Tentang jalan hidup yang rumit dan melelahkan. Dijalani sendiri dan dinikmati sendiri, rasanya hanya bisa membuat kita mengelus dada. Semakin kita dewasa semakin dituntut untuk menjalani pelajaran hidup walau diri belum siap menerimanya. Dipaksakan untuk tumbuh, namun nyatanya ketika kita tidak kuat justru membuat kita lumpuh.
Rawnie duduk di balkon kamarnya. Menatap langit-langit sore dengan sejuta pikiran yang menyangkut di otaknya. Setiap dia kembali ke mansion seolah dengan sengaja hal-hal yang ia benci mulai berhamburan mengikutinya. Padahal ketika berada di luar rasanya dia tidak terlalu memiliki banyak beban.
Ceklek
Suara pintu pembatas balkon terdengar terbuka. Rawnie menoleh melihat Harsya berjalan ke arahnya dengan baki yang ia bawa.
"Jangan kebanyakan melamun, tidak baik Rawnie," ujarnya.
"Nih, minum jus strawberry terlebih dahulu." Harsya meletakan gelas itu di depan Rawnie.
Ia membalasnya dengan senyuman sebelum menyedot jus tersebut.
"Thanks," katanya setelah meminum jus buatan wanita di depannya.
"Pemotretan tadi selesai jam berapa?"
Rawnie menyisikan rambutnya ke belakang. "Sekitar jam dua belasan, tapi aku mampir ke kafe sebentar tadi."
"Apa malam ini kau akan membawa Ansel ke bar?"
Melihat kerusakan yang diperbuat oleh Ansel semalam sebenarnya Rawnie enggan membawa pria itu kembali. Disisi lain dia juga berpikir bahwa hal itu akan sia-sia jika membiarkan Ansel tetap tinggal di mansion hari ini. Tentu Rawnie akan rugi banyak, memberikan makanan terus menerus tetapi tidak bisa menghasilkan uang untuknya.
"Tentu aku akan membawanya kembali," jawabnya.
"Setelah apa yang dia perbuat semalam?"
Rawnie mengubah arah pandangnya. "Hmm, jika dibiarkan tentu aku tidak akan pernah bisa memanfaatkannya."
"Benar juga, tapi kau harus berhati-hati lagi untuk malam ini," peringatnya.
"Aku akan mengatakan kepada para bartender agar mengawasinya dengan ketat. Malam ini mungkin aku tidak pergi ke bar dulu, rasanya sangat lelah."
Harsya mengangguk paham. "Aku kembali ke dapur ya, kau ingin makan apa malam ini?"
Ia tampak berpikir sebentar. "Apa saja yang penting berkuah, aku butuh makanan yang bisa menghangatkan tubuhku."
"Tampaknya kau sangat kelelahan. Tunggu yah, nanti akan kubawakan makanan untukmu ke kamar."
Tangan Rawnie mencegah Harsya ketika dia hendak berjalan keluar balkon. "Letakkan di meja makan saja nanti pasti akan ku makan. Oiya Harsya, aku membeli steak tadi, kau bisa memakannya dan berikan juga untuk dia."
Harsya tahu siapa yang Rawnie maksud. Dia akan segera menjalankan perintah wanita itu.
***
Untuk kesekian kali, Ansel berjalan bolak-balik di depan jendela kamarnya. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya sekarang selain menjalani hidup seperti burung dalam sangkar. Entah sampai kapan hidupnya akan berjalan seperti ini, terlalu menyedihkan rasanya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang, argh aku bingung memikirkannya." Ansel mengacak rambutnya asal.
Ansel sudah mencoba memikirkan beberapa kali agar dirinya bisa keluar dari ikatan Rawnie. Belum juga ada hal yang sesuai dan tepat untuk dia lakukan. Andai dia diberi satu kesempatan yang bisa dikabulkan, mungkin Ansel akan meminta agar bisa keluar dari siksaannya kali ini.
"Kau suka steak kan? Cobalah,
Rawnie membelikannya untukmu."
Ansel tidak menyadari kehadiran Harsya di sampingnya. Mungkin karena dia terlalu mendalami dalam dunia alam bawah sadar. Tapi Harsya tidak sendiri, ada dua orang penjaga di ambang pintu, yang pasti suruhan Rawnie untuk sekedar berjaga jika Ansel sampai mencuri kesempatan untuk kabur.
