"Dulu, saat peristiwa itu terjadi usia kami masih muda." Ben mulai bercerita. Dan aku mendengarkan dengan khidmat.
"Aku tidak bisa berpikir dengan baik saat Sera memberitahuku kalau dia hamil anakku. Saat itu, aku masih ditugaskan di Jayapura. Aku belum diijinkan untuk menikah dan kalau semua tahu aku melakukan sex diluar pernikahan, aku bisa dikeluarkan dari kemiliteran. Kau tahu, menjadi seorang tentara adalah mimpiku. Aku tidak bisa berpikir, aku tidak bisa melepas mimpiku begitu saja."
Aku ingin sekali memaki, meninju wajahnya, tapi keinginan itu menguap saat melihat sorot matanya yang redup.
"Tapi, kau sendiri yang merusak mimpimu. Dan mungkin, kau sudah merusak mimpi semua orang yang kau sayang."
"Aku tahu, aku salah." Suaranya begitu parau. "Aku tidak ada bersama Sera pada saat itu. Dia terus menuntut pertanggung jawabanku. Tapi, aku tidak bisa, sampai pada akhirnya, Sera mengatakan bahwa dia pulang ke Bandung dan kandungannya keguguran."
Aku terkesiap.
"Tentu saja aku tidak percaya. Mungkin dia sendiri yang menggugurkan kandungan, tapi Sera bukan wanita seperti itu. Jadi, kupikir dia benar. Dia keguguran." Pandangannya jatuh ke ubin putih. "Aku kehilangan kontaknya selama bertahun-tahun. Aku mencoba menghubungi Arsenio, Abi dan juga Viona. Tapi, mereka sama sekali tidak mengatakan apapun. Ku kira, Sera memang tidak ingin berurusan lagi denganku. Sesuai dengan pesan terakhirnya, bahwa dia ingin mengakhiri segala hubungan yang kami punya. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti mencarinya."
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika aku jadi wanita itu. Aku pun tidak pernah membayangkan sebelumnya, bahwa Ben se-pengecut ini. Ben, menghamili pacarnya kemudian pergi tanpa pertanggung jawaban.
Terlintas di pikiranku bahwa bisa saja aku bernasib sama dengan Sera. Bisa saja, 'kan. Semua bisa terjadi karena cinta.
"Kau, mau ke mana?"
Secara tiba-tiba, Ben bangkit berdiri. Reflek, aku pun mengikuti gerakannya.
"Reynand." Wajahnya tiba-tiba terang seperti ada ingatan yang tiba-tiba datang padanya. "Aku tahu dari Viona, bahwa Sera melahirkan Reynand. Dan Abi membesarkannya. Reynand ada bersamamu kan, sekarang?"
"Kau mau apakan, Rey?" Mendadak aku cemas. Seolah-olah Ben akan menyakiti Rey.
"Aku ingin bertemu Rey." Katanya. "Aku harus mengatakan padanya kalau aku ini ayahnya."
"Ben, tidak!"
"Kenapa?"
"Rey baru berusia 6 tahun. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Dia akan kebingungan jika kau tiba-tiba muncul di hadapannya, dan memperkenalkan dirimu sebagai ayahnya."
"An, aku ingin menebus semua kesalahanku di masa lalu. Sekarang Rey, anakku masih hidup. Aku harus mempertanggung jawabkan itu."
"Tapi tidak secepat ini, Ben. Kau bisa mulai pendekatan dulu. Kau bisa mulai dengan memperkenalkan dirimu sebagai teman ayahnya. Seperti Rey, mengenal Arsenio. Kau bisa menyebut dirimu dengan uncle Ben."
"Uncle?" Tanyanya heran. Matanya ikut menyipit. "Ana, aku bukan pamannya. Aku ayahnya."
"Iya aku tahu, aku tahu. Tapi, Rey masih terlalu kecil, Ben. Dia tidak akan mengerti. Jika dipaksakan bisa saja psikologisnya terganggu."
"Tapi, aku.."
"Ben, please," aku menangkap kedua tangannya dan menggenggamnya erat. "Jangan dipaksakan, oke? Tunggu waktu yang tepat. Kau bisa mendiskusikannya dengan Abi."
"Aku tidak yakin bisa berbicara dengan Abi." Suaranya terdengar putus asa.
"Biar aku yang bicara, oke?" Aku menatap matanya berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya bisa diselesaikan.
Ben balas menatapku seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Thanks." Ucapnya pada akhirnya.
Ben mengusap kepalaku lalu mencium keningku dan beralih ke bibirku. Saat aku mulai membalas ciumannya dan mataku terpejam, saat itu juga tidak ada yang bisa aku rasakan. Tidak ada letupan-letupan di dada. Ciuman ini terasa melelahkan, ingin cepat selesai dan hambar. Entah sejak kapan.
***
Seperti ada yang menyudutkanku dengan api, badanku mendadak panas. Genggamanku pada tali tas hitam semakin mengerat diiringi gerakan tubuhku yang seakan melayang, saat aku bersitatap dengan wanita diskon 70% yang tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Ben, saat aku mengetuknya. Ini masih pagi, untuk apa dia bertandang ke rumah orang pagi-pagi begini.
"Oh, hai,"
Dia nampak terkejut saat mendapatiku berdiri di hadapannya.
"Hai."
