"Yo! Mata au nee¹, Omi-chan?" sapa seseorang saat aku tengah berjalan menuju ke persimpangan jalan. Seorang lelaki dengan hoodie kuning dipadukan dengan kemeja lagi-lagi bertemu denganku. Ck! Mendou na! Ku abaikan saja dia dengan berjalan kembali tanpa meliriknya.
"Omi-chan!" serunya dan menyusulku. Kini ia berdiri tepat di hadapanku. Ku tatap mata tajamnya itu. "Bisa bicara sebentar?"
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain sambil menaikkan sebelah alisku dan kembali menatap anak itu.
"Baiklah. Ekspresi itu menandakan ya. Kalau begitu, ikut denganku!" suruh Ryusei lalu berjalan meninggalkanku. Dengan terpaksa aku mengikuti ke mana Leader Coast Town itu berjalan.
Ternyata pabrik bekas pembakaran miliknya yang kini menjadi tujuan ke mana anak itu mengajakku. Ia berhenti tepat di depan gedung. Aku menyusul lelaki itu dan berdiri tepat di belakangnya. Apa yang ingin ia bicarakan denganku?
"Seseorang menyerang pabrikku. Orangku bilang mereka adalah orang luar. Dia melemparkan sesuatu ke pabrik hingga terbakar," ungkapnya.
"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku. Ryusei berjalan sedikit lalu berdiri tak jauh dariku sambil memandangi pabrik miliknya yang sudah hancur.
"Seandainya Coast Town menyerang Grudge Cluster, apa kau akan turun tangan?" Aku mengernyitkan dahiku saat ia bertanya seperti itu. Apa maksud anak ini?
"Kata teman-temanku, seorang Leader Grudge Cluster tidak akan keluar markas jika bukan masalah besar. Jika Coast Town menyerang kalian, pasti ini masalah besar bukan? Pasti kau akan keluar, kan?" tanyanya lagi sambil membalikkan tubuhnya menatapku dengan mata yang sedikit sayu tetapi tajam dengan dada yang naik turun. Rupanya ia tengah menahan emosi.
"Jangan bertele-tele! Cepat katakan apa maumu!" tegasku. Lelaki berheadband itu tersenyum meremehkan sambil berjalan ke arahku dengan pelan.
"Shohei," Ryusei semakin berjalan mendekatiku, "Si pecandu narkoba itu sudah membuat hangus pabrikku."
Mata tajam itu menusuk tepat di mataku saat ia benar-benar berdiri di depanku dengan sangat dekat. Aku membelalakkan mata saat ia menyebut nama seseorang yang aku kenal. Sho-shohei?
"Tidak mungkin kau tidak tahu siapa lelaki itu, bukan?" tanyanya lagi. "Atau ... kau tidak tahu apa-apa mengenai hal ini?"
"Kau tidak perlu repot-repot menuduh temanku hanya untuk menimbulkan perang. Aku tidak mudah untuk tertipu ucapanmu." Dia tertawa dengan keras saat aku mengatakan hal ini. Seketika saja ia berjalan menjauh diiringi tawanya yang semakin menurun.
"Hahaha ... menipumu? Sadarlah! Kau yang sudah ditipu oleh anak pecandu sialan itu. Kau dan anggotamu yang lain sudah ditipu olehnya!"
"Terserah apa katamu! Aku tidak akan percaya apa yang kau ucapkan." Seketika saja Ryusei mengeluarkan handphone miliknya. Ia menunjukkan sebuah video cctv jalanan. Video tersebut terdapat seorang lelaki berpakaian Yakuza tengah mengendap-endap mengelilingi pabrik. Lelaki itu berhenti di salah satu jendela bangunan itu, ia mengeluarkan sebuah kain dan melumurinya dengan sesuatu lalu melempar kain tersebut ke dalam pabrik. Pemantik api pun ia nyalakan dan dilempar ke dalam. Setelah itu dia melarikan diri. Ryusei menghentikan video tersebut lalu mendekatkan wajah si pelaku. Terpampang wajah Shohei di sana. Aku sedikit tersentak, tetapi mencoba bersikap setenang mungkin.
"Temanku bilang dia pernah melihat lelaki ini di dekat markasmu. Saat dia mencari tahu, ternyata lelaki ini bernama Shohei. Anggota resmi Grudge Cluster, geng yang dipimpin olehmu itu," katanya sambil memasukkan benda tersebut ke dalam saku.
