Chereads / BEYOND MARVEL / Chapter 30 - Melancholy

Chapter 30 - Melancholy

Suara shower menggema, asap beku keluar dari kamar mandi tersebut.

Enricko keluar dengan handuk yang melapisi bagian bawah dan kepalanya. Ia berjalan mengambil setelan kemeja putih dengan celana abu-abu dan tak lupa karena saking pusingnya ia semenjak mendapatkan mimpi aneh tersebut tak lupa ia memakai koyo di kepalanya agar dapat mengurangi pusingnya.

"Hari ini.. saatnya."

Pintu terbuka, menampilkan Keiser dengan kemeja putih dan bawahan biru dongker. Ia bersender di pintu sembari mengamati Enricko yang kalang kabut mencari kaos kaki.

"Napa pala lo? Hah? Habis nabrak tembok?"

Ujar Keiser yang dapat hadiah lemparan kaos kaki yang mengenai wajahnya.

Enricko mendengus, setelah menemukan sepasang kaos kakinya ia pergi ke arah Keiser dan menepuk pundaknya.

"Doain gue."

Keiser yang melihat lagaknya seperti itu terheran-heran.

"Elyon mana?" tanya Enricko.

"Dia pagi gini biasanya berburu sama Arka. Kalau lo mau ketemu dia, mungkin siang sekitar jam 1 dia free."

"Oh, ok."

"And btw, gue nggak bisa nemenin lo ketemu sama Marseille. Gue soalnya ada urusan sama Luke. Jadi gue Cuma bisa nganterin lo sampai gedung depan aja."

"nggak papa. Titip salam gue sama temen albino lo. Soalnya kita belum resmi kenalan."

Keiser mengangguk. Kemudian mereka menuju teras dan menyalakan engine mobil dan langsung berangkat ke tempat tujuan.

.

.

.

.

.

"gue tinggal dulu ya! Ada apa-apa telpon gue."

"Yaa.."

"Ok sip."

Enricko memasuki gedung yang sudah ditunggu oleh DeLeon. DeLeon  yang melihat kehadirannya langsung berjabat tangan.

"Yuk, langsung ke atas kita."

Mereka berdua menaiki lift dan berjalan melewati resepsionist baru. Sang resepsionist menganggukkan kepala pada DeLeon dan mempersilahkan mereka masuk.

Disana ia melihat Marseille duduk bersama pria yang tak asing ia lihat.

"LO!" Enricko menunjuk Watcher yang duduk santai sembari memakan donatnya. Mata yang diperban satu masih tetap bisa melihat wujud dari sang lelaki yang berada di hadapannya.

"Silahkan duduk dulu Enricko." Ucap Marseille yang menyilangkan tangannya.

Enricko menuruti perkataan Marseille. Marseille sedikit memajukan badannya ke arah Enricko tanda trasa ingin tahu.

"Kamu udah pernah ketemu dia sebelumnya kan?" Tunjuk Marseille pada Watcher. Enricko mengangguk sembari menyindir Watcher.

"Iya, dia cowok nggak sopan yang main lihat masa lalu orang sembarangan."

Watcher yang tak terima dikatai begitu langsung memasang wajah murka.

"Apa kata lo?! Maksud lo apa hah?! Mau dibantuin tapi gelagatnya nggak tahu diri!"

"Watcher stop!" Kata Marseille menahan amarahnya. Hawa ruangan menjadi mengerikan akibat aura kematian menguar dari Marseille. Mereka berdua senyap seketika. DeLeon yang melihat Marseille ingin menumpahkan amarahnya langsung mengambil segelas teh dan menyerahkannya ke Marseille.

"Sabar Sir, pertemuan mereka memanglah tidak mengenakkan. Namun, jika mereka bisa bekerja sama kita bisa mengusut tuntas kasus ini."

Marseille menarik nafas dalam. Ia kembali ke mode professionalnya dan berbicara pada Watcher dan Enricko.

"Enricko, mungkin kamu sudah tahu siapa Watcher ini. Dia salah satu orang krusial selain kamu yang dapat kita andalkan. Kami akan mengupas seluruh masa lalu kamu dengan detil dan kami akan menulusuri makhluk yang ada di dalam tubuhmu dengan menggunakan matanya."

"Jadi apakah kamu bersedia?"

Enricko mengangguk.

"Sekarang kamu berbaringlah di kursi ini." Kata Marseille menyediakan kursi tidur berwarna putih yang berada di tengah ruangan.

Enricko duduk di sana. Watcher yang tadinya duduk dan sudah menghabiskan donatnya kini berada di belakang kepala Enricko.

"Semua ambil posisi." Kata Watcher. Marseille dan DeLeon duduk di kursi dekat dengan Enricko. Mereka semua menutup matanya kecuali Watcher. Saat Watcher menyentuh kepala Enricko, tiba-tiba ruangan berubah menjadi sebuah ruang kelas SMA yang tidak ada satu pun orang di dalamnya.

Enricko nampak tertidur pulas di kursi itu. Tubuhnya tak bergerak, mereka seperti masuk ke dalam mimpinya.

"Marseille, DeLeon.. buka mata kalian."

Mereka saling membuka mata. Watcher masih di posisi ia memegang kepala Enricko. Sedangkan DeLeon dan Marseille bangkit mengamati ruangan tersebut sembari berjalan. DeLeon mengamati meja guru yang terlihat normal. Tak ada yang salah. Kemudian beralih pada Marseille yang mengamati setiap bangku murid. Semuanya sama, bangku kayu berwarna cokelat muda dengan besi sebagai penyangganya. Tapi ada salah satu kursi yang menarik perhatiannya. Ada satu bangku dengan warna berbeda, yaitu merah. Bangku tersebut terletak di baris ke 2 kolom ke 3 Arah kiri ruangan.

