"Mel, itu kucing jantan, Mbak," jawab Bagas.
"Jantan?" Aku syok mendengarnya, "masa jantan namanya, Mel?" protesku.
"Ya dulu, 'kan kita belum tahu, Mbak, kalau sebenarnya dia itu jantan, makanan aku kasih nama 'Mel' begitu kata Nenek dia itu jantan, akhirnya aku langsung mengganti nama panjangnya," jelas Bagas.
"Emang siapa nama panjangnya?" tanyaku semakin penasaran.
"Dulu, nama panjangnya, 'kan Melisa, dan sekarang sudah aku ganti menjadi, Mellow," jawab Bagas.
"Oww," Aku mengangguk mengerti. Timbul pertanyaan yang lain dalam benakku, kali ini tentang Nenek-nya Bagas, karna dulu Nenek Bagas, bukan Mbok Irah, dan entah mengapa Nenek-nya bisa berubah menjadi Mbok Irah, ini juga terasa aneh bagiku.
"Bagas, Mbok Irah itu memangnya beneran Nenek kamu ya?"
"Yaiyalah, Mbak! Memangnya kenapa?" tanya Bagas.
"Ya seingatku Nenek kamu dulu bukan Mbok Irah, kamu juga gak tinggal di rumah ini, 'kan?" tanyaku sambil menunjuk kearah rumah Mbok Irah.
"Oh, itu!" Bagas kembali mengangguk mengerti.
"Iya, buruan jawab jangan bertele-tele, kayak Author pemburu jumkat deh!" cercaku.
"Eh, apaan itu?"
"Ah, kamu gak tahu ya?"
"Enggak!" Bagas menggelengkan kepalanya.
"Yah udah! Lanjut kepembahasan!" sergahku.
"Kepembahasan apa, Mbak?"
"Hadeuh!" Aku menepuk keningku sendiri, "jawab pertanyaanku tadi, Bagas! Kenapa sekarang Nenek kamu jadi Mbok Irah! Dan kenapa kamu juga sampai pindah rumah?!" bicaraku penuh emosi.
"Owh," Kembali Bagas menganggukkan kepalanya, tapi kali ini dia langsung menceritakan alasannya, "jadi dulu aku itu ikut dengan Mbok Imah, dia Kakak-nya Mbok Irah, dan setelah beliau meninggal, aku berpindah ke tempat Mbok Irah yang rumahnya bersebelahan dengan Neneknya, Mbak Mel, ini," jelas Bagas.
"Oh begitu ya," aku mengangguk paham.
Kami mengobrol panjang lebar, dan Bagas, juga mengajakku jalan-jalan santai mengelilingi kampung ini. Dan tentunya Mel, juga kami ajak pergi.
"Bagas, dulu bukannya kamu juga punya kucing lain ya selain, Mel?"
"Iya, Mbak, masih inget aja kalau aku punya kucing lagi selain, Mel, namanya, Juminten," jawab Bagas.
"Ah iya namanya, Juminten! Haha, lucu ya namanya! Terus di mana dia?" tanyaku antusias.
"Dia sudah meninggal, Mbak! Juminten di tabrak motor," jawab Bagas dengan wajah datar.
"Ya ampun, aku turut berduka cita ya, Bagas,"
"Iya, Mbak! Lagian itu udah lama banget kejadiannya, pas aku masih kelas 4 SD,"
"Owh, berarti udah lama banget ya? Pasti kamu nangis pas kejadian itu, secara kamu dulu, 'kan cengeng banget," ucapku dengan wajah yang polos, tanpa memikirkan perasan Bagas yang tersinggung.
Seketika Bagas terdiam sesaat, aku merasa tidak enak dan takut jika Bagas akan marah kepadaku karna pertanyaanku tadi.
"Ya nangislah, Mbak, aku dulu, 'kan cengeng banget," jawab Bagas. Aku tersenyum tipis dengan wajah yang canggung.
Aku jadi tidak enak hati dengan Bagas.
Dan Bagas masih melanjutkan ceritanya.
"Waktu itu aku nangis kenceng banget, Mbak, sama kencengnya kayak pas nangisin, Mbak Mel, pergi ke Jakarta," jelas Bagas dengan wajah yang serius.
Aku kembali teringat kejadian waktu itu. Seorang anak lelaki yang baru berusia 4 tahun tengah berlari mengejar mobil yang kutumpangi. Aku juga turut bersedih bila mengingatnya, karna waktu itu aku tak sempat berpamitan dengan Bagas, Papa menjemputku tiba-tiba, dan aku pulang tanpa sepengetahuan Bagas, dia baru mengetahuiku saat aku sudah berada di dalam mobil yang sudah melaju kencang.
