Chereads / Tiga Cinta Sama Sisi / Chapter 26 - Bab 26 - Flashback Chacha Part 1

Chapter 26 - Bab 26 - Flashback Chacha Part 1

**Flashback Chacha Part 1**

Tepat 1 bulan setelah Beni meninggalkan kota kecil itu. Orang tua Chacha benar-benar menikahkan anaknya dengan Pak Burhan. Keinginan lelaki tua yang sudah beristri itu akhirnya terwujud.

Chacha benar-benar sudah pasrah, lelaki yang dia cintai sudah pergi. Lebih tepatnya, dia yang telah menyuruhnya pergi, dan merelakan dirinya di nikahkan dengan lelaki tua itu.

Chacha merasa telah meninggalkan Beni begitu saja. Lelaki yang dicintainya, lelaki yang sudah menerima kesucian mahkota miliknya itu, dan dia sama sekali tidak pernah menyesali telah menyerahkan kesuciannya.

Saat itu, Chacha tidak dizinkan memegang Smartphone. Bahkan untuk sekedar menghubungi teman-teman kuliahnya pun tidak boleh, dia sudah tidak tahu lagi bagaimana nasib kuliahya, berhenti sampai disini atau masih bisa lanjut?

Chacha kini sungguh merasa terpenjara, seakan tidak mempunyai hak sedikitpun atas hidupnya. Hancur sudah jiwa raganya.

Pagi itu.

Di hari pernikahannya, Chacha menatap kosong cermin di depannya. Baju pengantin yang dia kenakan sekarang, seharusnya menjadi baju kebanggaannya seumur hidup. Tetapi takdir berkata lain, baju pengantin ini serasa mimpi paling buruk dalam hidupnya.

Tiba di depan penghulu, ia duduk berdampingan dengan Pak Burhan. Chacha merasa sudah tidak lagi bernyawa. Tatapan matanya kosong, tidak ada lagi air yang mengalir deras di sudut matanya. Dulu, sinar matanya begitu indah, sekarang nampak redup, layu seakan tidak ada lagi gairah untuk menatap dunia.

Hari ini Chacha sudah bagaikan mayat hidup.

"Saya terima nikah dan kawinnya Chacha Tania Dewi Binti Bagus Dewantoro dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai!"

Pak Burhan mengucapkan kabulnya dengan lantang, di ikuti para saksi yang berteriak.

"Sah!"

"Sah!"

Tiba-tiba,

"Gubrak!"

Terdengar suara tubuh yang tergeletak dan jatuh, terkapar dibawah lantai. Chacha sudah tidak kuat lagi menghadapi kondisi jiwanya yang sangat terguncang itu, terlebih lagi setelah ijab kobul sudah terlaksana, Chacha merasa Bumi ini telah runtuh.

Dia sudah Tamat! Tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Jika dia bisa memilih, mungkin kematian yang akan di pilihnya.

Gelap, Kesadarannya benar-benar sudah hilang. Tubuhnya segera dibopong masuk ke kamar pengantin. Ibu dan Ayahnya mencoba menyadarkan anaknya itu. Sebotol Minyak Kayu Putih disodorkan ke lubang hidung Chacha, berharap dia akan segera sadar.

Setelah beberapa jam, barulah Chacha tersadar. Dia bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk di pinggir ranjang pengantinnya. Ekspresi nya dingin, tatapan mata kosong, sepatah kata tidak terdengar dari mulutnya.

Ibunya yang masih menemani Chacha di kamar pengantin itu.

"Cha, kamu gak apa-apa? Minum dulu ya nak."

Ibunya menyodorkan segelas air putih ke mulut Chacha. Tetapi ia sama sekali tidak bergeming, tatapannya masih kosong. bibirnya tertutup rapat. Benar-benar seperti tidak ada Jiwa yang bersemayam di dalam tubuh itu.

Akhirnya ibu dan saudara-saudaranya hanya bisa membaringkan tubuh Chacha, lalu menyelimutinya, agar dia bisa segera istirahat hingga terlelap tidur. Berharap nanti setelah Chacha bangun, kesadarannya akan benar-benar pulih.

Malam hari, seharusnya menjadi malam pertama yang paling ditunggu seumur hidupnya, tetapi tidak bagi Chacha. Malam ini dia masih seperti patung, zombie atau mayat hidup, rerserah kalian mau menyebutnya seperti apa, Chacha benar-benar seperti raga tak bernyawa.

Sementara Pak Burhan yang dari tadi berusaha mengajaknya berbicara, sama sekali tidak pernah mendapatkan respon. Sejak dari pagi tadi, Chacha tidak berbicara kepada siapapun, termasuk kepada Pak Burhan yang sekarang sudah menjadi suaminya.

Niat Pak Burhan ingin menikahi Chacha, sampai rela membantu keluarganya secara finasial bukan semata-mata karena cinta.

Semua yang dia lakukan karena kelelakiannya sudah sangat tergoda melihat wajah cantik dan padatnya tubuh sexy Chacha yang kerap kali dilihatnya.

Sekarang, malam ini, setelah dia sudah Sah menjadi suaminya, Pak Burhan ingin menagih hak nya. Dia ingin segera meniduri Chacha, menuntut Chacha menunaikan kewajibannya sebagi istri kepada suami, di ranjang pengantin itu.

