"Iya." Eiryl menoleh ke arahnya. Menatap lelakinya tepat di manik mata.
"Setelah dari Bali aku mau melepas tabung pulmonalis. Nanti temenin aku, ya?"
Ini kedua kalinya Alga membahas hal yang sama setelah nyaris enam bulan berlalu. "Tapi aku takut sama bapak kamu," jujur Eiryl mengenai watak ayah Alga yang memang sangat pendiam. Hingga sulit untuk paham.
"Bapakku sibuk kerja, Li. Paling cuma ada Mas Haris atau Mas Andi sebagai pihak keluarga."
Anggukan kepala Eiryl membuat seribu pertanyaannya muncul seketika. "Memangnya waktu itu kamu nggak jadi operasi?"
Alga menggeleng. "Bapak nggak setuju. Belum siap katanya."
Eiryl menatap Alga penuh arti. Tangannya bergerak menggenggam erat tangan Alga. "Ga, kamu harus sembuh, ya. Jangan tinggalin aku. Aku mau hidup sama kamu."
"Iya, Li. Kamu salah satu alasan untukku berjuang."
Eiryl mengecup pipi Alga sejenak lalu menyandarkan kepalanya di bahu lelakinya. Ah, tidak ada alasan untuk tidak mencintai lelaki di sampingnya ini.