang vipku dan, kau?"
Aku berjalan masuk sambil sesekali berdecik jijik saat kakiku menginjak sampah bekas makanan. Dia harus membersihkan semua ini.
"Aku stress." Dia mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. "Aku harus sidang bulan depan. Sementara penulisanku masih setia di bab 2, sama sekali tidak berubah." Dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi mengempaskan rasa lelah. "Bisa beritahu aku, apa yang harus aku lakukan?"
"Selesaikan!" Semburku tanpa pikir panjang.
Dia memutar bola mata.
"Nenek-nenek sekarat juga tahu." Gerutunya. Dan aku tertawa melihatnya. "Kau tidak bisa membantu." Dia mengibaskan tangannya ke arahku.
"Alhamdulillah kalau begitu, jadi aku tidak perlu repot." Aku menarik tangan Rey, dan membawa ke hadapan Naya. Naya yang melihat Rey, langsung berdiri.
"Siapa ini?" Dia mendongak kearahku. "Ooowww, he is so cute." Naya mencubit pipi Rey, tapi Rey langsung mengerut dan merapatkan tubuhnya padaku seakan minta pertolongan. Aku memang belum cerita apapun tentang Rey pada Naya.
"Nay, jangan menakut-nakutinya."
"Kau pikir aku, Fay." Dia menggerutu.
"Oke, langsung saja. Aku titip Rey sebentar. Ada Ben di sini dan aku harus bicara padanya. Oke?"
"Tidak oke." Katanya cepat. "Pertama, aku harus tahu anak ini siapa? Kedua, ceritakan padaku apa yang terjadi antara kau, dan Ben? Karena si sialan Fay tidak mau menceritakan apapun padaku. Dia memang senang melihat orang memohon-mohon padanya."
"Pertama, dia namanya Rey. Kedua, aku tidak punya banyak waktu untuk membicarakan hubunganku dengan Ben, padamu sekarang. Jadi, aku mohon untuk menjaga Rey, sebentar saja. Please."
Tanganku bersedekap di dada. Naya langsung mengangguk. Dia memang tipikel orang yang tidak pernah tega menolak bantuan siapa pun. Kadang itu yang membuat orang sering memanfaatkannya.
"Nah, Rey, ini namanya tante Naya. Rey di sini dulu bersama tante Naya, yang mulia ratu masak sebentar untuk Rey."
"Baik, yang mulia ratu."
"What, tunggu. Yang mulia ratu? Siapa? Kau?"
Ucap Naya serta merta sambil memandangku dengan pandangan terkejut.
"Ya."
"Cih," dia menyunggingkan ujung bibirnya tidak suka. "Kalau begitu aku permaisuri." Katanya bangga sambil membusungkan dada.
"Permaisuri itu harus punya pasangan. Memangnya kau punya?"
Aku tergelak kemudian pergi tanpa menunggu dia membalas kata-kataku.
"Lebih baik sendiri menunggu orang yang tepat, daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah."
Aku yang sudah berdiri di ambang pintu langsung berbalik mendengar kalimat Naya. Gadis itu sudah terkekeh puas di tempat membuat aku meradang. Lalu kuacungkan jari tengahku padanya sambil menggumam kata 'fuck' tanpa suara dan membanting pintu keras-keras.
***
Ben, duduk di kursi panjang putih yang membelakangi jendela. Dia hanya diam tidak melakukan apapun seperti patung maskot yang ada di restoran cepat saji. Rambutnya yang kering begitu tampak kusut karena tidak di sisir. Wajahnya kusam dan lingkar hitam disekitar matanya nampak jelas terlihat. Menandakan, bahwa mungkin dia tidak pernah terlelap hampir setiap malam.
Aku mendekat ke arah Ben. Membuatnya menyadari keberadaanku setelah aku duduk di sampingnya. Tatapan matanya begitu sendu saat melihatku. Sesuatu yang sedih dan tak terjelaskan melintas di wajah Ben.
"Apa aku sudah bisa mendengarkan apa yang ingin kau katakan?"
Kini aku memalingkan wajah dari tatapan Ben. Aku tidak bisa terus menatapnya, sementara pikiranku melayang memikirkan betapa kacau balau nya Ben, dikarenakan wanita bernama Sera.
"Kurasa memang sudah seharusnya kau mengatakan semuanya Ben. Satu minggu kau menghilang, tidak menghubungiku sama sekali. Sudah seharusnya kau mendapat sebuah keputusan." Ben tetap bergeming. Tidak ada tanda-tanda dia menjawab perkataanku.
"Apa kau lupa, bahwa kita ini bertunangan?"
"Tidak!" jawab Ben serta merta.
Pertunangan, seperti segala hal yang ada di semesta, mulai terasa tidak berarti. Abstrak.
"Kalau begitu, biarkan aku tahu segalanya."
Ben bergerak di tempat. Tangannya mencengkeram pundaku hingga secara otomatis tubuhku menghadapnya.
"Maaf."
Dari sekian banyak kosakata yang bisa dia ucapkan, hanya kata 'maaf' yang keluar dari bibirnya. Aku tersenyum kecil mengingat apa kata Abi. Ben, memang memiliki krisis komunikasi.
"Aku menyusulmu ke Bandung dan bertemu dengan mang Agus di sana. Beliau adalah mantan karyawan di perkebunan teh ayah. Seperti yang bisa kau tebak, aku mendengar semuanya dari mang Agus. Tentangmu, Sera dan Abi. Semuanya Ben. Semuanya."
"Maaf."
"Ben kau tidak bisa mengulang kata maaf beberapa kali. Kau bisa mengatakan apapun padaku agar aku bisa mengerti. Kita akan menikah, hidup bersama-sama sampai salah satu diantara kita mati. Sudah sepantasnya kita membicarakan sesuatu satu sama lain. Mengenai hidupmu, mengenai hidupku, mengenai kita, hingga aku tidak terus-menerus menerka-nerka apa yang terjadi pada kita."
Tidak ada pergerakan sama sekali darinya. Aku tidak mengerti bagaimana bisa, Ben diam saja disaat semuanya sudah terlihat jelas. Tangannya yang masih berada di kedua bahuku turun menyusuri kedua tanganku, kemudian menarik tubuhku dan menyerukkan ke dalam pelukannya.
Kepalanya terbenam di bahuku. Bertahan dalam posisi tersebut hingga aku mulai mengulurkan kedua tanganku membalas pelukannya. Saat Ben merasa aku mulai mengusap lembut punggungnya, dia semakin mengeratkan pelukannya. Beberapa kali dia menciumi bahuku yang tertutup rambut.
"Ben," Aku menghela napas. "Boleh aku bertanya sesuatu?" Dia mengangguk. "Jika kau mencintai Sera," napasku tersendat saat bibirku menyebut nama wanita itu. "Kenapa kau pergi meninggalkannya?"
Napas Ben teratur, embusan yang keluar dari hidungnya menerpa kulit leherku saat dia menyibakkan rambutku.