"Gibran siapa?"
"Lo..lo.. nggak bakal paham.."
"Bentar-bentar gue panggilin Debyl."
DeLeon berlari lagi, hingga seorang wanita berambut biru dengan kuncir kuda membuka pintu kamarnya.
"Watcher!"
"Debyl..."
"Tenangkan fikiranmu.. tarik nafas dalam.."
Debyl memegangi kepala Watcher, tangannya memancarkan energi biru yang menenangkan. Watcher yang tadinya tremor di seluruh badan perlahan kembali tenang.
"bagus.. ya.. begitu.., tenanglah... ada aku dan DeLeon.. kamu baik-baik saja.."
"Watcher menyenderkan tubuhnya pada gagang kasur. Ia menutupi wajahnya. Wajahnya kembali tegang dan nafasnya menderu."
"Gue panggil Marseille, lo jagain dia." Kata DeLeon.
"Byl, gue takut.."
"Apa yang lo takutkan?"
"Dia bangkit lagi... dia mau ngambil mata gue.."
"Tenanglah Watcher, kamu ada di tempat yang aman.. tidak ada yang bisa masuk kesini tanpa seizin Marseille."
"Gue tetep takut Byl, dia dibangkitkan sama seseorang.."
"Seseorang?"
"Ada apa ini?" Marseille datang bersama DeLeon dibelakangnya.
"Marseille, seandainya gue kehilangan mata gue yang terakhir.. apa yang bakal lo lakukan?"
Seluruh ruangan senyap. Bahkan DeLeon tak bisa berkata apa-apa.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Jelaskan dulu Watcher, tenangkan dirimu dulu.. saya nggak bakalan membiarkan mata kananmu diambil oleh mereka.."
"Gue melihat seorang pria di kegelapan dalam sebuah ruangan remang-remang. Dia membangkitkan Gibran dengan sihir revival. Setelah itu dia bilang kalau tugasnya belum berakhir."
"Marseille, bahkan orang seperti Alexo bisa mereka kalahkan. Bagaimana gue bisa menangani mereka?!"
"Alexo masih dalam pantauan Deputi Direktur jadi tenang saja."
"kerahkan penyihir tingkat S Elite untuk mengawasi Watcher, mata dia adalah salah satu kunci keajaiban alam semesta."
"Baik Tuan."
DeLeon pergi meninggalkan mereka bertiga.
"Debyl."
"Hm?"
"Gue menemukan orang yang nyerang lo waktu beribadat di gereja."
Iris sebiru laut melebar. Tangannya meremat hingga kuku jari putih tanpa ia sadari.
"Siapa orangnya?"
"Dia akan ketemu Marseille besok pagi."
.
.
Semua pandangan tertuju pada Marseille.
"Debyl, saya harap kamu tidak membuat keributan seperti apa yang kakakmu lakukan. Dia disini adalah saksi dan narasumber kita."
Dengan wajah kecut. Debyl melihat perban pada tulang rusuknya.
"Baik Sir."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lo Arka kan?"
Enricko bertanya pada pria yang tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Jam menunjukkan pukul 3 pagi. Semua orang di kamar masing-masing. Enricko saja yang terbangun karena ingin buang air kecil. Pas sekali dia menemukan Arka di ruang tamu dengan laptop menyala. Ia sibuk sekali sepertinya.
"Lo saudara kembar Elyon. Tapi kelakuan lo beda banget." Desis Enricko.
Pria brunette itu hanya diam tak mengindahkan. Matanya masih tertuju pada laptop yang menyala. Karena merasa dihiraukan, Enricko jadi agak kesal dan langsung menuju ke kamar mandi.
Setelah ia melampiaskan semua kekesalan dan hajatnya di dalam toilet, ia pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Entah kenapa ia hari ini tidak bisa tidur nyenyak. Apakah karena ia akan bertemu Marseille nanti?
Ia mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamar. Ia pergi ke arah pintu belakang kamar dan keluar mencari angin segar. Sekian meter ia berjalan menyusuri jalanan. Rasa sunyi membuatnya tenang sekaligus khawatir, ia tak tahu kenapa ia khawatir tapi perasaan itu terus menghantuinya selama ia berjalan. Hingga kakinya menuju ke sebuah bangunan.
