Bru satu menit yang lalu bel pulang sekolah berbunyi. Namun dua makhluk itu susah berdiri di depan pintu kelas nya. Dan lima menit kemudian satu makhluk dengan jenis yang sama datang.
Eiryl merotasikan mata nya dengan gemas. "Gercep banget sih, kalian," ujar nya usai guru piket keluar dan semua murid berhamburan keluar kelas.
"Hai," sapa Alfan dengan suara nya yang hangat.
"Halo." Putri yang menyahut nya. Gadis itu kemudian terkekeh geli.
"Bukan sama lo, Put," ujar Arya membalas dendam dengan apa yang Putri lakukan tadi pagi.
"Jadi, gimana? Pulang sekarang?" Tanya Alfan tanpa memedulikan ketiga manusia di depan nya selain Eiryl.
Eiryl menghampiri Alfan. "Maaf, kak. Gue ada urusan mendadak sama teman-teman gue. Jadi sekarang nggak bisa pulang bareng lo," jelas nya.
Alfan mengangguk mengerti. "Tapi, sebagai gantinya besok gue jemput, ya."
Eiryl mengangguk bersamaan dengan senyum yang mengembang tipis di sudut bibir nya.
"Hati-hati di jalan." Alfan mengusak rambut Eiryl pelan. "Gue duluan," pamit nya kemudian. Manis.
Tapi lebih manis Alga!
Eiryl menghela berat sambil terus menatap langkah kaki Alfan.
"Buset. Sombong amat tuh bocah," gerutu Dimas yang memang tahu seluk-beluk sosok Alfan.
Tatapan Eiryl beralih pada Dimas. "Lo kenal?" tanya nya.
"Kenal," jawab Dimas jujur.
"Lagian anak kayak dia siapa yang nggak kenal, sih," timpal Arya.
"Emang dia kenapa?" selidik Eiryl.
"Hati-hati aja pokok nya," ujar Dimas mulai melangkahkan kaki nya menuju tempat parkir.
"Kayak dia bilang tadi, hati-hati," tambah Arya mengekor langkah Dimas.
Kembali, Eiryl harus merasakan otak nya bekerja dua kali lipat dari sebelum nya. Apa salah nya dengan Alfan yang pintar, berprestasi dan mungkin.... baik?
Eiryl mendesah panjang. Berusaha menghilangkan semua hal yang semakin membebani pikiran nya.
"Ayo, Li," ujar Putri menarik tangan Eiryl.
***
Kedua mata nya tertuju ke arah bangunan rapuh di depan nya. Apa ini rumah Alga setelah melewati gang sempit dan berakhir di sudut jalan kecil? Ia turun dari tumpangan Dimas. Rumah itu terlihat kosong.
Dimas mengawali langkah nya kemudian mengetuk pintu papan tiga kali. Berharap ada yang menyahut nya meski hanya sepatah kata.
"Permisi." Arya ikut memanggil seseorang dari dalam rumah ini.
Tidak ada sahutan.
"Bentar, ya. Gue tanya tetangga sebelah." Dimas berlalu menuju satu rumah di samping rumah Alga.
"Permisi, bu," sapa Dimas pada seorang ibu paruh baya yang tengah sibuk menjahit pakaian.
Iya." Ibu itu menatap Dimas.
"Ibu tahu pemilik rumah ini pergi kemana?" tanya Dimas dengan sopan menunjuk ke arah rumah Alga menggunakan ibu jari nya.
"Mungkin pemilik nya lagi kerumah sakit kali, mas. Kan anak nya ada yang sakit-sakitan. Katanya sih sakit kanker paru-paru." Bukan ibu yang kini ada di hadapannya yang menjawab. Tapi seorang wanita dengan usia nya sekitar kepala tiga atau mungkin kurang dari itu.
Mendengar ucapan itu, Eiryl menghampiri wanita tadi. "Mbak tahu dia di rawat di rumah sakit mana?"
"Coba aja ke Dharmais," jawab wanita itu lagi.
Eiryl sempat termangu. Kanker? Mana mungkin?
"Makasih ya, bu. Kami pamit," ujar Dimas.
"Iya," sahut dua wanita itu.
"Gimana?" sahut Arya setelah Dimas berada di hadapan nya.
"Kita ke Dharmais," jawab Dimas sedikit lemas.
"Itu kan__"
"Udah. Kita pastiin dulu."
Eiryl kembali menunggangi motor Dimas. Bersama laki-laki itu ia melesat. Sedangkan Arya bersama Putri yang sedari tadi hanya diam menyimak dengan raut wajah nya yang nampak khawatir.
"Mas! Dimas!" teriak Arya pada Dimas yang terus melakukan motor nya.
"Kita nggak mungkin langsung kesana, Mas!" Arya kembali berseru setelah memikirkan resiko apa yang akan menimpa nya. Di tilang.
Dimas menepi dari jalanan.
"Inget! Ini Jakarta! Polisi nya gada ganas, Mas," ujar Arya ikut menepi di belakang Dimas.
