BUTUH strategi khusus untuk membuat suatu sebuah usaha itu sukses, dan strategi yang tepat sasaran itu adanya di dalam otak yang pintar. Otak yang pintar adanya di dalam tempurung kepala Vivi.
Senyum mengembang begitu saja tercetak di wajahku ketika Vivi dengan mantap menutup pidatonya tentang strategi untuk cabang Read Eat yang baru.
"Vivian, kau memang jenius."
Aku memang beruntung memiliki Vivi yang otaknya encer walau saat kuliah dulu Vivi adalah anak yang sangat pemalas, jarang masuk kuliah, bahkan kuliahnya pun tidak selesai sampai sekarang. Tapi suksesnya Read Eat juga berkat campur tangan Vivi si cewek half dan bar bar.
Read Eat merupakan bisnis yang bergerak di bidang kuliner dan perpustakaan untuk umum. Aku sengaja membuat usaha seperti ini dengan misi mengenyangkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Awalnya hanya ingin membuat sebuah tempat yang nyaman untuk para mahasiswa agar dapat mengerjakan tugas dengan tenang. Kemudian berkembang menjadi sebuah perpustakaan dengan banyak buku-buku pengetahuan di segala bidang pelajaran dan juga buku-buku fiksi.
Demi membuat pengunjung perpustakaan lebih nyaman maka aku membuat restauran yang aku jadikan satu gedung. Restauran di lantai bawah sementara perpustakaannya di lantai atas. Vivi dan bang Arsenio kemudian menyulap Read Eat menjadi tempat yang cozy. Menjadikan perpustakaan bukan lagi tempat yang membosankan.
Bang Arsen membuat perpustakaan dengan gaya desain interior yang sangat modern. Tempat yang membuat semua orang betah berlama-lama di perpustakaan. Sekaligus tempat yang sangat cocok dijadikan tempat diskusi.
Read Eat menjadi lebih sempurna setelah bang Arsen membuatkanku sebuah ruang pribadi dengan ukuran sedang. Ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku kesayanganku, sengaja ditaruh di rak-rak yang berjejer rapi. Aku sangat berterima kasih atas Private Zone yang telah didirikan oleh bang Arsen membuat aku memiliki ruang membaca yang sangat nyaman.
"Kau yakin, Vivi wanita sungguhan?" Tanya bang Arsen begitu Vivi ijin ke toilet. Aku mendelik heran sambil mengaduk- ngaduk milkshake stroberi.
"Di dalam kartu pengenalnya tertera bahwa jenis kelaminnya perempuan." Jawabku enteng lalu menyesap minumanku.
Ini bukan pertama kalinya aku mendapat pertanyaan seputar kejelasan jenis kelamin Vivi apalagi pertanyaan bang Arsen terus-menerus di lontarkan tanpa henti semenjak pertemuan pertama kami dua tahun yang lalu.
Sekarang, aku dan Vivi bertemu kembali dengan bang Arsen setelah satu tahun tidak bertemu dan ternyata pertanyaan soal kejelasan jenis kelamin Vivi masih bersarang di benaknya tanpa penjelasan. Gadis yang memiliki gaya tomboy persis seperti laki-laki (bahkan lebih cocok dipanggil tampan daripada cantik) membuat orang-orang ragu dengan status jati dirinya.
"Lalu, kau percaya begitu saja?" Bang Arsen melirik ke arah toilet mengawasi bahwa Vivi belum keluar dari toilet.
Melihat rasa penasaran bang Arsen yang semakin tinggi membuat aku ingin mempermainkannya. Aku mengerutkan dahi dibuat-buat.
"Ketika kami masih duduk di bangku kuliah, kami pernah naik gunung, dan saat di homestay aku mandi bersama dengannya. Aku masih ingat onderdilnya sama denganku. Tapi itu kan dulu sekali, kalau sekarang aku tidak begitu yakin."
Aku mengangkat kedua bahu seolah tidak peduli dan sukses membuat bang Arsen melotot.
"Nah, yang jadi permasalahannya dia normal tidak? Jangan-jangan kau dengan dia.."