Sinagog
Kebetulan sinagog tersebut sunyi dan terkunci. Namun ia penasaran dan kedinginan karena cuaca dan titikan air mulai turun dadi atas langit. Ia harus berlindung sekarang juga. Jadilah ia duduk di depan pelataran bangunan tersebut sembari melihat derasnya hujan. Pikirannya menerawang entah kemana. Suasana ini sangatlah nyaman untuk merenung.
Dentuman petir mulai menyambar membuat Enricko kaget setengah mati. Petir tersebut menyambar pohon cemara di dekat sinagog hingga hancur tak berbentuk. Ia yang mulai ketakutan dan tak bisa berlindung akhirnya meloncat masuk melewati jendela sinagog yang ia pecahkan.
Suara pecahan kaca menggema di dalam bangunan. Pencahayaan remang-remang membuatnya harus melebarkan mata untuk melihat segala detil bangunan itu dengan lebih jelas.
'seperti gereja.'
Pikirnya. Desain interior sangatlah mirip. Namun tak ada salib yang menghiasi dinding bangunan itu melainkan simbol heksagram atau orang awam menyebutnya sebagai bintang daud, tersemat di podium berbahan emas murni.
Puas sudah ia melihat podium, kini Enricko melihat kursi jemaat yang kosong. Untuk jam 3 pagi sangat wajar tak ada para yahudi yang datang kesini untuk beribadat. Namun, matanya melihat sekilas sesosok bayangan di jejeran tengah kursi jemaat.
"Elyon?"
Empunya nama menoleh ke arah sumber suara. Ia tak merasa terkejud akan kehadiran Enricko di sinagog tersebut melainkan sebaliknya. Enricko lah yang terkejud mengapa Elyon bisa ada di sini.
Elyon tersenyum dan melambaikan tangannya tanda menyuruhnya duduk.
"Loh lo bisa ada di sini?!"
Tanya Enricko horror, bagaimana juga Elyon bisa masuk? Semua pintu terkunci termasuk jendelanya. Ia bahkan sampai harus memecahkan satu kaca jendela agar ia bisa masuk ke dalam sini yang nantinya akan menjadi keributan di pagi hari.
"Jemaat yang taat haruslah beribadah selagi ia bisa." Jawab Elyon. Ia menutup kitab yang ia baca dan meletakannya di sampingnya.
Keheningan melanda mereka. Enricko yang tak tahu mau bicara apa duduk di depan Elyon dengan kaki menyila.
"Yon, gue gelisah.."
"Entah kenapa gue punya firasat buruk besok akan terjadi..."
Nafas Enricko mulai tak beraturan, ditambah hujan lebat dan terpaan angin tidak membuatnya tenang sama sekali. Raut wajah gelisah mulai terpatri padanya. Ia menghentakkan kaki kanannya tanpa sadar dan menundukkan kepala sembari hilang akal entah kemana.
"Tenanglah Enricko, yang kamu khawatirkan hanyalah sesuatu yang fana dan belum terjadi.. apapun yang kamu hadapi besok adalah hari dimana kamu akan membongkar semua rahasia dari sahabat kamu-"
"Mantan sahabat."
"semua akan berubah dan besok kamu akan berubah, kamu bukan lagi Enricko yang penakut dan paranoid. Melainkan manusia berani yang akan merubah dunia dengan seluruh ucapan serta tindakanmu. Untuk itu, jangan sia-siakan kesempatan ini Enricko.."
Enricko yang mendengar perkataan itu termagu dengan tidak elitnya.
*Snap!*
Sebuah jentikan jari membuyarkan lamunannya.
"Takdir merupakan keputusan tuhan Enricko... dan tuhan tergantung pada semua tindakan dan keputusan makhluknya.. untuk itu hati-hatilah dalam bertindak. Jangan sampai tuhan membuat takdirmu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan hanya karena tindakanmu Enricko." Kata Elyon tersenyum sebelum sebuah sinar cahaya menerangi netranya.
Mata Enricko terbuka perlahan. Badannya terasa lemas terbaring di tempat tidur. Gorden yang menyisakan celah membuat cahaya matahari tertembus dari sela tersebut.
Siulan burung terdengar di gendang telinganya. Ia melirik jam seraya mengusap mata.
07:00 AM