"Nah, karena dia berhubungan dengan kau dan Grudge Cluster. Maka, Coast Town dengan ini menyatakan ... PERANG!" Tatapan tajam yang ia tunjukkan sangat serius. Ia benar-benar sudah menyatakan balas dendam dengan gengku. Kusso!
"Dengan begini, sudah jelas bukan?"
"Sudahlah! Jika kau memang ingin ganti rugi, kau perlu berapa? Aku yang akan bertanggung jawab. Grudge Cluster tidak ada hubungannya dengan ini," balasku. Ryusei terlihat tersenyum remeh lalu tertawa dengan keras.
"Ahahaha ... apa kau bilang? Tidak ada hubungannya? Ahahha ... kau mencoba melindungi teman-temanmu itu? Ck ck ck, Leader yang hebat, Omi-chan." Ku lihat anak itu kembali tertawa lalu tak lama ia memasang wajah serius lagi.
"Aku tidak peduli! Ini masalah Coast Town dengan Grudge Cluster, bukan antara kau dan aku dan aku tidak butuh ganti rugi. Aku tidak ingin mengurangi kemiskinanmu. Omedetou² Omi-chan! Kau sudah membuat era peperangan muncul kembali. Ingat! Coast Town bisa saja menghancurkan Grudge Cluster dengan sekali hentakan dan kami akan datang kapanpun. Matte na!³ Big Leader of City-chan." Lelaki berheadband itu melangkahkan kakinya meninggalkanku. Sial! Benar-benar hari yang sial. Coast Town sudah menyatakan perang dengan Grudge Cluster. Mengapa Shohei melakukannya di belakangku?
Seketika saja aku langsung berlari menuju markas. Sialan! Ada-ada saja masalah seperti ini. Lagi-lagi pasti berhubungan dengan teman-temanku. Kenapa mereka yang harus terlibat? Mengapa tidak diriku saja? Selalu pertanyaan seperti ini yang muncul ketika aku dilanda kepanikan atau kekesalan. Padahal aku sendiri yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah itu. Ya, karena dirikulah mereka kini harus terlibat, lebih tepatnya wajib terlibat. Karena mereka adalah teman-temanku yang ku ajak membentuk geng pembalas dendam di kota ini.
Ku lihat Ryu tengah membersihkan kaca jendela. Aku langsung berlari menghampirinya. "Ryu, aku ingin berbicara denganmu," kataku lalu beranjak keluar markas. Ryu menyusul.
"Di mana Shohei?" tanyaku. Ryu terlihat kebingungan. Argh! Ku tanya dia sekali lagi di mana Shohei berada. Dalam kebingungannya ia menjelaskan bahwa lelaki itu tengah di rumah sakit, menjalankan rehabilitasi pasca mengonsumsi obat-obatan terlarang. Ryu memberitahuku di mana rumah sakit tempat Shohei direhabilitasi. Aku segera berlari meninggalkan markas dan menuju ke rumah sakit itu. Aku ingin memastikan apakah yang dikatakan Ryusei benar atau tidak.
"APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADA BANGUNAN ITU HAH?" bentakku dengan nada bicara yang sangat tinggi. Kini aku berdiri tepat di hadapan Shohei sambil menarik kerah pakaiannya. Ia terlihat terkejut. Jika dilihat-lihat, kondisi Shohei terlihat tidak sehat. Wajahnya cukup pucat, kantung matanya yang terlihat hitam dan sayu, tubuhnya sedikit kurus. Apakah semua ini efek mengonsumsi narkoba? Entahlah.
"O-Omi-san?"
"Omi, apa yang kau lakukan?" tanya Ryu yang kini menarikku menjauhi Shohei. Kusso! Ternyata lelaki itu mengikutiku.
"Jawab pertanyaanku, Bodoh!" tegasku sekali lagi. Bukannya menjawab, Shohei justru terlihat memasang wajah panik dan bingung.
"Omi, apa yang terjadi?" Aku tak menjawab pertanyaan lelaki itu dan masih menatap tajam Shohei. Matanya yang melirik ke kiri dan kanan menandakan bahwa ia tengah menyimpan sesuatu. Aku melepaskan cengkeraman tangan Ryu yang kini menyentuh bahuku lalu menghampiri Shohei. Berdiri tepat di hadapannya.
