"Aku tidak pernah semenyesal ini mengerjai seseorang." Lucius berjalan terpapah sambil menahan kakinya yang masih ngilu karena selama 10 menit penuh diinjak-injak oleh sepatu dansa Viori.
"Harusnya aku berdansa dengan Sir Sieghart, aku yakin dia tidak akan mengeluh walaupun aku menusuk kakinya dengan sepatu dansa."
Viori puas dan meninggalkan Lucius berjalan kembali ke kamarnya.
"Sieghart itu menggunakan sepatu zirah! Kalau aku menggunakan perlengkapan zirah juga tidak akan sakit!" Lucius memang tidak mau kalah.
"Iya iya~ terserah apa katamu saja." Viori menutup pintu kamarnya.
Reinhard yang berjalan dibelakang Lucius pun melongo. Ini pertama kalinya ia melihat Lucius berinteraksi seperti anak kecil dan juga pertama kalinya ia melihat lawan bicara Lucius meninggalkannya pergi, dan Lucius bahkan tidak marah! Reinhard berusaha berpikir apa yang sebenarnya terjadi disini.
"Apakah anda baik-baik saja Yang Mulia? Perlu saya panggilkan dokter kerajaan?" Reinhard melongok dari belakang Lucius yang sedari tadi masih merintih.
"Tidak perlu. Ini bukan apa-apa" Lucius berlaga kuat dan kembali berjalan dengan tegap.
"Baiklah." Reinhard mundur dan kembali berjalan dibelakang Lucius.
---
Viori melemparkan tubuhnya ke kasur. Setelah mandi dengan air hangat, lecet-lecet di tumitnya terasa makin kentara. Setelah dipikir lagi, membasuh luka dengan air hangat bukan ide cemerlang.
"Perlukah saya panggilkan dokter, Nyonya?" Kata Rena salah satu kepala pelayan pribadi Viori. Ia sebenarnya sudah tau Viori akan menolak, Viori selalu menolak apapun yang memungkinkannya berinteraksi dengan orang lain, apalagi yang menimbulkan masalah.
"Aku baik-baik saja." Viori membungkus dirinya dengan selimut perlahan. Selain tumitnya yang perih, betis nya terasa panas karena berjam-jam menari dengan sepatu dansa yang ber hak tinggi.
Tok! Tok! Ketukan di pintu kamar Viori membangunkan Viori yang sudah hampir terlelap.
Siapa lagi sih!?
Viori tidak bisa menyembunyikan rasa frutrasi dari wajahnya.
"Saya mengantarkan kiriman dari Duke Lucius." Seorang pesuruh bersuara dari balik pintu yang masih tertutup.
Setelah dipersilahkan oleh Sir Sieghart untuk mendekat, Rena membukakan pintu dan menggiringnya masuk.
"Apa itu?" Tanya Viori sambil masih bersandar pada bantalnya. Ia bahkan tidak akan bergerak kalau ada bencana sekalipun, kaki-kakinya sudah menyerah total.
"Duke Lucius mengirimkan obat salep untuk luka ringan Duchess." Pesuruh itu membuka kotak yang dibawanya, berisi satu buah silinder kecil dari kaca. Silinder itu terlihat sederhana tapi mewah, kalau dilihat dari dekat baru terlihat ukiran-ukiran detil yang mengaggumkan. Viori agak aneh dengan selera orang-orang disini menaruh salep didalam silinder yang lebih mirip dengan kotak perhiasan ini.
Tumben? Bukannya dia senang kalau kakiku sakit dan aku tidak bisa pergi untuk mengganggunya?
"Rena tolong ambilkan kertas dan pena, aku ingin mengirim pesan singkat pada Duke."
Rena membuka laci kerja Viori yang ditumpuki buku diujung ruangan lalu mengambil secarik kertas surat warna muda, sebuah pena dan meja kecil yang biasa digunakan untuk menyantap sarapan diatas kasur.
'Terimakasih Duke yang baik hati, biarkan aku membalas kebaikanmu dengan berdansa denganmu di pelajaran dansa selanjutnya.'
Viori melipat surat itu menjadi dua dan menyuruh Rena untuk menaruhnya didalam kotak si pesuruh.
"Tolong kirimkan suratku pada Duke sekarang juga." Viori tersenyum licik dan membuat Rena menyesal tidak mengecek isi suratnya terlebih dahulu sebelum mempersilahkan pesuruh itu pergi.