"Tidak, aku tidak ingin memakannya."
Harsya mencoba memotongkan steak untuk Ansel. "Jangan buat dia marah, dia sudah baik hati memberi makanan ini untukmu."
"Buka mulutmu!" serunya seraya menyodorkan garpu di tangannya.
Ansel tetap keras kepala, dia menolaknya. "Sudah aku katakan bahwa aku tidak mau, kau tidak paham?"
Harsya mendesah pelan. Dia sampai berpikir bagaimana tidak marah jika Rawnie menghadapi pria seperti Ansel. Tidak menurut dan suka membantah.
"Terserah kau saja. Aku letakkan steak ini dia meja kamarmu. Jangan salahkan siapapun jika nanti kau kelaparan saat berada di bar."
"Di bar? Memangnya aku akan pergi ke tempat sialan itu lagi?" Pertanyaan Ansel mencegah Harsya untuk beranjak.
Dia menoleh lagi ke belakang. "Ya, malam ini kau akan pergi ke sana lagi."
"Damn!"
***
Gema dentuman dari dalam bar bukan lagi hal favorit yang dia dengar. Dentuman yang biasanya membuat dirinya santai kini justru membuatnya merasa tertekan. Dunia malam yang menyesatkannya sampai sejauh ini. Jika waktu bisa diputar ulang maka ia tidak mau lagi berputar di lingkaran setan. Lingkaran kehancuran yang membawanya pada kesialan seperti sekarang.
Sampai di sana Ansel dengan lesu memakai blazer pemberian Rawnie. Percayalah dia sangat terpaksa untuk memakai pakaian seperti ini. Bukan karena gerah atau ribet, tetapi karena dia melakukan ini untuk menarik perhatian para wanita. Sangat menggelikan baginya.
"Jangan membuat mereka terlalu lama menunggu. Mereka ini pelangganmu ya!" seru seorang bartender yang tiba-tiba saja datang di ruang ganti.
Ansel mendengus. "Bukan urusanku."
"Heh! Kau membantahku? Lihat saja aku akan mengadakannya pada bos."
"Kau pikir aku takut dengan bos mu? Laporkan saja dengan dia!" tantang Ansel tidak takut. Ancaman Pria itu sama sekali tidak menurunkan keberaniannya.
"Minggir!" Ansel mendorong kasar dada bidang pria itu. Dia berjalan keluar meninggalkan pria itu sendiri.
Ketika hentakan langkah panjang Ansel mulai terdengar meski samar, segerombolan wanita seketika membelah jalan untuk mempermudah langkah Ansel. Bak seorang raja dia perlakuan terlalu istimewa oleh mereka.
"Astaga! dia sangat tampan." Seorang wanita memuji dirinya ketika melintas di hadapannya.
"Selamat malam Ansel," sapa salah seorang wanita lainnya.
"Malam." Meskipun sangat singkat namun membuat mereka berteriak hebat. Mereka pikir Ansel akan acuh sama seperti kemarin.
Wanita yang sama kembali berkata, "Malam ini kau sangat tampan Ansel. Aku yakin banyak para wanita yang terperangkap oleh paras mu malam ini."
Lengkungan senyum terukir indah di wajah Ansel. Catatlah! Ini adalah awal pertama seorang Ansel memberikan senyum terbaiknya kepada para wanita di bar.
Jangan tanyakan bagaimana reaksi mereka, sebab mereka yang melihat senyum itupun tidak tahu harus berbuat apa. Sangat candu dan membuat mereka meleleh. Mereka seolah sudah mengugurkan ingatan mereka atas perbuatan gila yang dilakukannya semalam.
Saat itu Ansel ikut berbaris dengan deretan para rent boy lainnya. Dengan tenang dia berdiri diantara mereka. Tidak sengaja Ansel mendengar seorang bartender di belakangnya tengah menelpon seseorang dari balik ponsel.
"Tenang saja bos, dia terlihat menurut malam ini. Bahkan dia menjejerkan dirinya sendiri di deretan rent boy tanpa ada paksaan dari kami." Meskipun samar Ansel masih bisa mendengarnya.
"Baiklah, aku akan menghubungimu kembali untuk memberi kabar soal Ansel," pungkas bartender itu dalam telfon.
Ansel menampilkan smrik diwajahnya. "Semua akan mudah kulakukan malam ini," batinnya.