*Cklek!*

Bunyi pintu terbuka mengalihkan atensi mereka semua. Masuk seorang pemuda yang mereka kenal yaitu Enricko. Wajahnya tampak lebih muda dan jauh berbeda dari yang sekarang. Wajahnya bersih tanpa ada bekas luka bakar di wajah kanannya. Ia mengenakan seragam sekolah beserta tas lusuh dan duduk di bangku merah tersebut.

Enricko meregangkan tubuhnya. Nampak bekas memar di sana-sini, terutama pada bagian lehernya. Kemudian Enricko muda, mengeluarkan sebuah kertas putih di sakunya.

"hm.. spaghetti, croissant, bagel, butter tart, poutine.." ia mengguman list makanan yang ada di dalam kertas itu satu-persatu. Kemudian, ia mengambil dompet dari tas lusuhnya dan hanya mengeluarkan uang selembar sebesar 5 dolar. Ia berusaha merogoh lagi dompetnya namun, uang tak juga ia dapatkan. Enricko mendesah pelan. Ia mengacak rambutnya sendiri dan keluar lagi dari kelas tersebut.

Beberapa menit setelah Enricko keluar, nampak 3 murid laki-laki dan 1 perempuan masuk ke dalam kelas itu. Diketahui dari name-tagnya bahwa keempat orang tersebut bernama, Amer, Joaquin, Rigel, dan Thomasin.

"Lihat, si jelek sudah datang." Ucap Joaquin menunjuk tas Enricko yang diletakkan di kursi.

"Paling dia lagi beli makanan." Kata Thomasin, Amer mengangguk.

"hey, gimana kalau kita kerjai sedikit Enricko..hm? Dia belum balik ke sini." Tanya Rigel. Yang lain tertawa terbahak bahak.

"emang lo mau ngapain? Kemarin udah lo dorong dari tangga pakai sihir nggak puas lo?" Tanya Amer. Rigel menggeleng. "Kita takut-takutin dia aja gimana? Joaquin.. lo bisa berubah wujud jadi apa aja kan? Kira-kira lo tahu Enricko takut sama apa?" Tanya Rigel.

"Kalau laba-laba raksasa gimana? Dia pernah dikerjain dikunci di ruang penuh laba-laba dan pas dibuka pintunya dia pingsan dikerubungin laba-laba hahahaha!!" kata Joaquin menambahkan. Thomasin hanya diam, gadis itu kurang mendengarkan perkataan mereka dan ia tak peduli.

"Kita sembunyi aja, Thomasin.. buat kita nggak terlihat! Joaquin lo kerjain tugas lo!" Ucap Amer. Thomasin awalnya menolak, namun karena paksaan dari temannya, ia terpaksa melakukan yang mereka titahhkan.

Enricko berjalan dengan hanya membawa satu kantong plastik berisi 4 croissant. Saat membuka pintu, ia dikejutkan dengan penampakan tarantula raksasa berada dibalik pintu. Seluruh badannya bergetar, sampai-sampai kantung plastik yang ia bawa terjatuh. Ia mundur beberapa langkah dan terpojok di dinding belakang. Tarantula itu mulai menggores tangannya hingga berdarah. Enricko yang tak bisa melawan kini kehilangan kesadarannya dan pingsan di tempat.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ruangan kelas kini berganti menjadi ruangan kesehatan sekolah. Di sana Enricko terbaring dengan keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Perawat yang meraeatnya pun tak ambil pusing dengan Enricko dan meninggalnya sendirian di UKS. DeLeon yang melihatnya mencoba menyentuh Enricko, namun yang ada tangannya menembus tubuh tersebut.

"BANGUN BEGOK!"

Sebuah tamparan mengenai pipi Enricko yang masih setengah sadar. Enricko mengerjapkan matanya dan melihat pria botak berbadan kekar di depannya menyilangkan tangan beserta beberapa gengnya mengerubungi Enricko seperti semut.

"Billy?"

"Mana sarapan kita?! Lo bilang lo mau beliin?!"

"a-a-anu.. uangku nggak cukup jadi aku beli croissant aja-"

*PLAK!!*

"JANGAN BANYAK ALASAN LO! CROISSANTNYA MANA HAH SEKARANG?! NGGAK ADA! LO MAU KITA GEBUKIN?!"

"JA-JA-JANGAN! AMPUN!"

Adegan selanjutnya diisi dengan Enricko yang dihajar habis-habisan oleh geng Billy hingga ia pingsan lagi.

"Stop! Stop! Gue nggak tahan!" Ujar DeLeon yang menutup matanya. Marseille yang melihat Enricko yang tertinju sampai giginya patah hanya bisa menatap Enricko asli yang terbaring tidur dengan iba.

"jangan harap orang yang nggak punya kekuatan kayak lo bakal lolos dari kami" Kata Billy sebelum meludahi Enricko yang terkapar tak berdaya di lantai. Darah terciptrat dimana-mana.

Isakan tangis terdengar di ruangan tersebut. Enricko menangis di ruang UKS tanpa ada pengobatan dan seseorang yang menemaninya. Hanya kesendirian yang menyelubungi lubuk hatinya hingga ia tertidur dan melewatkan jam pelajarannya.