Senja sudah menghilang, bergantian dengan malam yang mulai datang membawa bintang-bintang. Malam ini sepertinya bulan sedang enggan hadir. Mungkin sedang bermesraan dengan matahari yang sudah bersembunyi, seperti halnya dua anak manusia yang tengah menikmati silirnya angin laut. Kecupan hangat mendarat di puncak kepala Eiryl. Membuat gadis itu mendongakkan kepalanya untuk menatap Alga yang selalu sedia menjadi tempatnya bersandar.
"Malam kali ini terlalu indah jika dilewatkan begitu saja."
"Kenapa, ya, Tuhan membiarkan kita sejatuh cinta ini?"
"Entah, aku pun bingung." Alga merebahkan tubuhnya. Keram di perutnya karena memar mulai kembali terasa, sialnya, obatnya yang sudah menjadi sebagian nyawanya malah tertinggal di rumah Bu Sri.
Eiryl ikut merebahkan tubuhnya di samping Alga. Memeluk lelaki itu di antara pasir yang mulai menyelimutinya. Kalau perlu sampai pagi tiba ia memeluk Alga atau bahkan sampai pasir menguburnya hidup-hidup berdua dengan Alga.