"Sana bicara saja dengan bokong wajan!" aku menjejalkan kentang goreng kedalam mulut bang Arsen dengan paksa lalu tertawa terbahak melihat wajah bang Arsen penuh kentang goreng. Bang Arsen mendelik tapi tetap mengunyah kentang goreng yang terlanjur masuk kedalam mulutnya.
"Bisa tidak berpikirnya tidak terlalu kreatif begitu? Jangan mentang-mentang pacarku nan jauh di mato, lantas aku melampiaskan hasratku ini dengan sesama jenis. Vivi, pula. Lagi pula untuk apa mempermasalahkan jenis kelamin Vivi. Kalau dia tidak normal, Bang Arsen mau apa? Mau mengubah Vivi menjadi seperti Ralin Shah? Bisa-bisa usahaku bangkrut." Ucapku serta merta dan bang Arsen terkikik geli.
"Apa hubungannya usahamu dengan Vivi menjadi Ralin Shah?"
"Jika Vivi menjadi seperti Ralin Shah sudah bisa dipastikan otaknya juga menjadi bodoh. Lalu jika Vivi bodoh siapa yang akan menjadi otak Read Eat? Hafidz?"
Bang Arsen memutar bola matanya saat mendengar nama Hafidz disebut. Hafidz adalah sepupu bang Arsen sekaligus teman kuliahku yang kelakuannya tidak bisa dibilang waras. Otaknya jungkir balik, kerjaannya mantengin layar komputer seharian mencari script agar bisa membobol website milik pemerintah demi menaikkan popularitasnya sebagai wizard. Dan sudah bisa dipastikan Hafidz sama sekali tidak cocok menjadi CEO ataupun memimpin sebuah bisnis seperti Read Eat.
"Bisa kacau jika Hafidz yang menjadi otak Read Eat. Read Eat bisa menjadi markas Hacker terselubung."
"Maka dari itu, Bang Arsen tidak perlu repot-repot mempermasalahkan jenis kelaminnya, Vivi. Dari dulu gayanya memang seperti itu. Walaupun aku tidak pernah melihatnya kencan dengan laki-laki tapi aku yakin dia normal."
"Tapi jika dilihat-lihat, Vivi lumayan cantik kalau saja dia mau berpakaian sedikit lebih feminin."
Nah keluar deh buayanya.
"Jika dia menjadi feminin aku jamin anak itu tidak bisa diselamatkan darimu," Bang Arsen terlonjak tidak terima. "Yang ada kau akan menyekapnya semalaman di kamar seperti tawanan dan ketika dia keluar dari kamar aku pastikan dia akan berjalan dengan tidak benar."
Bang Arsen terkikik geli paham dengan apa yang kumaksud.
"Otakmu busuk sekali."
Bukan rahasia lagi kalau kelakuan bang Arsen memang sudah tidak normal. Seharusnya di usianya yang sudah menginjak kepala tiga dia menjadi pribadi yang lebih baik, mencari wanita untuk dinikahi, punya anak, bahagia. Bukan keluyuran tengah malam, pergi ke kelab, berganti wanita tidak jelas. Mulai dari ABG hingga istri orang.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Awalnya aku berdecak kagum saat mengetahui track recordnya dalam mengencani wanita tapi setelah mengenal lama aku mulai terbiasa, justru sekarang aku menginginkan bang Arsen hidup lebih baik dari sekarang. Dia sudah seperti kakak laki-laki bagiku.
"Isi kepalamu yang kotor. Sudah aku bilang tidak usah membahas jenis kelamin Vivi. Lebih baik, Bang Arsen mengurusi pembangunan cabang Read Eat di Bogor. Kapan Read Eat akan mulai dibangun?"
Sebenarnya bang Arsen bukan arsitek yang ingin menangani proyek ecek-ecek seperti ini. Kelasnya sudah level atas, yang dia tangani adalah gedung-gedung bertingkat bukan restoran kecil-kecilan, tapi karena aku adalah teman Hafidz jadi bang Arsen -pria campuran Indonesi Jerman ini- mau membantu. Hitung-hitung membantu teman katanya.