"Jawab pertanyaanku!" geramku. Seketika ia langsung menengadahkan wajahnya menatapku dengan takut. Matanya terlihat berkaca-kaca.
"A-aku ... A-aku ... ti-tidak ...," katanya terbata-bata.
Ku bisikkan sesuatu ke telinga Shohei, "Jawab pertanyaanku dengan jujur! Jika tidak kau akan ku bunuh, Shohei. Ku tanya sekali lagi, apa kau yang melemparkan sesuatu ke pabrik Coast Town hingga terbakar seperti itu?" bisikku. Seketika saja ia terperanjat kaget. Wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa.
"Bu-bukan, Omi-san. Bukan aku pelakunya. Berhentilah!" Shohei mulai menjawab pertanyaanku. Tapi ia seperti seseorang yang ketakutan atas pertanyaan yang ku lontarkan itu. Aku mengernyit, ada apa dengannya? Sebegitu takutkah dia padaku?
"Jika memang bukan kau, mengapa kau terlihat seperti orang yang melakukannya?"
"KU BILANG BUKAN AKU!" bentaknya dengan nada tinggi. Keringat mulai bercucuran di sekitar dahi lelaki ini, nafasnya terdengar terengah-engah. Anak ini memang melakukannya, jika tidak, ia tak akan bereaksi sepanik itu.
"Baiklah. Aku yang akan mencari tahu sendiri pelakunya," ucapku tanpa bersuara lalu berbalik, hendak meninggalkan mereka. Tapi aku mendengar pengakuan Shohei yang membuatku mengurungkan niat untuk keluar ruangan ini.
"AKU! Aku yang melakukannya."
Dengan suara bergetar ia mengakuinya. Aku pun melirik Ryu. Tanpa aku suruh, ia langsung mengerti. Ia melangkahkan kakinya dari ruangan ini untuk memberiku ruang bersama dengan Shohei.
"Jelaskan sedetail mungkin!" perintahku setelah Ryu meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
"A-aku melemparkan sebuah kain berlumur bensin ke dalam gedung itu. Lalu ku lemparkan pemantik agar kain tersebut terbakar. Aku kira api itu akan melahap kecil bangunan, ta-tapi nyatanya semua hangus terbakar. Maafkan aku, Omi-san. Saat itu aku kalap dan tidak bisa mengontrol emosiku. Obat-obatan itu membuatku seperti ini. Maafkan aku Omi-san," jelas Shohei sambil menangis, menyesali perbuatannya. Aku membalikkan tubuhku dan melihat ia tengah menundukkan kepala.
"Apa alasanmu melakukan hal itu?"
"Aku seperti ini karena mereka. Mereka sudah memberikanku narkoba dan membuatku ketagihan lalu entah mengapa aku selalu berhalusinasi. Ini semua karena mereka yang sudah membuatku seperti orang tidak waras." Shohei terlihat mengamuk. Wajahnya memerah menahan emosinya yang akan meledak. Aku menghampiri Shohei, berdiri tepat di depan lelaki itu.
"Aku tahu. Tapi, bukankah itu kesalahanmu juga? Sudah tahu mereka penghasil narkoba, tapi kau masih saja menerima obat-obatan itu lalu mengonsumsinya. Sekarang, siapa yang salah? Kau atau mereka?" tanyaku. Shohei semakin menundukkan kepala. Ia terlihat menghela nafas berat.
"Maafkan aku! Sungguh aku menyesal. Ya. Aku tahu aku yang salah dalam hal ini. Maafkan aku, Omi-san. Grudge Cluster dalam masalah bukan? Pasti mereka akan balas dendam, aku tahu itu. Semua karena aku yang terlalu gegabah dan ti―"
"Ya. Semua karenamu. Kau melakukan hal di luar perintahku. Jika sudah begini mungkin mereka tidak akan tinggal diam," tegasku memotong ucapannya. Ia mengangguk pelan.
"Ku mohon, Omi-san! Tolong rahasiakan hal ini dari yang lain dan jangan sampai mereka terlibat dengan Coast Town. Ini semua salahku, biarkan hanya aku yang akan mengurusi permasalahanku dengan Coast Town," pintanya padaku. Shohei mulai berani menatap mataku. Ia terlihat serius.
