Chereads / Him, and his secret / Chapter 1 - Bukan Angelina Jolie

Him, and his secret

🇮🇩Mirna_Wati_1433
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 23.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bukan Angelina Jolie

PROLOG

Berada di bawah sinar matahari yang lewat dari jam 10 pagi membuat semua manusia lebih sensitif dari biasanya. Ujung kepala seperti ditanami duri-duri tajam yang menusuk kulit. Akibatnya setiap orang bisa saja melakukan gerakan tiba-tiba yang membahayakan, jikalau ada hal yang membuatnya merasa terancam.

Misalnya, mereka bisa saja melakukan baku hantam jika ada yang menghalangi jalannya yang terburu-buru demi menghindari efek dari matahari yang menyengat. Apalagi akhir-akhir ini Indonesia seperti sedang mengalami krisis udara sejuk, di mana-mana kekeringan. Global warming memang sudah waktunya dikhawatirkan.

Tapi hari ini ada beberapa faktor yang membuat dampak panasnya matahari menjadi dua kali lipat (sebenarnya tidak begitu yakin tapi yang jelas panas sekali). Rasanya seperti teroris yang siap melepas bom di titik sasaran. Penuh semangat kebencian yang membara. Sama sepertiku.

Aku berjalan cepat dan semangat seperti panglima perang. Keringat mengucur di mana-mana. Pasokan udara sejuk pun telah tiada, yang ada di pikiran hanya menuju tempat sasaran secepat mungkin. Sudah ingin meledakkan bom yang ku pegang di tangan sedari tadi. Sudah tidak sabar, sudah mau buru-buru.

Tapi bukan hidup namanya kalau tidak ada cobaan. Beberapa kali aku harus menepis tangan Nessa yang berusaha mencekal lenganku agar mengurungkan niat untuk melepas granat yang menyala-nyala siap tempur. Lama-lama aku jadi heran sendiri, yang sebenarnya dikhianati siapa?

"An, tunggu!" aku terpaksa berhenti begitu tangan Nessa berhasil menahanku lagi. "Kau tidak boleh terbawa emosi seperti ini, ibuku pernah bilang kalau jadi wanita harus bisa jaga sikap dan perilaku. Marah itu adalah sarangnya setan. Kau harus sabar."

Jika wanita selalu mengalah terhadap keadaan yang tak menguntungkan lantas apa artinya perjuangan Raden Ajeng Kartini kita selama ini demi memperjuangkan emansipasi wanita. Kurasa jika ibu Kartini masih hidup, beliau akan menangis.

"Itu menurut ibumu, 'kan? Demi ibuku yang ada di surga beliau tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Jadi aman."

Mata Nessa berkeliaran tidak tenang seperti mencari tempat persembunyian dari pembunuh berantai. Aku tahu wanita seperti Nessa adalah jenis manusia yang akan terus menghindar dari keributan. Lebih baik hidup damai walau tersakiti dibanding dengan terlibat permusuhan dengan seseorang. Tapi wanita seperti Nessa juga membutuhkan pembelaan, karena dia tidak akan, atau tidak pernah bisa membela dirinya sendiri.

"An, aku tidak ingin masalahnya menjadi tambah rumit. Aku bisa menyelesaikan masalahku dengan Dion secara baik-baik."

"Dionmu itu tidak bisa di selesaikan secara baik-baik. Penyelesaiannya harus lewat jalan pintas."

Aku kepalkan tangan ke udara seperti petinju yang siap bertarung. Nessa melihat kepalan tanganku dengan tatapan ngeri. Tangannya berusaha meraih tanganku, menurunkannya dengan hati-hati ke sisi tubuhku.

"Ya ampun, An." Nessa menutup kedua telinganya. Berlebihan. "Terakhir kau meninju Rio dan berhasil membuatnya menginap di rumah sakit."

"Kalau begitu aku akan langsung mengirim Dionmu itu ke neraka."

Seiring bertambahnya kecepatan langkahku Nessa meneriakan namaku kencang dari belakang. Tepat di depan pintu cafetaria aku berhenti sejenak demi mencari keberadaan cecunguk yang telah meremukan hati Nessa. Sayangnya Nessa cinta mati pada laki-laki berengsek yang tidak berguna itu.

"Kau tinggal tunjukan saja yang mana orangnya."