Sahabat nya itu masih terdiam.
"Lanjut aja udah! Itu mah gampang," timpal Eiryl yang sebenarnya tidak ingin menunggu lama.
"Tuh! Dengerin anak sultan ngomong apa!" sabut Dimas pada Arya.
"Lanjut aja udah!" seru Putri menguatkan pilihan.
"Tuh, dengerin Putri bangsawan!" seru Dimas lagi pada Arya.
Baiklah Arya. pertempuran dimulai!
"Lo juga anak nya TNI. Nggak usah takut!" ujar Dimas lagi.
"Jangan bawa-bawa bapak gue. Ngeri!" Arya bergidik sendiri.
Eiryl dan Putri kompak tertawa.
"Ngeri-ngeri sedap!" seru Dimas sambil menancap gas dan melesat cepat.
Kabar mengenai Alga cukup membuat nya lega, meski belum ia pastikan bahwa itu benar atau tidak. Setidak nya ia bertanggung jawab atas keusilan nya.
Arya mulai melajukan motor nya untuk mengejar Dimas. "Put, pegangan!" titah nya pada Putri.
"Jangan modus, deh!" balas Putri.
"Bukan modus, Put. Ini nama nya usaha. Bisa bedain nggak sih, lo?!" pekik Arya gemas.
"Dimas gimana?" tanya Putri bingung.
"Dia udah ada yang punya. Jangan khawatir!" balas Arya.
"Put, inget jaga jarak!" pekik Dimas.
Putri memukul bahu Arya. "Bohong terus lo!" omel nya.
"Udah, pegangan aja. Mumpung ada kesempatan, kan." Arya tetap mengelak. Ia tahu mengenai Dimas dan Putri hanya bercanda.
"Mas, Arya maksa nih," pekik Putri meski harus menahan rasa kegelian nya sendiri.
"Ya udah, deh. Nggak apa-apa. Daripada kamu kenapa-kenapa," pekik Dimas pasrah.
Arya tertawa. "Putri punya gue, sana lo jauh-jauh!" Ia mengibas-ibaskan tangan nya.
"Kalian tuh lagi nyetir. Fokus! Nanti kalo di tilang gimana?" pekik Eiryl memperingatkan.
"Iya, bidadari," sahut Dimas.
Ngiung! Nguing! Ngiung! Tet! Tet! Tet!
Arya menoleh ke arah samping. Sial! Dua orang polisi mengikuti nya di belakang.
Tet! Tet! Tet!
Tanpa rasa sabar polisi itu memerintah agar Arya maupun Dimas menghentikan laju kendaraan nya.
"Ngebut aja udah," seru Eiryl mengompori.
"Jangan! Ntar tau-tau bapak gue yang ngejar gimana?" seru Dimas.
"Lah, bapak lo polisi?" tanya Eiryl heran.
"Kepala nya polisi malah," jawab Dimas kembali menepikan laju motor nya. Ia pun berhenti di bahu jalan. Begitu juga dengan Arya.
"Kan, udah gue bilang apa?!" Arya mulai bersungut-sungut sebal sambil melepas helm nya.
Dimas menggaruk kepala nya dengan gemas.
"Anda kami tilang," ujar salah satu polisi dengan tegas.
Arya menatap Eiryl dan Putri secara bergantian. Andai dua bidadari itu mengenakan helm, pasti perjalan nya tidak terhambat seperti ini.
"Kalian tahu kesalahan kalian apa?" tanya polisi itu.
"Iya, pak," sahut Dimas, Arya, Eiryl dan putri bersamaan.
"Mana kelengkapan surat-surat kendaraan," pinta polisi itu.
Otomatis Arya dan Dimas memberikan nya.
"Baik. Minggu depan kalian harus datang ke persidangan," ujar polisi itu lagi dengan memberikan lembar surat tilang.
"Iya, pak." Lagi, keempat anak itu menjawab nya secara bersamaan.
Eiryl menatap ketiga teman nya. Ia memutar bola mata nya dengan gemas.
Perjalanan kembali di lanjutkan setelah semua nya selesai. Berawal dari di tilang sampai akhir nya Eiryl mendadak membeli dua helm, untuk nya juga Putri.
"Anak sultan... anak sultan," gumam Dimas geleng-geleng kepala sendiri saat melihat Eiryl mengeluarkan lembaran uang berwarna merah dari dalam dompet nya.
"Emang paling beda," sambung Arya yang masih bertengger di atas motor nya.
"Yuk," ujar Eiryl.
"Yuk, lah!" sambung Dimas kembali bersiap untuk meluncur.
Di antara laju motor yang ia tunggangi, sejenak Eiryl berpikir. Apa sedalam ini perasaan nya untuk Alga sampai ia berani mengambil resiko yang tidak pernah ia bayangkan? Seperti saat ini, ia yang tidak terbiasa menggunakan motor, malah harus ikut berpacu di atas nya. Di lain sisi, ia pun tidak sabar untuk segera bertemu dengan Alga. Meski hanya untuk memastikan keadaan laki-laki itu.