[El sayang aku minta maaf. Aku pulang telat karena bos ada urusan mendadak.]
Eljovan menghela napas panjang, merasakan kekecewaan di dalam hatinya setelah membaca pesan Chiraaz. Makanan hasil makanannya sendiri, lalu sekotak perhiasan sudah dia siapkan untuk menyambut kepulangan istrinya. Namun ternyata Chiraaz malah tidak pulang tepat waktu.
Ditutupnya kotak perhiasan, berikut juga makanan yang ada di meja. Eljovan berpindah posisi duduk ke ruang tv dan menyalakan benda tipis besar di depannya. Nanar matanya menatap sekeliling rumah, tidak ada yang menemani kesepiannya.
Keinginan untuk memiliki anak mencuat dari hatinya, tapi teringat lagi pada perkataan Chiraaz. Eljovan merasa tidak akan mungkin dia mendapatkan anak. Sebab, Chiraaz pernah berkata dirinya belum siap menjadi seorang ibu.
Eljovan mengalihkan pandangan pada layar ponsel, dilihatnya sosial media milik istrinya. Tidak ada update apapun, Eljovan mengira Chiraaz memang sibuk banyak pekerjaan. Untuk mengusir rasa suntuknya, Eljovan memutuskan untuk duduk di balkon menikmati udara malam.
Pria itu membawa secangkir kopi dengan beberapa cemilan rumput laut. Udara dingin langsung menyapa tubuhnya untuk beberapa saat. Eljovan berdiri di samping tembok pembatas balkon, matanya menerawang jauh entah ke mana.
"Kapan hubungan ini akan membaik, jika aku berusaha sementar Chiraaz sibuk dengan dunianya," gumam Eljovan.
Senyuman getir terlukis di wajahnya, Eljovan merasa sedang payah. Dia bisa mengatasi masalah orang lain, sedangkan kehidupannya sendiri berantakan. Sekarang dia mengerti betapa sulitnya menjalankan teori yang dia berikan pada klien.
"Melamun saja Pak." Suara Aletha dari unit sebelah mengejutkan Eljovan.
"Hai." Eljovan balik menyapa seraya melambaikan tangannya.
"Sedang apa di sini?" tanya Aletha, wanita itu meletakkan novel yang sedang dibacanya.
"Tidak ada, hanya menikmati udara malam saja," jawab Eljovan. Matanya melirik pada novel milik Aletha. "Anda suka novel tentang percintaan?" tanyanya kemudian.
"Lumayan, tapi tidak begitu menggilai," jawab Aletha, dia berjalan ke arah samping tembok pembatas. Mereka berdua berdiri dengan posisi sejajar terhalang tembok.
"Oh seperti itu rupanya."
"Bu Chiraaz belum pulang?"
"Belum, dia masih sibuk dengan pekerjaannya," jawab Eljovan tersenyum tipis.
"Sibuk? Seorang wanita bekerja hingga larut malam? Sungguh luarbiasa," komentar Aletha dengan nada mencibir.
"Iya, karena dia asisten bos. Terkadang, dia pulang telat. Saya sudah biasa."
"Mereka para pekerja memang seperti itu, terus mencari alasan di luar. Tapi tidak pernah peduli pada keluarganya."
"Maksud anda?" Eljovan mengernyitkan dahinya.
"Ah, tidak Pak El. Saya hanya teringat pria bajingan itu saja. Awalnya saya selalu percaya ketika dia mengatakan ada urusan bisnis di luar negri. Kami sekeluarga selalu menanti kepulangannya. Ternyata-- itu hanya sebuah kebohongan," jawab Aletha, taut mukanya berubah sedih.
"Apa dia tidak pernah mengabari?"
"Jangankan memberi pesan, kadang ponselnya tidak aktif sampai dua minggu. Kami khawatir di rumah, mendoakan keselamatannya, tapi ternyata dia sedang bersenang-senang dengan gundiknya."
"Oh baiklah, tapi Chiraaz tidak seperti itu. Dia selalu mengabari saya jika pulang telat. Jika sedang senggang, saya akan menjemputnya pulang."
"Tahu Pak El? Perbedaan perselingkuhan seorang lajang dan mereka yang sudah menikah?"
"Iya."
"Itu maksud saya, mereka yang bermain api di belakang. Tidak akan kita tahu sudah main dengan siapa saja. Tapi orang yang lajang, akan berusaha bersatu, terlebih lagi seorang wanita."
Eljovan menelan salivanya setelah mendengar perkataan Aletha. Pria itu memahami dari setiap ucapannya, Aletha seperti sedang mengingatkannya. Eljovan tersenyum tipis, dia menepis pikiran buruknya tentang Chiraaz, tekadnya memperbaiki hubungan sudah bulat.