Karena hasratnya sudah di puncak ubun-ubun, Pak Burhan tidak memperdulikan lagi kondisi istrinya itu, dia buka satu persatu baju pengantin yang masih dikenakannya itu.

Nafas Pak Burhan semakin tidak teratur melihat tubuh istrinya yang sudah tidak tertutup sehelai benangpun.

Sepertinya Pak Burhan sungguh tidak peduli walau Chacha masih tidak bereaksi dan tidak menunjukan ekspresi apapun. Tatapan matanya nampak kosong, hanya ada beberapa butir air yang menetes dari sudut matanya. Pak Burhan tetap ingin menunaikan hasratnya segera.

Dia merasa sudah "membeli" dan sudah menantikan hal ini sejak lama. Dia ingin segera menikmati gadis cantik perawan desa pilihannya itu. Dalam benak kotornya, sekaranglah waktunya untuk mereguk mahkota gadis yang sudah di incarnya sedari dulu.

Pak Burhan nampak sudah siap menyatukan bagian tubuhnya dengan istrinya itu.

"Jleeebb!"

Sekali hentakan kuat, Pak Burhan sudah berhasil menyatukan tubuh mereka secara sempurna. Tetapi seketika ekspresi mukanya langsung berubah.

"Siiaaal!"

Pak Burhan segera melihat ke pangkal paha Chacha. Dia tidak melihat sedikitpun ada bercak darah di ranjang pengantin itu.

"Argh! Kau sama saja dengan wanita-wanita yang ku tiduri sebelumnya! Dasar Siaaal!" Teriak Pak Burhan memakinya sewot.

Hasrat yang tadinya menggebu-gebu seketika hilang begitu saja, dia buru-buru berdiri dan mengenakan pakaiannya kembali. Birahinya sudah berganti dengan amarah.

"Chacha Tania Dewi! Aku ceraikan kamu saat ini juga! Jatuhlah talakku kepadamu! Dasar sampaaah!" Ucap Pak Burhan lantang, buru-buru ia keluar dan membanting pintu kamarnya.

"Braak!"

Lalu dia melangkah kasar melewati ibunya Chacha.

"Aku sudah menceraikannya! Dia bukan wanita yang seperti ku fikirkan! Sial! Dia sudah tidak perawan!" Pak Burhan berteriak lantang kepada Ibunya Chacha, seakan masih belum puas, Pak Burhan kembali menggerutu.

"Huhh! Aku sungguh menyesal sudah menolong keluarga Sialan ini!" Ucap Pak Burhan namoak geram.

Tanpa menunggu jawaban dan penjelasan dari orangtua Chaccha, Pak Burhan pergi dengan terburu-buru meninggalkan rumah itu.

"Aduh pak, gimana ini?" Nampak Ibunya Icha gemetar, raut wajahnya terlihat sangat kebingungan, lalu bergegas masuk ke kamar Chacha.

"Astagfirulloh! Chachaa!" Teriak Ibu.

Ia terkejut melihat kondisi Chacha yang menegang kaku tanpa bergerak sedikitpun, tubuhnya seakan mengeras, Setetes air mata nampak membasahi pipinya. Sementara matanya, masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar itu.

Dengan segera ibunya menutup dan memakaikan pakaian ke tubuh Chacha. Bagaimanapun dia adalah seorang ibu yang melahirkannya. Tiba-tiba ia merasa berdosa telah memaksakan kehendaknya itu kepada anak gadisnya.

"Maafkan ibu nak." Ibunya menangis sesegukan, begitu juga ayah serta adiknya. Mereka menangis melihat kondisi Chacha yang seperti itu. Ibunya sangat terpukul, tidak pernah terbayangkan jika perjodohannya itu akan berakhir seperti ini.

Ibunya Chacha lalu mendekati tubuh Chacha yang nampak kaku itu. Dipeluk tubuhnya erat, diciuminya dengan penuh penyesalan. Air dimatanya terus saja mengalir, Seperti rasa sesal yang tidak berkesudahan.

Semalaman mereka berkumpul di kamar Chacha, menjaga dan mencoba membuatnya sadar kembali.

Berbagi usaha mereka lakukan agar Chacha segera tersadar, tapi sedikitpun tidak membuahkan hasil. Chacha masih tetap tak bergerak. Raut wajahnya benar-benar tanpa Ekspresi, dengan tatapan mata yang kosong melompong.

Keluarga akhirnya berkumpul. Chacha harus segera diobati. Selama hampir seminggu mereka sudah membawanya ke psikater dan berbagai pengobatan alternatif lainnya. Tetapi masih belum ada perubahan yang signifikan.

Sampai akhirnya Pamannya yang di Bandung mengusulkan agar Chacha dibawa ke pesantren Abah Ucup. Kiai yang mahsyur di daerah Pangalengan.

Disanalah mulai terlihat Perkembangan Kesehatan dan kondisi psikis Chacha.

Chacha tinggal di pesantren itu hampir 8 bulan lebih lamanya. Atas kuasa yang Maha Esa, melalui pengobatan Abah Ucup serta do'a-do'a dari para santri, kondisi Chacha perlahan-lahan mulai berangsur pulih.

Tatapan matanya tak lagi kosong, bahkan sudah mulai bisa diajak bicara walau hanya menjawab dengan kata-kata yang singkat seperti "Iya" atau "Tidak". Itu sudah merupakan kemajuan yang luar biasa.