***
"Bagas, maafkan aku ya. Karna waktu itu aku gak sempat berpamitan sama kamu. Papa menjemputku secara tiba-tiba," bicaraku kepada Bagas.
"Iya, Mbak Mel, gak apa-apa kok. Yang penting sekarang kita bisa ketemu lagi," ucap Bagas sambil tersenyum.
TIN!
Terdengar suara klakson mobil yang memekakkan telinga.
Aku dan Bagas sampai terkejut, dengan gerakan reflek aku memeluk Bagas.
"Aduh, Mbak Mel, jangan peluk-peluk dong, emangnya Teletubies?" keluh Bagas.
"Sorry, Gas! Reflek!" ucapku sambil melepasakan pelukanku.
Dan tepat di saat itu, mobil yang tadi menekan tombol klakson berhenti sejenak.
Perlahan si pemilik mobil membuka kaca jendelannya.
Aku terkejut saat melihat orang yang mengemudi mobil itu ternyata Dion.
"Mel, kamu habis dari mana?" tanya Dion.
Aku merasa tidak enak hati kepadanya, apa lagi aku tadi tak sengaja berpelukan dengan Bagas. Pasti Dion cemburu kepadaku.
"Eh, ak-u ... ha-bis jalan-jalan keliling kampung!" jawabku dengan suara yang terbata-bata.
"Wah, jalan-jalan sama gebetan baru ya?" sindir Dion.
Dan dengan segera aku menyangkalnya, karena memang Bagas itu bukan gebetanku seperti apa yang dituduhkan Dion kepadaku.
"Ih, Bagas itu bukan gebetan aku, Dion! Tapi Bagas itu—"
"Sorry ya, Mel! Aku harus pergi, lagi buru-buru nih!" ujar Dion dengan wajah yang sinis dan setelah itu dia kembali melanjutkan perjalanan dengan mobilnya.
Haduh ... pikiranku benar-benar tidak tenang. Aku takut Dion akan salah paham.
"Mbak Mel, ayo kita pulang sekarang!" ajak Bagas.
"Iya, Gas!"
"Mbak Mel, kenapa diam aja? Yang tadi itu siapa?"
"Emm... dia itu—"
"Pacarnya, Mbak Mel, ya?" tebak Bagas.
"Iya, dia pacarku, tapi kayaknya dia lagi salah paham deh," jawabku.
"Maaf ya, Mbak, gara-gara saya pacarnya, Mbak Mel, jadi cemburu," tukas Bagas.
Aku hanya terdiam sambil mengangguk, lagi pula ini juga bukan salah Bagas. Ini semua hanya karena salah paham.
***
Dengan langkah gontai tak bersemangat aku memasuki rumah, dan Tante Diani menghampiriku.
"Eh, Mel! Kamu habis dari mana?" tanya Tante.
"Aku habis Jalan-jalan keliling kampung, Tante," jawabku dengan bibir mengerucut.
"Habis jalan-jalan kok mukanya cemberut begitu sih?"
"Ah, gak tahu ah!" Aku mengabaikan Tante Diani dan langsung masuk ke dalam kamarku.
Tante tak menyerah dia ikut mengejarku masuk ke dalam kamar.
Tante Diani itu selain kepo, dia juga memiliki Insthing yang kuat, dia selalu tahu jika aku sedang ada masalah.
"Mel, kamu kenapa sih?"
"Mel ngantuk, Tante, mau bobo,"
"Ah, tumben kamu bobo siang? Kamu, 'kan jarang bobo siang?"
"Ah, Tante, jangan ganggu Mel dong, Tante!"
"Ayo, ngaku sama, Tante!" paksa Tante Diani kepadaku.
"Tapi—"
"Kamu mau cerita atau uang jajan bulan depan gak cair?!" ancam Tante Diani.
"I-iya, Tante! Mel, bakal cerita!" ujarku penuh semangat.
Aku tidak bisa berkutik kalau masalah uang jajan.
Aku mengerti jika masalah yang kuhadapi saat ini, hanya masalah yang sepele, tapi tetap saja hal ini cukup mengusik pikiranku.
Tante Diani, mendengarkan curhatanku, dan dia mulai mencarikan solusi untuk masalah yang kuhadapi ini.
"Yaudah, kalau begitu kamu langsung pergi ke rumah Dion aja!Bila perlu Tante, yang antarkan!" ujar Tante Diani.
"Tante, mau anterin aku ke rumah, Dion?"
"Iya, Tante bakalan bantuin kamu untuk menjelaskan semuanya sama, Dion!"
Bersambung....