"Wah, pembahasan kita lumayan berat." Eljovan mengalihkan pembicaraan.
"Tidak berat Pak El, biasa saja kok," sahut Aletha.
"Bagaimana hubungan anda dengan suami?"
"Aku sudah tidak peduli, Pak El." Alertha menjawab dengan nada dingin.
"Kenapa tidak meminta bercerai?"
"Karena aku ingin dia merasakan. Apa rasanya kehilangan, sementara kita masih terikat dengan suatu hubungan." Aletha tersenyum sinis.
"Tapi, setahu saya dalam keyakinan anda. Laki-laki bisa menikah sampai empat kali, tanpa harus meminta izin istri pertama."
"Benar Pak El, tapi dia tidak akan melakukannya."
"Kenapa?"
"Ada sesuatu yang tidak bisa dia langgar. Yaitu janji pada anaknya."
Eljovan merasa bingung dengan Aletha, dari caranya berbicara dan berpikir. Wanita ini sangat pintar dan cerdas, jika memilih jalan cerai pun, Aletha tidak akan kesulitan hidup. Tapi anehnya Aletha malah mempertahankan hubungan walau dengan alasan balas dendam.
Pada umumnya ketika seorang wanita tersakiti, dia akan memilih berpisah dan pergi. Apalagi seorang wanita dominan menggunakan perasaan daripada otak realistisnya. Eljovan menatap raut muka Aletha yang datar, dia menebak wanita itu memiliki karakter yang tidak bisa ditebak.
"Anda hebat Nyonya Ale," puji Eljovan.
"Hebat?"
"Iya, anda wanita kuat dan tegar."
"Aku sendiri tidak tahu, saat ini hatiku ingin apa. Tapi yang jelas, aku akan berusaha memaafkan, itu saja Pak El." Aletha tersenyum tipis, sesaat mereka saling memandang.
"Baiklah, nanti kita lanjutkan pada sesi healing berikutnya," tandas Eljovan.
***
Di acara ulang tahun Edward, semua orang dengan girang ikut berpesta. Ada yang berdansa ataupun makan-makan. Chiraaz berdiri di pojok ruangan, dia memilih untuk menepi setelah lelah menemani Edward hilir mudik.
Setengah kesal dan lelah, pria itu benar-benar memanfaatkan ketidakberdayaannya gara-gara surat dari pengadilan. Sejak tadi, Edward tidak membiarkannya tenang, dengan memberikan tugas kecil yang menjengkelkan.
Hatinya merasa tidak tenang, karena teringat pada Eljovan. Chiraaz tidak sabar ingin melihat kejutan apa yang disiapkan oleh suaminya. Berkali-kali dia melihat jam di layar ponsel, ingin sekali dirinya kabur dari sana.
"Masam sekali muka kamu. Mabuk berkas ya?" Suara Hars terdengar mengejek Chiraaz dari belakang.
"Hai manager tolong jangan tambah masalahku," sahut Chiraaz.
"Waw, kamu sedang ada masalah? Tumben sekali." Manager Hars berdiri di samping Chiraaz.
"Aku ingin pulang Hars, aku tidak betah di sini," bisik Chiraaz.
"Ehem, seorang Chiraaz tidak menikmati pesta? Kenapa? Apa makanan pesanan si bos tidak enak." Manager Hars menggerakkan alisnya turun.
"Aku, hmm." Chiraaz menundukkan kepal, raut wajahnya mendadak murung.
Manager Hars jadi tidak enak hati, pria itu mengusap-usap lengan Chiraaz. "Sorry Chiraaz, jika candaanku keterlaluan."
"Tidak Hars, aku hanya sedang merindukan suamiku," sahut Chiraaz menyunggingkan senyum tipis.
"Kalau begitu kamu pulang saja. Kenapa harus menunda?"
"Kamu tahu Hars, sejak tadi bos menyebalkan itu selalu memberikan pekerjaan. Padahal jam kerjaku sudah selesai, ini benar-benar keterlaluan," gerutu Chiraaz seraya mengibaskan rambutnya.
"Biarkan saja Chiraz, kamu manusia punya hak untuk bicara. Jangan mau dimanfaatkan oleh bos, cepatlah pulang jika memang kamu merindukan suamimu," saran manager Hars.
"Aku harus lewat mana? Karena mata pria itu seperti cctv yang terus mengawasi gerak gerikku!" ketus Chiraaz.
Manager Hars menggigit bibir bawahnya, melihat kondisi Chiraaz yang kusut, pria itu merasa kasihan. Setelah beberapa saat terdiam, manager Hars membisikkan sebuah ide.