Aku terlalu asik mengobrol dengan Dion, tak sadar sudah hampir sore, mataku yang sejak tadi malam belum tertidur pun mulai teresa sepat disertai kepala berat.
"Dion, aku pulang dulu ya udah sore takut Nenek, kawatir," tukasku.
"Ah iya Mel, sebentar ya aku keluarin motor dulu buat ngantarin kamu," Dion segera beranjak dari kursinya.
"Terus gimana dengan Ibumu?"
"Gak apa-apa ditinggal sebentar aja kok," jawab Dion.
Lalu aku berpamitan kepada Bu Ningrum yang masih berada didalam kamar, dia memaksakan diri untuk bangkit meski terlihat sangat lemah.
"Hati-hati ya di jalan, dan salam buat, Nenek Sugiyem, makasi kuenya," ucap Bu Ningrum sambil tersenyum.
"Ah iya Bu, nanti Mel sampaikan," sahutku dengan sopan.
Aku mencium punggung tangan wanita itu.
***
Dengan berboncengan motor bersama Dion, kami melanjutkan obrolan tadi, rasanya masih belum puas sudah menghabiskan waktu bersama Dion. Dan ada saja topik obrolan yang memaksa kami untuk saling berdialog.
Sayangnya di pertengahan jalan motor yang kami tumpangi mendadak mogok, aku terpaksa turun dari motor.
"Aduh Mel, motornya mogok ni," keluh Dion sambil mengecek bagian mesinya.
"Sudah tinggal dekat sih, apa aku jalan kaki aja ya?" ketaku pada Dion.
"Duh gak papa emangnya? Gimana kalau aku anterin kamu sambil jalan kaki aja ya?" tukas Dion yang merasa tak enak.
"Terus motor kamu gimana?" tanyaku sambil menujuk motor itu.
"Ya biarin di sini aja,"
"Ah, gak usah dianterin deh, aku pulang sendiri aja, gak jauh ini kok,"
"Tapi aku gak enak sama Nenek kamu, Mel, masa ia kamu pulang gak dianterin?" Dion masih memaksaku untuk tetap mengantarkan pulang, tampaknya dia masih merasa tak enak denganku. Padahal aku sendiri tak masalah toh sebentar lagi juga sampai. Justru aku malah takut kalau Dion mengantarkanku, itu hanya membuang-buang waktu saja, sedangkan sang ibu sendirian di rumah.
"Udah gak usah, Dion! Mendingan kamu dorong motor pulang aja, lagian kasihan Bu Ningrum, sendirian," ujarku, lalu Dion pun mau mendengarkan ucapanku ini dan dia memutuskan untuk pulang, serta mendorong motornya yang rusak.
"Huh, tahu gini tadi aku anterin kamu pakai mobil aja," gerutu Dion.
"Udah, gak apa-apa, Dion, aku jalan kaki sekalian olah raga kok," ujarku sambil tersenyum.
"Ah yaudah kamu hati-hati ya," kata Dion sambil mengelus atas kepalaku.
"Iya, Dion! Maaf ya gak bantuin dorong ... hehe," jawabku sambil meledeknya.
"Iya, Mel, gak papa kok," sahut Dion. Lalu Dion mengecup keningku dan kami pergi berlawanan arah.
Di saat aku mulai berjalan, aku baru menyadari akan suatu hal, ternyata jalanan menuju rumah nenek cukup terjal dan licin. Tampaknya di sini baru saja turun hujan, padahal di area kampung tempat tinggal Dion tadi sama sekali tak turun hujan, tapi anehnya di sini hujanya cukup lebat. Terlihat dari tanah yang basah dan licin serta genangan air di mana-mana.
Aku berjalan tidak hati-hati, karna aku ingin segera sampai di rumah Nenek, na'as kakiku malah terpeleset. Aku pun terjatuh di tempat yang sama saat aku berangkat tadi.
"Huh, sialan!" umpatku yang geram. Karena selain kotor kakiku juga terasa nyeri akibat terkilir, aku takut tak bisa berjalan.
Kuputuskan untuk berhenti sejenak dan memijit-mijit kakiku yang terkilir.
Huft... menyebalkan!
Tiba-tiba kurasakan butiran air yang menjatuhi wajah dan tubuhku, oh ... tidak ternyata hujan turun lagi ... aku basah ....
"Gawat nih, aku harus cepat-cepat bangun!" Aku berusaha untuk bangkit
Mendadak rintik hutan tak terasa lagi, aku mendongakkan kepalaku ke atas, dan ternyata ada sebuah payung yang melindungi tubuhku.
"Mbak-nya gak apa-apa?" tanya si pria yang tadi siang.
"Kamu...?" Aku kaget dan menunjuk kearahnya, kedua bola mataku membulat.
'Kenapa dia muncul lagi?' bicaraku di dalam hati.
"Sini biar saya bantu," Pria itu mengulurkan tangannya kearahku. Lagi-lagi aku ragu untuk meraihnya. Tapi dia memaksaku.
"Ayo, Mbak! Mbak-nya mau duduk di sini sampai kapan?"
Ah ... entah mengapa aku merasa d'javu ....
Aku pun terpaksa meraih tangannya, dan mencoba untuk bangkit, tapi ternyata kakiku sakit, sepertinya aku tak bisa berjalan.
