Chereads / Him, and his secret / Chapter 27 - Farm Haouse

Chapter 27 - Farm Haouse

Keputusan Abi untuk mengujungi Farm House sebelum pulang memang sangat tepat. Tempat ini sungguh sangat cocok untuk anak kecil seperti Rey. Penuh dengan binatang dan juga spot untuk berswa foto. Kami juga bisa menyewa kostum bergaya Eropa untuk menunjang keindahan foto-foto pengunjung.

Siapa sih yang punya ide begini? Cemerlang sekali.

Akhirnya, dengan berbagai bentuk paksaan dariku, Abi mau memakai kostum ala Eropa, walau harus merogoh kocek yang cukup lumayan hanya untuk sebuah baju. Harga sewa 75.000 per jam ku rasa sangat mahal. Namun, kami harus antre untuk mendapatkan giliran. Bisa di akumulasikan berapa pendapatan tempat ini dalam sehari. Belum lagi bayar tiket masuk dan uang parkir.

"Lebih baik kau nikmati liburan gratis ini. Dari pada harus memikirkan pengeluaran yang jelas-jelas bukan berasal dari dompetmu."

Aku mendelik sebal. Kenapa dia terus-menerus membaca pikiran orang. Sangat tidak sopan.

"Ayah, ayok kita foto di sini."

Rey sudah bersiap berdiri di depan rumah bergaya Eropa dengan kostum ala Noni Belanda. Aku yang juga memakai kostum yang sama segera menarik tangan Abi dengan semangat untuk berfoto.

Karena kalau harus menggunakan kamera depan hasil fotonya tidak bagus, jadi aku berinisiatif meminta tolong pengunjung lain untuk mengambil foto kami bertiga.

Setelah waktu menyewa pakaian Eropa kami telah habis. Sekarang kami pindah tempat ke rumah The Hobbit. Tempat ini mirip sekali dengan yang ada di film. Semuanya serba mini. Rerumputan di sini juga tampak seperti asli. Saat kami mulai masuk ke dalam rumah mini ini, seluruh perabotan mulai dari kursi, meja, lampu, semuanya dibuat seperti aslinya. 

Tidak lupa, aku mengambil gambar foto di sana. Bersama Rey, tentu saja. Abi hanya melihat-lihat. Sesekali memotokan kami berdua.

Rey, terlihat bahagia. Berlari ke sana kemari sambil berteriak kagum. Apalagi saat kami ke tempat peternakan binatang. Rey begitu semangat saat memberi makan para kambing.

Setelah berjam-jam kami berjalan mengelilingi tempat ini, akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak di tempat makan.

Aku memesan makanan berat, sama seperti Abi. Sementara Rey tertidur tidak sempat memesan makanan. Tapi aku tetap memesankan makanan untuk di makan Rey setelah dia terbangun.

"Kau.. Sudah menghubungi, Ben?"

Aku mendongak. Abi menatapku dengan hati-hati. Tidak percaya dia akan bertanya. Aku menggelangkan kepala tanda jawaban.

Melihat aku tidak minat mendiskusikan soal Ben, Abi kembali dengan makanannya dalam diam. Mendadak aku jadi tidak selera makan. Tapi makanannya enak, jadi ku habiskan saja. Atau mungkin perutku memang sedang lapar.

Semenjak kepergian Ben dari Read Eat, dia sama sekali tidak menghubungiku. Bahkan pesan terakhir yang ku kirim hanya dibaca saja. Sebenarnya apa yang sedang Ben dan Viona lakukan sampai tidak sempat memberiku kabar.

Dering ponsel berbunyi, jantungku tiba-tiba berdegup cepat nyaris copot. Saat ku rogoh tas dan melihat ponsel, ternyata bukan milikku. Abi mengangkat ponselnya ke hadapanku, memberi tahu bahwa dering ponsel itu berasal darinya. 

Dia menyeringai sambil menjawab teleponnya tanpa pergi dari hadapanku.

"Ya, Nes," aku kembali mendongak ketika nama Nesa disebut.

"Saya masih di Bandung. Taruh saja dulu laporannya di meja saya. Besok saya baru masuk kantor."

"Iya, sekalian beritahu Bu Rita untuk kembali besok."

"Ana?" Abi memandangku sejenak. Sepertinya Nesa menanyakan soal aku. "Dia aman. Tidak jadi bunuh diri." Aku melotot siap meluncurkan tinjuan. Tapi dia segera menghindar sambil tersenyum lebar. "Oke Nes,"

Abi kembali menaruh ponselnya setelah sambungan telepom terputus. Lalu kembali menghabiskan makanannya yang sempat tertunda.

"Tidak perlu banyak dipikirkan, kau bisa bicara dengannya setelah pulang dari sini."

Aku tidak menjawab, hanya helaan napas yang keluar dariku. Begitu tidak bersemangat. Mungkin karena lelah berkeliling Farm House. Atau lelah memikirkan hubungan ini. Hubungan yang mendadak saja jadi rumit.