Rena tidak ada henti-hentinya dikagetkan dengan Viori yang ternyata banyak berinteraksi dengan Lucius. Padahal dulu Viori akan selalu menghindari memiliki jadwal dan kegiatan apapun bersama Lucius. Setiap acara dansa ataupun jamuan selalu dilewati dengan alasan kesehatan. Acara minum teh selalu dilakukan sendirian dan ia selalu menghindari melewati Istana Altair tiap pergi ke danau atau taman belakang.
Akhir-akhir ini bukan saja Viori yang mendatangi Lucius lebih dulu, Lucius bahkan menghampiri Viori yang sedang ada kelas dan mengajaknya berdansa! Kenapa mereka tiba-tiba bertingkah seperti suami istri!?
Rena menggelengkan kepalanya yang penuh dengan pikiran-pikiran akan kejanggalan akhir-akhir ini. Viori memanggilnya mendekat.
"Tolong bantu aku mengoleskan salep dari Duke, rasanya aku bisa mati kalau kakiku tetap didiamkan."
Rena membuka salep yang diambilnya dari si pesuruh dan mengoleskannya sedikit demi sedikit ke tumit dan pergelangan kaki Viori yang masih memerah.
"Aduh, kalau satu kali pelajaran saja sudah begini, apa jadinya kakiku minggu depan..." Viori merintis sambil merancau sendiri, ia memegangi pahanya yang masih terasa terbakar pula.
---
"Wah, hari ini kelihatan sangat cerah yah!" Viori meregangkan tangannya sambil menguap. Rena membuka seluruh gorden yang berada di satu sisi dan membiarkan cahaya matahari pagi masuk kedalam ruangan.
"Bagaimana keadaan kaki Nyonya?" tanya Rena sambil mempersiapkan teh untuk Viori.
Viori mengibaskan selimutnya keluar untuk melihat keadaan kakinya yang kemarin sudah seperti daging di tempat pemotongan, lunglai dan remuk.
"AAAAAAAA!!!" teriak Viori sampai Rena menjatuhkan teko yang dipegangnya.
"Ada apa Nyonya!?" Rena segera menghampirinya, pintu kamar Viori pun setengah didobrak oleh Sir Sieghart yang masuk dalam keadaan siaga.
"Apakah Nyonya baik-baik saja!?" Sieghart mengedarkan pandangannya ke seantero kamar untuk mencari penyebab Viori tiba-tiba berteriak, apapun itu.
"Lu-lukanya.... lukaku hilang... lukanya hilang semua!" Viori menekukan kakinya dan meraba sekujur pergelangan kakinya. Ia lalu bergantian memandangi kakinya, Rena dan Sir Sieghart yang terlihat mengalihkan pandangannya dari Viori yang masih menggunakan gaun tidur.
Rena yang sadar dengan keberadaan Sieghart melemparkan kembali selimut Viori untuk menutupi sekujur kakinya yang terbuka.
"Tuan Sieghart bisa keluar, tidak ada yang patut dicemaskan." Rena buru-buru mendorong keluar Sieghart yang terlihat canggung dengan tengkuk kemerahan. Pemandangan Viori dengan gaun tidur yang tersibak kemana-mana di pagi hari memang mengejutkan bagi siapapun.
Sedangkan di Istana Altair sendiri...
"Duke, apakah tidak apa-apa memberikan obat peninggalan Keluarga Nerva untuk Duchess?" Reinhard cemas setengah mampus setelah kemarin tiba-tiba Lucius menyuruhnya membuka brankas Istana Altair dan mengambil obat yang telah dijaga turun temurun Keluarga Nerva.
"Toh sudah lebih dari 4 generasi hanya disimpan di brankas kan, fungsi obat itu kan untuk menyembuhkan, jadi tidak ada salahnya dipakai." Lucius sibuk menggerakan tangannya dengan cepat dan tidak menoleh.
Memang sih fungsi salep itu untuk menyembuhkan, tapi bukan luka lecet di kaki Duchess juga. Itu salep racikan Keluarga Nerva yang katanya bisa menyembuhkan luka bahkan jika dagingnya dipotong sampai ke tulang dalam semalam, lecet-lecet di kaki Duchess sepertinya bisa disembuhkan secara normal dengan salep biasa jika memanggil dokter, tapi Lucius bilang ia butuh Viori sembuh secepatnya agar ia tidak dapat menghindari pesta jadi Reinhard tidak bisa menolak.
"Saya dengar Duchess sangat kaget pagi tadi karena lukanya benar-benar hilang tanpa bekas, sepertinya ia akan datang kemari si-"
BRAK!!!!
Pintu ruang kerja Lucius dibuka paksa.
Lucius dan Reinhard menoleh dan terdiam melihat Viori di muka pintu.