"Aku belum bisa memastikan kapan akan mulai dibangun. Pertama, kita harus meninjau langsung tempatnya, kedua masih ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti mengukur luas tanahnya. Karena tanah Read Eat yang di Jakarta dengan yang di Bogor berbeda. Masih ada banyak hal lain lagi yang harus diselesaikan sebelum mulai membangun. Tapi kau tenang saja, itu menjadi urusanku."
Pulpen yang ada di tangan bang Arsen diantukkan dengan mulus ke kepalaku meninggalkan sedikit rasa sakit. Aku berdecak sementara bang Arsen tertawa kemudian mengusap kepalaku yang terkena pukulan pulpen.
"Besok kau harus ikut ke Bogor."
"Tidak masalah, asalkan konsepnya di samakan agar tidak menghilangkan identitas. Jangan lupa private zone untukku."
"Siap!"
Begitu kulihat Vivi kembali dari toilet aku langsung antusias.
"Besok kita ke Bogor untuk meninjau tanah untuk cabang Read Eat."
Vivi merapikan rambut bondolnya. "Setelah mengantar katering?"
Ya Tuhan aku sudah melupakan yang satu itu. Besok waktunya mengantar katering ke BBC bank. Itu sama saja seperti mengantar ular kepada pemukul. Aku akan bertemu Pak Abi bosnya Nessa, jika besok aku bertemu dengannya habislah riwayatku. Kenapa aku bisa sebodoh ini.
"Nanti kita bicarakan lagi." Aku berbisik pada Vivi dan bersyukur pada saat itu juga Vivi langsung mengerti dengan maksudku.
"Kalau begitu aku pergi. Masih ada urusan."
Bang Arsen bangkit berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya sambil mengulum senyum. Dia pasti akan menemui salah satu teman kencannya.
***
Setelah pekerjaan hari ini selesai, ku raih ponsel, mencari nama Nessa untuk segera menghubunginya. Tak berselang lama sambungan telepon pun di angkat. Anak itu seperti memang sedang menunggu aku untuk menghubunginya.
"Hallo, Nes,"
"Hallo, An,"
"Nes, bagaimana kabar bosmu? Dia baik-baik saja?"
Jantungku tiba-tiba bertalu cepat seperti menunggu hadiah undian makan malam bersama Lee MinHo. Terdengar suara gaduh di sana.
"Ya ampun An, bosku marah besar padamu. Kalau bukan karena aku yang membujuknya, pak Abi akan membawa kasus pemukulan ini ke kantor polisi."
"HAH?!" aku bangkit berdiri. Sikapku membuat Vivi menoleh lalu menghampiriku. Aku mengibaskan tangan pada Vivi saat Vivi mencoba curi dengar pembicaraanku. "Memangnya separah apa wajah bosmu, sehingga akan melaporkanku ke polisi?"
"Dia bilang bukan masalah babak belur atau tidak, tapi sudah termasuk ke dalam perbuatan tidak menyenangkan."
"Ya ampun Nes, lalu bagaimana jika aku sampai di penjara? Bagaimana dengan masa mudaku? Bagaimana dengan rencana pernikahanku, Nes?"
Sebelum mendengar jawaban Nessa ponselku telah berpindah ke tangan Vivi.
"Siapa yang akan memenjarakan Ana?"
Suara Vivi terdengar marah, raut wajahnya begitu serius. Tapi beberapa menit kemudian ekspresinya berubah, Vivi mengembungkan kedua pipinya sebelum dia menyeburkan tawa begitu keras.
Aku yang sedang panik meraih ponselku cepat, tapi sambungan telepon sudah berakhir. Vivi masih tertawa sementara aku di sini merasa geram.
"Vi!"
Tawa Vivi perlahan mulai berhenti. Dia mengatur napas lalu menatap wajahku. Kedua pundaku di cengkeram oleh kedua tangannya membuat hatiku semakin was-was.
"Tenang An, Read Eat biar aku yang jaga." Katanya dengan tatapan yang serius. "Lebih baik sekarang juga kau harus menghubungi pengacara."
Apa? Ya Tuhan karirku berakhir. Pernikahanku kandas.
Bersambung...