Chereads / Jodoh Dari Tuhan / Chapter 11 - Impas

Chapter 11 - Impas

"Sekarang kita impas."

Geisha mengembalikan handphone Kavin. Sejenak Kavin bergeming lalu dia menyambutnya.

"Oke."

"Gue berjanji gue nggak akan mengganggu lo lagi."

Setelah berjanji Geisha melangkah pergi dari hadapan Kavin. Dia melangkah beberapa langkah sampai tiba-tiba Kavin memanggilnya.

"Tunggu." Suara bariton itu membuat Geisha berpaling ke arahnya.

"Gue antar pulang," tawar Kavin, tapi terdengar memerintah.

Kavin melangkah masuk ke bangku kemudi yang diikuti oleh Geisha yang duduk di sebelahnya. Hingga mobil sampai di depan rumah kecil yang Geisha sewa bersama temannya.

"Motor lo sudah gue suruh orang untuk mengambilnya dan mengantarkannya ke sini."

"Terima kasih."

Geisha mengucapkan terima kasih pada Kavin, hanya itu lah yang bisa dia katakan untuk laki-laki yang telah menyelamatkan hidupnya. Lalu dia bergerak turun dari mobil mewah itu. Hingga hilang dari pandangan Geisha.  Dan ini lah kali terakhir mereka bertemu, mereka tidak mungkin bertemu lagi semuanya sudah selesai.

Pertemuan yang tidak disengaja dengan diwarnai pertengkaran. Kini semua sudah berdamai.

*

*

"Geisha."

Saat tiba di rumah, Geisha sudah disambut dengan tatapan bingung dari Hana. Tentu dia tidak tahu dari mana Geisha mendapatkan gaun yang dikenakan dia saat ini, lagi pula untuk apa juga Geisha memakainya. Karena yang sering dilihat, Geisha sering memakai baju kerjanya, kalau tidak, ya mengenakan baju seadanya yang dia pakai sehari-hari.

"Lo dari mana aja Sha, dan dapat dari mana baju ini?"

Bukannya menjawab pertanyaan Hana, Geisha malah menangis hebat. Walaupun tidak mengerti Hana lekas memeluk temannya, berusaha menenangkan Geisha atas apapun yang terjadi padanya.

"Apa yang terjadi, Geisha?" Hana mengusap punggung belakang Geisha.

Setelah tenang Geisha mulai menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi pagi. Dimulai dari Geisha yang melihat lowongan pekerjaan, lalu dia mencoba kesana. Namun yang dia dapat malah celaka. Hingga seseorang datang menyelamatkan dia, laki-laki yang juga pernah dia ceritakan pada Hana kemarin.

"Ya Allah, tapi lo nggak apa-apa kan?" tanya Hana tampak khawatir.

Geisha menggeleng.

"Harusnya lo bilang gue tentang loker itu, jadi gue bisa tahu dan memberikan lo saran. Atau gue bisa nemenin lo, Sha. Gue akan merasa bersalah kalau sampai lo kenapa-kenapa."

"Terimakasih, Na. Gue bersyukur karena Allah masih melindungi gue."

Hana memeluk Geisha kembali.

*

*

"Tuan, ditunggu Bapak sama Ibu di ruang keluarga."

Setelah mendengar perkataan asisten rumah tangganya, Kavin beranjak menuju tempat yang diberitahukan oleh bik Ayu.

Kavin sampai di sana, dia melihat papi serta maminya tengah duduk di sofa. Seperti biasa mereka sangat terlihat bahagia dan romantis. Hingga kedatangan Kavin membuat Mahendra dan Elena memperhatikannya.

"Dari mana kamu, Vin?" tanya Mahendra.

"Ada urusan Pap," jawab Kavin singkat.

"Bagaimana kamu bisa belajar mengurus perusahaan jika kamu keluyuran di jam kerja," cela Elena.

"Aku tidak mungkin keluar kalau tidak ada urusan," tegas Kavin.

"Mami benar, Vin. Tidak ada urusan yang lebih penting dari perusahaan," sahut Mahendra.

Terlihat Kavin membuang wajahnya dari pandangan kedua orang tuanya. Sampai sekarang pun dia tidak bisa mendapatkan jabatan tertinggi dari perusahaan, di umurnya yang sekarang. Tentu Kavin sudah belajar banyak, dan bisa mengurusnya.

Namun Mahendra tidak pernah mempercayainya, jika tanpa persetujuan dari Elena. Kavin tahu perkataan Elena lah yang selama ini mempengaruhi kepercayaan papinya. Hingga dia selalu diremehkan dan dianggap tidak mampu.

"Sekarang apa yang Papi dan Mami ingin katakan?" tanya Kavin tanpa basa-basi lagi.

