"Iya, aku minta maaf karena sudah meninggalkan tempat pesta. Tapi Geisha nggak bermaksud seperti itu pap, mam. Geisha hanya nggak terbiasa menghadapi orang-orang yang begitu banyak. Dia merasa pusing dan aku langsung mengantar dia pulang."
"Dasar gadis kampungan," hina Elena.
Kavin tidak mempedulikan perkataan Elena, dia hanya menatap ke Mahendra. Kavin berusaha fokus meyakinkan papinya agar memaafkan dirinya dan tidak membenci Geisha. Apalagi sampai tidak menyetujui hubungan mereka.
"Walau bagaimanapun kamu tetap salah, Kavin," tegas Mahendra.
"Aku minta maaf Pap," ucap Kavin.
"Sepertinya Geisha memang nggak bisa untuk menjadi bagian dari keluarga ini, dia hanya akan bikin malu," sahut Elena.
"Kavin memang salah karena harusnya kamu yang membimbing Geisha. Kamu yang paling tahu bagaimana peraturan keluarga ini, harusnya kamu bisa mengajak Geisha untuk berpamitan pada papi," papar Mahendra.
"Tapi sepertinya Geisha memang gadis polos yang perlu banyak belajar, kali ini Papi akan memakluminya."
"Beneran Pap, Papi maafin aku dan Geisha?"
Terlihat wajah Kavin senang sementara Elena berubah tampak tidak percaya pada suaminya. Selama ini Mahendra selalu mendengarkan perkataannya. Namun sejak kemarin tampaknya Mahendra menaruh simpati pada Geisha.
"Iya, tapi ingat kamu harus membimbing dia agar dia mengerti status keluarga kita."
"Terimakasih Pap."
Kavin mengucapkan terimakasih lalu dia beranjak pergi dari ruangan papinya.
Elena mendekati Mahendra dan memijit kedua bahunya, setelah beberapa detik dia membuka suaranya.
"Sayang, apa aku boleh berpendapat?" tanya Elena.
"Apa yang kamu mau bicarakan, sayang." Mahendra menikmati pijatan tangan Elena.
"Aku kurang suka dengan Geisha, awalnya saja dia bikin kamu kecewa seperti ini. Maksud aku, Kavin bisa mencari gadis lain yang sederajat dan yang jelas pantas untuk mendampingi Kavin Wijaya."
"Karena Geisha dari kalangan biasa, tentu dia nggak bisa langsung terbiasa dengan latar belakang Kavin. Aku yakin Geisha akan berproses dan lama-lama dia akan terbiasa dengan ini semua."
"Tapi banyak gadis lain yang bisa lebih mudah untuk masuk dalam keluarga kita. Yang dari keluarga kaya dan berpendidikan. Aku takut Geisha malah mengkhianati kita nantinya, bisa saja dia hanya ingin harta Kavin kan?"
Mahendra beranjak dari bangkunya berdiri menghadap Elena.
"Aku hanya ingin Kavin memulai rumah tangganya, dengan siapapun itu. Aku ingin Kavin bahagia, walaupun Geisha dari kalangan biasa. Aku hanya berusaha memberikan Kavin kesempatan, membuktikan kalau Geisha pantas untuknya."
Elena menggigit bibir bawahnya, menahan kekesalannya. Geisha belum masuk dalam keluarga ini, tapi Mahendra sudah membela gadis itu. Bagaimana kalau Geisha benar-benar masuk dalam Wijaya company, mungkinkah dia akan mengacaukan segala rencana Elena.
*
*
Kavin melangkah menjauh dari ruangan Mahendra dan wajahnya langsung berubah. Dia tampak merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia masih bersandiwara jika Geisha adalah calon istrinya sementara sekarang Geisha marah padanya dan sudah mengusir Kavin dari hidupnya.
Kavin tiba di kamarnya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Namun dia merasa frustasi memikirkan ini semua, jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini. Kavin ingin segera menemui Geisha lagi dan memohon padanya untuk menjadi istri pura-pura. Namun Geisha benar jika ini adalah masalah Kavin, tidak seharusnya dia melibatkan orang lain.
Sekarang Kavin berharap akan ada keajaiban yang membuat Geisha merubah pikirannya. Sebelum kedua orang tuanya mengetahui jika dia tidak mempunyai calon wanita untuk menikah.