Kedua tanganku berkacak pinggang persis seperti tukang jagal yang siap memotong kepala sapi. Aku memanjangkan leherku dengan mata yang masih mengawasi keadaan cafe. Cukup ramai untuk melakukan keributan dadakan di siang hari. Mungkin cafe ini juga butuh pertunjukan sejenak.

"Yang mana?!" Nessa terlonjak kaget saat kuteriakan suara lantangku di dekat telinganya. Nessa memegang dadanya oleh kedua tangan. Mulutnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra.

"Yy-yyang itu," Nessa menunjuk kedalam cafe. "Yang memakai kemeja biru laut, kaca mata berbingkai coklat, sedang duduk bersama teman-temannya di dekat meja kasir. Yang tampan."

Kali ini aku mengernyitkan dahi. Yang tampan? Sudah di khianati masih saja bilang tampan. Secara bersamaan mataku otomatis mencari keberadaan seorang pria sesuai dengan deskripsi yang Nessa utarakan.

Di ujung dekat jendela ada segerombolan pria yang sedang berbincang-bincang. Kemeja biru laut, kaca mata, tampan. Tidak salah lagi. Begitu aku menemukan tersangka, aku langsung ambil langkah siap-siap meledakkan granat di kepala pria itu.

Langkah ku semakin melebar sambil membayangkan adegan Angelina Jolie di film Salt yang berjalan hendak melempar beberapa granat di tempat persembunyian bos mafianya. Tidak menunggu lama begitu aku sampai di depan pria kemeja biru laut, kaca mata, tampan, langsung kutarik ke atas kerah kemejanya dari belakang dengan sekuat tenaga. Untuk menambah kesan menyeramkan ku beri tatapan membunuh padanya.

"Oh, jadi ini si berengsek yang sudah menyakiti hati sahabatku. Si pengecut yang tidak tahu malu menghamili istri orang lain. Memang tampan," mataku meneliti setiap jengkal tubuhnya yang terpaksa harus ku akui memang tampan. "Tapi sayang, wajah tampanmu harus ku habisi."

Dengan gaya Bruce Lee yang seadanya, bermodalkan nekat dan emosi, karena dasar bela diri pun tidak punya, ku layangkan tonjokan amatir tepat di wajah tampannya dengan sekuat tenaga meniru adegan paling keren di setiap film action yang ingin aku lakukan di kehidupan nyata.

Badannya terjungkal ke belakang menubruk kursi-kursi kayu kemudian ambruk tepat ke lantai dengan wajah mencium ubin. Aku tersenyum bangga menyambut kemenangan. Kudengar suara teriakan orang-orang di dalam cafe mengiringi lagu kemanangan ku.

"An, astagfirullah!"

Ku dengar suara Nessa memekik dari kejauhan. Tanpa aku sadari gadis berambut hitam kelam itu sudah berada di sampingku dengan wajah panik. Lalu dengan terburu-buru menghampiri Dion sambil menyingkirkan kursi-kursi kayu berwarna coklat yang menutupi tubuh tinggi pria itu.

Dion masih tersungkur di lantai. Teman-temannya langsung membantu memapah Dion untuk berdiri. Setelah dengan susah payah membantu Dion dan mendudukannya di kursi, pria itu menatapku dengan tatapan tanya penuh kebencian. Tangannya sibuk mengusap hidungnya yang mengalir darah segar hasil dari pukulan dewaku. Bagaimana? pukulanku cukup membuat wajahnya babak belur.

"Pak Abi."

Ada nada lirih yang lolos dari bibir Nessa dan sukses membuat pendengaranku agak sedikit gatal saat Nessa menyebut nama Dion. Maksudnya Nessa memiliki panggilan sayang kepada Dion dengan sebutan Abi. Umi dan Abi begitu?

"Ya ampun, Pak Abi, maafkan saya."

Semakin lama hatiku malah semakin tidak tenang. Seiring rasa kebingungan yang mendera Nessa bangkit berdiri kemudian menghampiriku dengan ekspresi wajah yang siap melahapku hidup-hidup. Si putri Solo ini sejak kapan punya muka judes.

"Lusiana," dia menggeram. Menakutkan. "Dia bukan Dion. Dia, Pak Abi, bos aku."

"HAH?"

Sejak saat itu dunia jadi gelap.

Ada saatnya sang pemberantas kebenaran lalai dalam tugasnya kan? Seperti salah sasaran.

Bersambung