Saat dia menyadari keberadaanku tangannya langsung menutup buku tersebut dan menyimpannya di rak buku yang di cat warna pink salem. Kemudian berdiri dan memberiku salam.
"Aku, Abyan." Bisa kudengar suara baritonnya sukses membuat bulu kudukku meremang. Oh ini pasti karena pendingin ruangan yang derajatnya terlalu kecil.
"Lusiana. Panggil, Ana, saja."
Aku duduk di sofa berbentuk bundar tanpa penyangga pada setiap sisinya tepat di hadapannya dengan susah payah. Sungguh saat pertama kali masuk ke ruangan ini jantungku sudah berdetak tak beraturan. Abi kembali duduk memerhatikanku dengan raut wajah penuh tanya.
"Oh maaf, aku sedang flu," ucapku begitu menyadari ekspresi wajahnya meminta penjelasan. "Jadi, agar tidak menularkan penyakitku, dengan sangat terpaksa aku memakai masker. Apa kau merasa terganggu?"
Wajahnya kembali normal kemudian menggeleng cepat.
"Tidak sama sekali." Katanya. Aku bernapas lega.
"Oke, langsung saja. Ada keperluan apa kau ingin bertemu denganku?"
"Begini, aku bekerja di BBC bank tempatmu mengantar makanan katering kepada karyawan disana. Keperluanku kesini untuk melakukan kerjasama denganmu secara personal."
Hah? Personal?
"Apa kau bisa membuat makanan sehat untuk anak usia 5 tahun?"
Mataku mengkerut, raut wajahnya menyiratkan harapan dengan membentuk senyuman yang manis.
"Bisa, Pak." Aku mengangguk yakin dengan penuh semangat.
"Oke. Aku ingin kau membuatkan makanan sehat untuk putraku setiap hari selama dua bulan penuh. Pada pagi, siang, dan malam hari. Dan aku ingin makanannya diantar langsung ke rumahku. Apa kau bisa?"
Kedua bola matanya yang di bingkai kaca mata jatuh tepat ke mataku. Tanganku meremas bantal sofa yang ada di pangkuanku demi menghilangkan gugup. Duduk di sofa yang empuk bersama Abi dalam kondisi yang tidak pas benar-benar seperti duduk diatas bara api. Panas dan mematikan.
Ku perhatikan dengan seksama wajahnya sudah tidak memar lagi. Terlihat sempurna dengan di tumbuhi janggut halus yang membingkai rahang kokohnya. Sama sekali tidak seperti orang habis kena aniaya. Dari gerak-geriknya yang terlihat santai dan berwibawa menyiratkan tanda-tanda bahwa dia sama sekali tidak mengenaliku. Sampai detik ini aku masih aman. Tapi tidak bisa menjamin esok hari akan jadi apa.
Kalau hanya untuk membuat makanan saja aku sanggup tapi jika harus mengantarkan langsung ke rumahnya harus di pikirkan matang-matang. Masalahnya aku tidak mau mengambil risiko Abi akan mengenaliku.
Nessa bilang walau dia tidak akan melaporkanku ke kantor polisi tapi, Abi marah sekali dan tidak terima atas kejadian minggu sore. Bagaimana jika dia tahu bahwa yang berhadapan dengannya saat ini adalah aku, orang yang telah menganiayanya.
Begini saja, sebelum terjadi hal-hal yang tidak di harapkan aku harus melakukan negosiasi terhadap istrinya saja. Mungkin jika aku berbicara dengan sesama wanita dari hati ke hati masalahnya akan selesai secara baik-baik. Ah tidak, bagaimana jika istrinya lebih menyeramkan. Biasanya kan ibu-ibu akan lebih senewen, apalagi kalau sampai melihat suami pulang-pulang babak belur.
"Jadi, bagaimana, Ana?"
Dia menumpukan kedua lengannya di kedua pahanya membuat tubuhya lebih condong padaku. Diam-diam aku mencakar bantal sofa. Kenapa tatapannya begitu mengganggu.
"Aku harap kau menerima tawaranku. Aku akan bayar berapa pun yang kau minta."
Serius? Berapa pun? Kata Mami jika ada kesempatan yang menguntungkan di depan mata hukumnya haram kalau harus disia-siakan. Tapi, bagaimana jika ini sebuah jebakan yang di bungkus dengan sebuah kesempatan emas. Tapi menolak rezeki juga dosa.
"Aku serius!" sekali lagi pria di hadapanku ini menegaskan. Kali ini tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. Astaga bisa tidak mata itu jangan menatapku.
"Baiklah, kalau begitu."
Aku menghela napas. Abi memberikan senyuman kelegaan dan aku merutuk dalam hati kenapa senyumnya begitu menawan. Astaga An suami orang. Inget.
"Oke, bisa kita mulai besok?"
Hah? Besok?
"Maksudnya, besok aku ke rumahmu?"
"Tepat," Dia menjentikan jarinya. "Ke rumahku untuk mengantar makanan. Pagi, siang, malam."
Astaga!! Ya Allah!!