"Minggu besok, papi tunggu wanita pilihan kamu untuk diperkenalkan di sini."

"Hah, apa!"

Perkataan Mahendra membuat netra Kavin membulat, lalu dia yang sejak tadi berdiri tampak lemas. Namun dia tidak berniat untuk duduk.

"Tentu kamu sudah menemukan pilihan kamu kan, Vin?" tanya Elena.

"Mi, pap, bukannya kalian akan memberikan aku waktu."

"Waktu yang kami berikan sudah cukup, iya kan, sayang?" Lalu tanya Elena pada Mahendra.

"Iya, segera lah bawa wanita itu ke sini."

Kavin menghela napasnya tampak tidak percaya. Namun tidak ada gunanya berdebat apalagi melawan, dia sadar dua orang yang ada di depannya sekarang adalah orang tuanya. Bukanlah musuh dia di jalanan yang bisa dia habisi saat dia merasa murka.

Yang harus Kavin lakukan adalah menuruti perintah itu, jika dia masih ingin berada dalam Wijaya company. Meskipun Kavin merasa jika dia punya hak di dalamnya tanpa perlu melakukan perintah itu. Namun kuasa dipegang oleh kedua orang tuanya sepenuhnya.

"Oke, tapi aku minta kalian harus setuju siapapun wanita yang aku pilih."

Terlihat Mahendra dan Elena saling berpandangan sejenak.

"Kavin, tentu kamu nggak bisa memilih wanita sembarangan. Keluarga kita terpandang, kamu harus mencari wanita yang sepadan dengan kita."

"Tapi wanita yang aku sukai dari kalangan biasa, Pap," tampik Kavin.

"Papi nggak ingin kamu memilih wanita yang nantinya akan memalukan keluarga kita, Papi harap kamu mengerti. Kamu pasti bisa mendapatkan wanita yang sesuai dengan kamu," papar Mahendra.

"Kalau kamu mau Mami bisa mencarikan wanita yang cantik dan yang jelas asal usulnya, Vin," tawar Elena.

"Kalian sudah memaksa aku untuk menemukan wanita yang aku sukai dan secepatnya menikah, tapi kalian juga tidak bisa menerimanya. Papi sebenarnya ingin pernikahan aku bahagia atau tidak. Sebenarnya mami sayang atau tidak sama aku."

Kavin tampak marah. Dia tidak mengerti kenapa harus dipaksa untuk menikah. Bukankah semua ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan, walaupun dia tidak menikah seumur hidup pun. Kavin yakin dia tetap akan menjalankan perusahaan dengan baik meskipun tanpa pendamping. Dan tentu dia akan menikah setelah mendapatkan wanita yang dia idamkan.

"Kamu nggak bisa menentang Papi."

"Tapi aku berhak bahagia dalam pernikahan ku nanti, seperti Papi dan Mami. Kalian saling mencintai kan!"

Kavin tampak penuh amarah, suaranya terdengar lebih keras. Hingga Mahendra spontan berdiri. Namun Elena lekas meraih tangannya, berusaha meredam panas di hati suaminya.

"Sayang, tidak salahnya kita bertemu dengan wanita pilihan Kavin. Kita bisa melihat bagaimana perilakunya, karena dari luarnya saja akan terlihat bagaimana pantas atau tidaknya dia berada dalam keluarga kita."

Mahendra tampak menghela napas berat. Elena memang selalu bisa menenangkan hatinya, dia selalu membantunya untuk meringankan masalah di pundaknya.

"Kamu yakin?" tanya Mahendra pada Elena yang kemudian mengangguk.

"Baiklah Kavin, kita lihat bagaimana wanita pilihan kamu itu," lanjut Mahendra pada anaknya.

"Tapi ingat, Kavin. Jika dia tidak bisa bersikap dengan seharusnya, sudah pasti dia tidak bisa masuk dalam keluarga Wijaya."

Kavin mengangguk lalu beranjak pergi tanpa sepatah kata-pun. Meninggalkan Mahendra yang tampak memandanginya berapi. Mahendra merasa Kavin tumbuh menjadi anak yang tidak dia harapkan, karena Kavin selalu saja membangkang dengan perintahnya.

"Sayang, apa pendapat aku tentang pernikahan Kavin salah, karena aku memberikan saran untuk Kavin segera menikah."

"Enggak, Elena. Sudah sewajarnya Kavin memikirkan jodohnya. Bahkan saat aku seumur Kavin, aku sudah mempunyai dia. Aku tahu kamu mempunyai niat yang sangat baik pada Kavin. Kamu sudah menyayangi dan merawat Kavin seperti anak kamu sendiri."

Elena tersenyum lalu memeluk Mahendra. Namun di baliknya, dia tersenyum licik.

Bersambung ....