Jawabku berusaha mempertahankan wajahku yang angkuh. Ben muncul di belakang Viona, kemudian menyambutku dengan kecupan singkat di dahi.
"Kenapa tidak langsung masuk?" Ben melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku tersenyum ke arahnya.
"Ada tamu?"
Aku mengabaikan pertanyaan Ben, lalu menatap Viona yang masih berdiri di ambang pintu. Aku senang Viona memandangi aku dan Ben yang menempel seperti lintah.
"Oh, Vi mampir sebentar ke rumah. Kebetulan dia lewat sekitar sini. Tapi, dia sudah mau pulang."
"Ya," Viona menyahut yang disusul oleh senyumnya yang nampak canggung. "Ya, aku sudah mau pulang." Dia melirik Ben seperti minta persetujuan. Tapi, Ben memalingkan muka.
"Oh, ya sudah, kalau begitu kenapa masih di sini?"
"Oke, aku pamit. Sampai nanti Ben." Dia melambaikan tangannya ke atas. "Ana, aku pamit. Senang bertemu denganmu."
"Ya, aku juga." Sama sekali tidak senang bertemu denganmu. Apalagi menemukan kau di rumah tunanganku sepagi ini.
Ben menarikku masuk ke rumahnya dan duduk di ruang tamu. Sementara Ben masuk ke dalam kamarnya. Namun sudah hampir 30 menit dia tak kunjung keluar. Jadi, aku memutuskan untuk menyusulnya ke kamar.
"Ben, sudah siap?" Aku membuka pintu kamar Ben dan dia sedang memakai kemejanya. "Miss Joana, sudah sampai di kantor."
"Miss Joana?" Ben mengernyit. "Miss Joana, siapa?"
Aku nyaris tidak percaya Ben melupakan miss Joana. Bagaimana bisa dia melupakan wedding planner kami.
"Miss Joana, Ben, yang akan mengurus rencana pernikahan kita."
Ben menepuk dahinya. "Oh, miss Joana." Wajah Ben seketika bersinar terang. "Iya, terus?"
Aku malah semakin tidak mengerti dengan pertanyaan santainya. "Kita kan, dijadwalkan bertemu dengan Miss Joana jam 10 pagi ini untuk membahas rencana pernikahan kita, Ben."
Ben menepuk dahinya lagi tapi kali ini diiringi erangan keras. "Ya ampun, aku lupa. Maaf, maaf."
"Lupa? Lupa bagaimana? Lalu, apa yang kau lakukan sekarang kalau bukan bersiap-siap untuk pergi menemui miss Joana?"
Ya, Ben sudah sangat rapi dengan setelan kemeja denimnya. Lalu untuk apa, Ben serapi ini kalau bukan untuk pergi denganku.
"Oh, aku mau.. aku mau ke Bandung."
"Bandung?" Aku mendekatinya. "Mau apa?"
Ben melangkah ke sana kemari sama sekali terlihat tidak tenang. Jarinya menyisir rambutnya yang setengah kering.
"Hari ini, hari ulang tahun Sera. Dan aku akan mengunjungi makamnya."
Apa dia bilang?
"Ben," aku yakin wajahku sudah tidak bisa digambarkan bagaimana ekspresinya. "Kau melupakan jadwal dengan miss Joana yang akan membicarakan tentang pernikahan kita, hanya untuk merayakan ulang tahun Sera?" Aku terpana mendengar apa yang Ben katakan.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mondar-mandir di kamar Ben, sambil memijat pelipisku yang mendadak terserang migrain. Bisa-bisanya dia melupakan hari penting kami demi merayakan ulang tahun mantan pacarnya yang bahkan tidak ada di dunia ini lagi.
"Maaf An, aku benar-benar lupa. Ku kira jadwalnya tidak hari ini.. apa kita bisa mengatur ulang jadwalnya?"
"Kau kira yang akan menikah hanya kita berdua saja?" Aku nyaris naik pitam. "Miss Joana, bukan hanya mengurus pernikahan kita. Masih banyak pernikahan lain yang harus dia urus."
Dia ini benar-benar membuat emosiku naik.
"Minggu depan, kau sudah harus kembali ke Surabaya. Dan baru akan pulang lima hari sebelum hari pernikahan kita. Katakan padaku, apa masih ada waktu untuk membicarakan pernikahan kita bersama?"
Aku melotot ke arahnya. Sudah tidak dapat membendung rasa kesalku. Kadang aku membayangkan bisa seperti Nessa, yang memiliki pengendalian emosi yang bagus. Tapi, aku tidak berhasil saat aku mencobanya.
"Aku sudah menjadwalkan dengan Miss Joana jauh-jauh hari. Lalu aku juga yang harus mengurus surat undangan, daftar tamu undangan, cendera mata, dan lain sebagainya yang tidak pernah kau tanyakan. Dan sekarang aku hanya membutuhkanmu, ada bersamaku untuk membicarakan bagaimana resepsinya nanti. Hanya itu Ben, hanya itu. Tapi, kau justru melupakannya dan memilih pergi merayakan ulang tahun mantan pacarmu itu."
Kepalaku mendongak ke atas menatap langit-langit kamar Ben, demi menahan air mata yang dengan tidak tahu diri memaksa untuk keluar. Tanganku yang memegang pelipis ikut bergetar.