*
*
Shintia berdiri di balik kaca jendela besar butiknya. Di luar sedang turun hujan, sepertinya matahari enggan untuk menyinari bumi. Seperti halnya hati wanita itu, ada awan hitam yang entah dari mana datangnya.
Dia teringat Kavin, laki-laki itu selalu datang menemuinya ke sini. Untuk makan siang dan jalan bersama. Sebelum kejadian hari itu, saat dia meminta Shintia untuk menikah dengannya.
Dan tadi malam dia baru mengetahui hal yang mengejutkan baginya. Setelah Kavin meminta hatinya, tapi Kavin malah ingin menikah. Tentu Shintia tidak bisa mengerti ini sepenuhnya.
Sepertinya Shintia hanya merasa kesepian sejak Kavin tidak pernah lagi datang menemuinya. Lalu dia akan menikah, itu artinya Kavin akan benar-benar menghilang dari hidupnya. Kemarin Shintia menolak lamaran Kavin. Namun sekarang Shintia merasa tidak ingin jika sampai Kavin menikah dengan wanita lain.
Shintia beranjak dari sana, melangkah menuju meja kerjanya. Dia meraih benda pipih miliknya, matanya langsung membulat melihat pesan dari Pangeran. Sudah tiga hari dia menanti balasan pesan dari laki-laki itu, dan sepertinya dia membalasnya.
Shintia tahu Pangeran pasti sangat lah sibuk hingga tidak bisa membalas pesan darinya. Dan Shintia lah yang harus memahami Pangeran dan menyesuaikan waktu luang Pangeran. Hingga dia harus siap siaga jika Pangeran menghubunginya.
Shintia lekas membuka pesan itu, kali ini Shintia kembali terkejut. Mengetahui kabar dari Pangeran, jika dia sudah berada di Indonesia. Sejak kapan Pangeran pulang dari luar negeri dan kenapa dia tidak mengabari Shintia terlebih dulu.
Namun Shintia berusaha menekan semua pertanyaan dia itu. Dia langsung membalas pesan dari Pangeran dan mengatur waktu untuk bertemu. Kini hati Shintia merasa sangat senang, hari yang ditunggu-tunggu olehnya telah tiba. Yaitu pertemuannya dengan Pangeran.
*
*
Pangeran menyesap teh hangat yang tersaji di meja. Dia menatap pada pintu kaca yang terlihat jelas bagaimana keadaan di luar. Cuaca sedang turun hujan yang cukup membasahi siapa saja yang ingin menantangnya keluar.
Sudah satu minggu dia kembali ke Indonesia. Padahal sejak dia meninggalkan kota ini, dia sudah tidak berniat untuk kembali lagi ke sini dan menetap di Eropa. Namun dalam kedua negara ini, Pangeran memang tidak menemukan tempat untuk hatinya merasa tenang. Hingga dia memutuskan untuk menerima tawaran untuk mengurus universitas milik keluarganya. Sekaligus menjadi dosen di dalamnya.
Tiba-tiba atensi Pangeran beralih pada seseorang yang baru saja datang, dia tampak sedikit basah. Karena berjalan dari parkiran menuju tempat kerjanya, dia mengenakan seragam karyawan di toko roti ini. Tentu Pangeran bisa mengetahui jika dia bekerja di tempat yang dia sedang duduk bersantai.
Gadis itu berjalan cepat menuju arah dapur, menaruh tasnya. Lalu kembali lagi keluar memulai pekerjaannya. Entah lah Pangeran malah memperhatikan gerak-geriknya sambil sesekali kembali menikmati tehnya.
Pangeran melihat gadis itu berjalan ke arahnya, saat itu lah Pangeran memanggilnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Pangeran menunjuk wajah Geisha tepat di depan matanya. "Maaf, ini, kamu," ujar Pangeran berusaha menjelaskan.
Geisha yang seperti mengerti langsung mengambil kacamata yang ada di meja. Lalu berusaha melihat wajahnya dari pantulan kacamata itu. Dan benar saja dia melihat maskaranya meleber ke mana-mana akibat terkena air hujan saat naik motor.
Geisha tersenyum tampak malu. Niatnya ingin tampil cantik malah bikin malu seperti ini, begini lah kalau bujet pas-pasan hingga hanya mampu membeli alat mek-up murahan. Laki-laki di depannya ikut tersenyum seolah jika hal itu tidak apa-apa.