Kami memutuskan kembali ke Jakarta setelah menghabiskan makanan dan membeli sedikit buah tangan. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, aku habiskan dalam dia. Rey pun masih saja tidur sejak tadi di Farm House. Sempat terbangun tapi kembali tidur saat di jalan.

Ku harap aku bisa mendengar kabar baik dari Ben saat di Jakarta.

***

"HAI."

Perempuan kemarin lagi. Wajahnya begitu berseri-seri bagaikan anak remaja yang baru dapat pernyataan cinta dari pria incaran. Kerudung warna merah mudanya begitu sangat cocok di kulit putih pucatnya. Dia pasti baru berusia awal dua puluhan.

"Apa Rey, menceritakan hal yang aneh lagi padamu?"

Dia tersenyum lebar lalu menatap Rey sekilas sambil mengerling jahil. "Tidak." Katanya. "Dia hanya menginginkan seorang bidadari dalam hidupnya."

Dahiku berkerut bingung. "Maksudmu?"

"Rey, menginginkan seorang bidadari, dan dia telah menemukannya. Hanya saja bidadari itu belum bisa sepenuhnya dia miliki, karena bidadari itu masih melayang-layang di angkasa dan hanya sesekali menemui Rey."

Otakku sudah berputar-putar membayangkan wujud bidadari yang dia bicarakan. Sepertinya wanita ini dan Rey memiliki tingkat imajinasi yang tidak bisa ditembus oleh manusia biasa. Satu-satunya cara untuk mengerti khayalan mereka adalah, masuk ke dalam imajinasinya dan berpura-pura mengerti segalanya.

"Oh, begitu. Jadi, siapa bidadari itu?"

"Kau!" Aku nyaris tersedak ludahku. Kaki wanita itu berjinjit saat mengatakannya. Nada bicaranya pun antusias seolah sedang mengumumkan bahwa aku adalah pemenang undian hadiah liburan keliling Eropa selama satu bulan.

"Aku?" Ucapku nyaris tidak percaya.

"Rey bilang, kau bidadari itu," dia memelankan suaranya hingga hanya aku saja yang mendengar. "Rey, sangat menyukaimu karena kau telah menjaganya dengan baik selama ini."

Pipiku bersemu merah. Kupikir, Rey tidak suka kalau aku menjaganya karena sikap dia yang kelewat nakal dan menyusahkanku.

"Kupikir dia tidak,"

"Rey tidak punya ibu, ya?" Tiba-tiba wanita itu berkata pelan. Wajahnya yang riang berubah sendu. Aku tersenyum getir merasa tidak pantas kalau aku menjawab pertanyaan yang sebenarnya. Jadi yang kulakukan hanya diam menatapnya. Tapi mungkin dia sejenis wanita dengan tingkat sensitif yang baik. Maka dari itu, dia tersenyum iba lalu menganggukan kepalanya seakan-akan tahu kondisi yang sebenarnya.

"Aku permisi kalau begitu."

"Ya, jaga Rey baik-baik. Dia tidak pernah seriang ini di kelas sebelum kau menjadi pengasuhnya."

Aku kembali tersenyum karena memang tidak tahu harus berkata apa. Kemudian aku menggandeng tangan kecil Rey dan mendadak merasakan bagaimana kesepiannya anak ini tanpa kehadiran seorang ibu.

Sebelum aku pergi menjauh dari gerbang sekolah, tanganku melepas tangan Rey yang ku genggam. Membiarkan dia berdiri diam di tempat sementara aku berbalik kembali menghampiri guru tersebut.

"Apa aku cocok menjadi ibunya?"

Dia sempat diam sejenak mendengar pertanyaanku. Aku pun begitu. Merasa terkejut sendiri dengan apa yang aku katakan barusan. Mata wanita itu memandang Rey yang berdiri menatap ke arah kami.

"Melihat dari bagaimana caramu menjaganya, kurasa kau sudah mencoba yang terbaik. Menjadi orang tua tidak harus melahirkan seorang anak, tapi dengan mencintainya sepenuh hati, kau sudah menjadi orang tua baginya."

Aku menelan ludah. Hatiku merasa diremas membuat jantungku bertalu-talu. Mendadak kenakalan Rey selama ini bukan sebuah bencana. Melainkan hal yang memang harus dia tunjukan sebagai.... bentuk minta perhatian.

"Terima kasih,"

"Shafiya. Namaku, Shafiya Humaira."

Dia mengulurkan tangannya dan dengan senang hati aku menjabat tangannya.

"Lusiana. Panggil saja, Ana."

kali ini aku benar-benar melangkah yakin lalu menghampiri Rey yang berdiri menatapku dengan tas Spider-Man di punggung dan mainan Spider-Mannya yang dia genggam.

"Yang mulia ratu, aku ingin makan-"

"Apapun," sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, aku berjongkong di hadapannya. "Yang mulia ratu akan memasakan apapun untukmu. Dan sekarang, yang mulia ratu punya makanan spesial untukmu."

"Benarkah?" Wajahnya berbinar bahagia dan aku mengangguk yakin.

"Ayok kita pulang."

Kata 'pulang' yang aku ucapkan seolah-olah kami memang tinggal di bawah atap yang sama