"Sekali lagi, maafkan aku atas semua perbuatanku yang membuat Grudge Cluster terlibat dengan Coast Town. Aku sungguh menyesal, Omi-san, tolonglah maafkan aku!" lanjutnya memohon ampun. Aku menghela nafasku sambil memasukkan kedua tanganku ke dalam saku hoodie. Menatap datar lelaki di hadapanku ini. Jujur, saat ini aku tengah menahan amarahku. Jika aku tidak bisa mengontrol emosiku, mungkin wajah Shohei akan remuk malam ini juga oleh kepalan tanganku ini.
"Jangan meminta maaf padaku! Meminta maaflah kepada semua orang yang harus terlibat ke dalam masalah ini akibat perbuatanmu. Aku bisa saja sekarang menghajarmu sampai mati, tapi aku ingat bahwa kau tengah direhabilitasi. Tidak mungkin kan aku menghajar lelaki brengsek sepertimu di tempat terhormat ini?" sindirku dengan tajam. Shohei hanya mengangguk pelan.
"Akan ku terima pukulanmu, Omi-san," lirihnya pasrah. Aku berdesis kecil.
"Untuk sementara waktu, kau jangan datang ke markas," ucapku membuat Shohei terkejut. Ia begitu syok mendengar ucapanku.
"Apa kau serius, Omi-san?"
"Ku bilang untuk sementara waktu. Gunakan waktu senggang itu untuk merehabilitasi tubuhmu. Untuk masalah Coast Town, kau tenang saja. Aku yang akan mengurus mereka."
"TIDAK, OMI-SAN. TIDAK! Ini masalahku dengan mereka, bukan masalahmu. Kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Ak―"
"Shohei, kau yakin dengan perkataanmu? Kau yakin bisa melawan mereka sendirian?" tanyaku memotong ucapannya. Tentu ia langsung mengangguk ragu. Aku berdesis sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain lalu kembali menatapnya.
"Geng pesisir pantai itu tidak seperti yang kau pikirkan. Mereka bukan sekedar geng yang tujuannya hanya bersenang-senang. Coast Town adalah geng besar yang kemungkinan akan menghancurkan kota dengan hasil produksi mereka. Ditambah dengan adanya Akkan Zoku yang menjadi pelindung mereka, tidak menutup kemungkinan jika kau akan mati jika melawan geng itu sendirian," tuturku dengan serius. Shohei terlihat memasang wajah sedih dan takut.
"Bagaimana? Apa kau masih tetap ingin mengurusi urusanmu dengan mereka sendirian?" tanyaku memastikan. Ia menggeleng pelan.
"Tanomu yo⁴, Omi-san!" Aku tersenyum sinis setelah mendengar keputusan lelaki di hadapanku ini. Lalu ku balikkan tubuhku berjalan meninggalkannya. Ya, dengan begini hanya aku yang akan melindungi teman-temanku. Aku tidak ingin seorang pun dari mereka turun tangan melawan geng pesisir pantai itu. Mereka sudah membantuku untuk melindungi kota, kini giliranku yang akan melindungi mereka. Membasmi para pengganggu itu secara diam-diam.
"Omi, apa yang terjadi?" tanya Ryu saat aku sudah keluar dari kamar inap Shohei.
"Tidak ada. Shohei hanya butuh istirahat, lebih baik kau kembali ke markas!" jawabku dengan cuek sambil berjalan meninggalkannya.
Siapa yang mengobrak-abrik markasku? Pertanyaan itu kembali muncul. Aku hampir saja melupakan markas yang sudah berantakan akibat ulah seseorang. Tak ada yang tahu akan kejadian itu berlangsung. Semua anggota sibuk melakukan aktivitas mereka masing-masing, termasuk diriku.
Lalu Coast Town menyatakan perang setelah markas sudah berantakan. Jika bukan Coast Town pelakunya, lalu siapa? Apakah ada geng lain yang membenci Grudge Cluster? Pasti ada. Tidak mungkin tidak ada. Aku yakin mereka pasti akan kembali menyerang, entah itu secepatnya ataupun dalam beberapa waktu ke depan.
Bersambung ...
><><><
Note :
1 : Hai! Bertemu lagi ya
2 : Selamat!
3 : Tunggu ya!
4 : Aku mengandalkanmu!
Arigatou! Thank you! Nuhun! Terima kasih! Obrigada!