Detik itu juga denyut nadiku melemah dengan sempurna. Ketika Abi bangkit dari tempat duduk, aku mulai mencari cara bagaimana besok agar Abi tidak mengenaliku sama sekali. Bahkan bukan hanya besok tapi dua bulan ke depan. Kalau begini caranya bagaimana bisa aku bekerja dengan baik.
Kami keluar dari ruang baca VIP setelah melakukan beberapa diskusi, yang tidak aku temui titik tengah bagaimana caranya agar tidak bertemu langsung dengannya.
Aku dan Vivi mengantarkannya keluar dari Read Eat dengan jantung yang terus menerus berpacu dengan cepat seperti naik halilintar sepuluh putaran.
"Oya," Abi berbalik setelah dia membuka kunci mobil. "Besok aku tidak ada di rumah, kau bisa bertemu dengan pengasuh anakku. Dia yang akan menerima makanannya."
Mataku seketika berbinar-binar, senyumku tak terasa mulai mengembang. Rasanya seperti idul fitri datang enam bulan lebih cepat.
"Iya. Tidak masalah." Sama sekali tidak masalah. Kalau bisa seterusnya saja jangan ada di rumah.
Begitu Abi menstarter mobilnya, kemudian mobil melaju meninggalkan Read Eat, aku langsung melompat kegirangan. Paling tidak Allah telah memberiku kesempatan satu hari untuk hidup bebas. Sementara Vivi hanya geleng-geleng kepala tidak ikut merayakan keberuntungan.
***
Hari ini kedua kalinya aku mengunjungi lokasi untuk cabang baru Read Eat di Bogor. Aku bersyukur saat bang Arsen mengatakan bahwa cabang Read Eat bisa dibangun mulai minggu depan.
Sekalipun Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi. Khayalanku paling tinggi hanya sebatas ingin menjadi agent FBI atau agent rahasia lainnya yang selalu mendapat tanggapan tidak serius dari teman-teman, mereka bilang aku terlalu mengada-ngada. Siapa yang akan menyangka bahwa jalan hidupku menjadi entreupreneur.
Memiliki Read Eat dan usaha katering yang membuat pundi-pundi uangku semakin bertambah.
Semuanya berawal saat usiaku 20 tahun. Secara tak terduga aku berubah menjadi gadis kaya raya. Aku tidak membayangkan sebelumnya bahwa ayahku memiliki begitu banyak warisan untukku. Maka saat beliau meninggal, secara ajaib aku menjadi sebatang kara dengan tabungan yang tidak bisa dibilang sedikit.
Ayahku meninggal 3 bulan setelah Mami tiada, akibat kecelakaan lalu lintas yang langsung merenggut nyawa Mami saat itu juga. Saat Ayah menelpon memberitahu kabar duka tentang Mami, aku langsung pulang ke Bandung tapi, Mami sudah dibungkus dengan kain kafan. Ayah bilang, wajah Mami sulit dikenali jadi pihak rumah sakit langsung menutup jasad Mami tanpa mengijinkan keluarga untuk melihat wajahnya.
Tiga bulan setelah Mami meninggal, dengan sangat menyakitkan Ayah ikut menyusul Mami karena sakit. Dokter bilang sakitnya Ayah karena depresi memikirkan kepergian Mami. Hal yang paling aku sesalkan di dunia ini adalah, saat aku tidak ada di sisi Ayah, saat Ayah butuh dukungan.
Kuliahku yang tidak bisa ditinggalkan membuat aku sulit pulang ke Bandung. Begitu Ayah mengembuskan napas terakhirnya jadilah aku si gadis sebatang kara yang kaya raya. Astaga uang Ayah banyak sekali. Untuk kesekian kalinya aku berterima kasih kepada Mami, karena telah menikahi Ayah.
Bang Arsen melepas safety belt dan keluar dari mobil diikuti aku di belakangnya. Aku melihat mobil katering berada di pelataran parkir Read Eat yang menandakan Vivi sudah pulang. Karena hari ini aku harus pergi ke Bogor maka yang mengantar makanan untuk anaknya pak Abi, adalah Vivi. Ini bukan akal-akalan ku untuk menghindar dari Abi melainkan murni ada urusan pekerjaan.
"An, aku butuh bicara dengan Vivi."
Ucapan bang Arsen tidak terlalu aku perhatikan saat mataku bertubrukan dengan sebuah mobil yang kukenal tapi lupa pernah lihat dimana. Lagipula mobil dengan jenis seperti itu bukan hanya satu.
Begitu aku masuk kedalam Read Eat yang sedang banyak pengunjung lututku langsung lemas. Mataku terbelalak dengan sempurna. Tanganku meraih lengan entah milik siapa yang ada dadai sampingku, mencengkeram erat kulitnya dan dapat ku dengar samar-samar suaranya yang mengaduh. Sementara pria di hadapanku berdiri dengan tegap dan tatapan yang begitu sangat mengganggu di balik kaca mata berbingkai coklatnya.
"Hai, Lusiana."
Ujung bibirnya membentuk garis tipis yang menyebalkan. Suaranya lolos begitu saja menyapu gendang telingaku dan sukses membuat bulu kudukku meremang.
"Abi."
Di dalam belenggu keterpanaan kudengar suara seseorang memanggil nama pria itu seolah sedang mengingatkan bahwa bahaya sudah di depan mata.
Bersambung...