"Mbak, pegangan sama saya yang kuat," suruhnya.
"Iya!" Aku berusaha berdiri, tapi sialnya kaki yang satunya lagi malah terpeleset, tak sengaja aku menarik tangannya karna reflek, kami sama-sama kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Bruk!
Astaga! Aku benar-benar serasa ingin mati, karna saking malunya! Tubuh pria itu berada tepat di atasku. Bahkan bibir kami nyaris bersentuhan.
"Eh maaf, Mbak!" ujarnya dengan cepat berusaha bangkit dari tubuhku. Aku juga langsung duduk dengan nafas yang tersengal-sengal, jangan tanya seperti apa wujud pakaianku, benar-benar sudah bersatu-padu dengan warna tanah.
"Mbak-nya, gak apa-apa?"
"Enggak,"
"Tapi kok kayak sesak nafas gitu?"
"Engap! Badan kamu gede banget!" jawabku ketus.
"Eh, maaf, Mbak hehe... namanya juga gak sengaja," Dia malah memberiku cengiran tak berdosa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Yasudah, saya antarkan, Mbak Mel, pulang," tukasnya. Dia memanggilku dengan sebutan 'Mel' seperti orang-orang terdekatku. Dan aku baru sadar kalau aku belum bertanya siapa nama pria ini.
"Nama kamu siapa?" tanyaku.
"Mbak, nanti juga tahu sendiri!" jawabnya sambil tersenyum penuh teka-teki. Benar-benar aneh dan tidak nyambung. Aku hanya menggelengkan kepalaku karna heran bercampur jengkel, tapi biar bagimana pun dia itu sudah menolongku.
"Ayo, Mbak!" ajaknya.
Tapi anehnya dia tidak berdiri, dan malah duduk jongkok di hadapanku.
"Ih, kamu ngapain?" tanyaku dengan heran.
"Ayo, pulangnya saya gendong," jawabnya dengan santai.
"Hah?! Apa?! Ih enggak!" tolakku mentah-mentah.
"Mbak, kakinya sakit ya?"
"Iya!" jawabku.
"Gak bisa jalan, 'kan?"
"Iya!"
"Yasudah, ayo saya antarkan pulang!"
"Tapi, aku gak mau digendong sama pria asing!" ujarku.
"Yasudah kalau begitu, Embak, di sini saja, tapi harus hati-hati lo ya ... karna di jalanan ini sering ada penampakan makhluk-makhluk ajaib lo, Mbak," ujarnya menakut-nakutiku, benar-benar menyebalkan, si Pria Tanpa Nama ini!
Aku terdiam dengan wajah memucat karna takut.
"Takut ya?" sindirnya.
"Ih, enggak!" sangkalku, padahal memang takut.
"Ayo buruan nanti, Nenek Sugiyem, jadi khawatir lo!" ajaknya, bahkan dia juga mengenal nama Nenekku, sebenarnya siapa pria ini?
Ah bodo amat! Aku pun menerima ajakannya dan aku mau digendong oleh pria ini.
Dan aku pun pasrah, dia benar-benar menggendongku, mirip adegan di serial drakor yang aku lupa judulnya ... yang jelas adegan itu sangat romantis, andai saja yang menggendongku itu Dion ... pasti hatiku berbunga-bunga.
Aku merasa sangat lelah, walau tak berjalan, mataku benar-benar mirip lampu listrik yang sedang turun daya. Huft...benar-benar sangat mengantuk.
Tak sadar aku pun tertidur dalam gendongan si Pria Tanpa Nama, ini. Sampai tak sadar pula jika aku telah sampai di rumah Nenek.
"Udah sampai, Mbak... Bangun, tolong jangan ilerin baju saya!" tukasnya berusaha membangunkanku.
Aku pun tersentak, "Hah! Udah sampai?!"
"Iya, Mbak, biasa aja, gak usah heboh gitu," ledeknya.
"Yasudah, saya langsung pulang ya," Dia menurunkan tubuhku pelan-pelan. Dan seperti kejadian tadi siang, dia pun langsung nyelonong pergi begitu saja, tanpa sedikit pun berbasa-basi atau dekedar memberi tahu siapa namanya kepadaku! Memang dasar, Semprul!
Ah bodo amat yang terpenting aku sudah sampai di rumah Nenek dengan selamat.
Tok! Tok!
"Assalamualaikum!" Ku ucap salam sambil mengetuk pintu.
Ceklek!
Seseorang membukakan pintu. Oh rupanya Tante Diani,
"Astaga, Melissa! Kamu baru pulang?! Itu badan buluk banget!" ujar Tente Diani yang heboh sendiri.
"Kalau ada yang ucapin salam itu di balas dulu Tante, jangan malah ngomel," sindirku.
Dan Tante Diani, mendesis kesal sambil melebarkan cuping hidungnya.
"Hemmm! Walaikumsalam!" ucapnya.
"Nah gitu dong, tapi lain kali harus yang iklas ya, Tante," ledeku seraya menceramahi Tanteku yang galak ini hehe....
"Mel, jawab pertanyaan, Tante! Kamu habis ngapain aja sama Dion!? dan kenapa kamu sampai bulukan begini?!" cecar Tante Diani dengan wajah yang menyeramkan dan kedua matanya melotot.
Bersambung....