"War aku kesana sekarang."
Beni mengirimkan pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp kepada Anwar, tanpa menunggu reply dari Anwar, dia bergegas mengambil sepeda motornya dan langsung tancap gas menuju ke rumah orang tuanya Chacha si Kabupaten bagian timur.
Beni sudah tidak memperdulikan lagi bagaimana nanti reaksi penolakan yang akan diterimanya dari Ibu Chacha. Ia hanya ingin segera bertemu dengan Chacha secepatnya.
Bahkan, jika memungkinkan. Beni akan mengajaknya pulang ke Bandung saat ini juga. Walaupun hal itu sangatlah mustahil, mengingat Ibunya Chacha sudah terlalu gelap mata dan hatinya, Ibunya itu pasti akan tetap bersikukuh menikahkan anaknya dengan lelaki tua yang sudah beristri itu.
Perjalanan menuju rumah orang tua nya Chacha memakan waktu kurang lebih satu jam. Beni langsung menghubungi Anwar dan meminta tolong untuk mengantarnya ke rumah Orang tua Chacha.
Anwar tahu, pasti akan terjadi keributan jika Beni tiba-tiba datang ke rumahnya Chacha. Semua Orang di kampung itu sudah mengetahui tentang perjodohan Chacha dengan Pak Burhan yang Tuan Tanah itu.
Ya, Pak Burhan memang orang yang paling kaya di kampung itu, Tanah, Property dan Perusahaannya banyak tersebar di kampung tersebut.
Anwar sempat menolak dan meminta Beni mengurungkan niatnya tersebut, Tapi Beni tetap memaksanya, tekadnya bulat, ia sudah siap dengan konsekuensinya, apapun yang akan terjadi, terjadilah. Fikirnya.
"Ya sudah gih kamu saja sendiri yang ke rumahnya, Aku nunggu di warung depan ya!"
Kata Anwar sembari melangkahkan kakinya menuju warung kecil yang tepat didepan rumah Chacha.
Anwar duduk diteras warung dan memantau keadaan. Ia khawatir terjadi keributan antara ibu Chacha dengan Beni.
Didepan rumah orang tuanya Chacha, Beni sempat berdiam diri untuk beberapa saat.
Rumah dengan bangunan khas jaman dulu didepannya itu dihalangi pagar tanaman dan bambu. Halamannya yang cukup luas di hiasi dengan berbagai macam tanaman. Rumah itu sebenarnya cukup asri, Jika keadaannya tidak seperti ini, Beni mungkin akan betah bertamu ke rumah ini.
Beni melangkahkan kakinya pelan, nampak sedikit keraguan terselip dihatinya, pelan-pelan Beni mengetuk pintu depan rumah itu.
"Assalamualaikum" Ucap Beni memberi salam.
"Semoga bukan Ibunya Chacha yang membukakan pintunya." Beni berdoa dalam hati.
"ceklek! kreekkkk"
Terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam. Lalu keluarlah perempuan separuh baya mengenakan jilbab warna merah muda dan baju terusan berwarna krem motif bunga-bunga.
"Ah, Ibunya Chacha!" Beni berguman dari dalam hati, detak jantungnya seketika berubah, berdebar kacau tidak beraturan.
"Mau apa kamu kesini hah?"
Tanpa basa-basi Ibunya Chacha langsung menghardiknya, bahkan tidak membalas salam.
"Mo-mohon ma-maaf bu, izinkan saya bertemu dengan Chacha sebentar saja, tolong"
Kata Beni dengan suara terbata-bata.
"Tidak bisa! Chacha akan menikah bulan depan! Sebaiknya kamu jangan pernah mengganggu anakku lagii! Faham kamu!?"
Ibunya Chacha mulai gusar, pekik suaranya yang tinggi itu kencang meneriaki Beni.
Dari dalam kamar yang kebetulan letaknya bersebelahan dengan ruang tamu depan, Chacha mendengar suara Beni dan semua keributan diluar. Chacha langsung bangkit dari tempat tidur dan melangkah cepat keluar kamarnya.
"Ibuu! Biarkan Chacha bicara sebentar dengannya, ibu masuklah! Atau Chacha tidak akan pernah menikahi Pak Burhan!"
Chacha mengancam ibunya, agar dia bisa bertemu dan berbicara dengan Beni empat mata.
"Awas kamu ya!"
Ibunya Chacha menunjuk muka Beni, lalu masuk kedalam rumahnya dengan kesal.
"Sayaang"
Beni segera menghampiri Chacha, kerinduan yang begitu hebat terpancar dari sorot matanya. Kedua tangan Beni tanpa ragu memburu dan mengenggam erat tangan Chacha erat.
"Cha, tolong ikut aku sekarang, kita pindah ke Bandung ya, aku tidak mau kamu di nikahi oleh siapapun kecuali aku, apalagi dengan lelaki tua itu, dia sudah beristri!"
Ucap Beni dengan memasang wajah yang memelas itu memohon agar Chacha mau diajaknya pergi meninggalkan kampung itu, dan menggagalkan rencana pernikahannya.
Chacha terdiam dengan wajah yang tertunduk lemas, ia hanya bisa menangis. Nampak sekali matanya itu membengkak dan bibirnya yang kering terlihat pucat pasi.
Melihat kondisi Chacha yang mengkhawatirkan itu membuat Beni merasa hatinya teriris perih, jiwaya merintih melihat kondisi kekasihnya seperti itu.
"A-aku ti-tidak bisa A Ben, Maafkanlah aku A Beni, semoga kamu nanti disana mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku."
Chacha berkata sembari menangis, bulir air matanya deras membanjiri pipi. Semakin lama suara tangisannya itu semakin kencang, air matanya membanjiri wajah hingga dagu dan baju bagian lehernya. Beni merasa sangat tersiksa melihat kondisi kekasih hatinya itu.
Seolah sudah tidak kuat lagi menahan rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya, Chacha buru-buru berlalu, dengan tergesa-gesa, ia melangkahkan kakinya cepat memasuki rumah tanpa menoleh lagi ke belakang.
Beni terdiam bagaikan patung, memandangi punggung Chacha yang berlalu dan menghilang di balik pintu. Badannya terasa bergetar, hatinya hancur, Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Dengan langkai gontai Bejo meraih sepeda motornya lalu meninggalkan rumah itu.
"War, aku pergi. Tolong titip Chacha untukku, besok aku akan berangkat pulang ke Bandung, kemungkinan besar aku tidak akan pernah ke kota ini lagi. Terima kasih atas semuanya ya War."
Beni memeluk Anwar.. Tak terasa ada butiran air mata yang menetes di pipinya.