Tak tahan dirundung rasa malu, Takumi beranjak untuk berlalu. Namun, Sakurako menahan lengannya dan kembali menyodorkan sesendok nasi.
"Akazawa-san, kau harus makan dulu. Perutmu lapar!"
"Lepaskan! Aku mau tidur!"
"Tidak! Makan dulu."
"Lepaskan tanganku!"
"Tidak!"
"Lepas!"
"Tid-akh ...."
Akibat dari tarik-menarik terlalu kuat, mereka berdua pun jatuh dengan posisi Takumi menindih Sakurako. Jarak mereka terlalu dekat membuat manik mereka saling menatap lekat.
Jantung ikut berpacu disertai geleyar aneh menderu. Namun, keduanya bergeming.
"Ekhem!"
Keduanya menoleh. Melihat seorang perempuan berusia sekitar 18 tahunan, tengah bersidekap menatap mereka berdua.
"Nee-chan!" pekik Takumi sambil melotot terkejut.
"Apa aku mengganggu, Taku-chan?" ucap kakaknya Takumi, setengah menyindir. Dia berdiri bersidekap di ambang pintu.
Keduanya segera bangkit, lalu merapikan diri dengan gugup. Rona merah menghiasi wajah bersama degup aneh yang tak kunjung sudah.
"Kenapa Nee-chan pulang? Bukankah Nee-chan bilang hanya diperbolehkan pulang dari asrama ketika libur sekolah saja?" Takumi memecah kecanggungan yang mencekam.
"Memang kenapa kalau aku pulang sekarang? Agar kalian bisa berduaan di rumah, heum? Apa-apaan adegan kalian tadi?!" omel kakak perempuannya Takumi.
"Tidak, bukan itu maksudku." Takumi menggaruk tengguknya, menghindari tatapan tajam dari sang kakak.
"Lalu, siapa gadis ini?" tanya kakaknya lagi, memperhatikan Sakurako dari atas hingga bawah.
"Ah, perkenalkan! Nama saya Sakurako teman dekat putra Anda, Onee-san," ujarnya tersenyum manis seraya membungkuk sembilan puluh derajat.
*Onee-san = kakak perempuan
Takumi berbisik, "Hey! Sejak kapan kita menjadi teman dekat, huh?"
"Hmm, sejak dua jam yang lalu hehehe," sahut Sakurako disertai senyuman aneh yang membuat Takumi jengkel.
Kakaknya Takumi mengawasi saudaranya yang sedang berbisik-bisik dengan gadis cantik itu.
"Taku-chan, kekasihmu ini selain cantik, imut, rupanya sangat sopan, ya?" ucap saudarinya sembari mengusap lembut surai indigo milik Sakurako.
Takumi mendelik tajam. "Dia bukan kekasihku, Nee-chan!"
"Wah! Apa Rako-chan yang memasak semua ini?" pekik perempuan tersebut, terkejut melihat berbagai masakan di atas meja, mengabaikan Takumi begitu saja.
Sakurako mengangguk, "Benar, Nee-san."
"Kebetulan sekali aku lapar. Ayo kita makan bersama!" ajak saudari Takumi, riang.
"Tapi Nee-san——" Takumi tidak melanjutkan kalimatnya karena tak diacuhkan saudarinya.
Perempuan yang sepertinya duduk di bangku kuliahan itu menuntun Sakurako ke meja makan. Mau tidak mau akhirnya Takumi ikut duduk untuk mengawasi dua wanita yang kini tengah berceloteh ria.
"Wah, masakan Rako-chan sangat lezat!"
"Benarkah, Nee-san?"
Perempuan yang selama ini tinggal di asrama itu mengangguk sembari menikmati makanan yang ia kunyah. Takumi mengernyit mendengar saudarinya memuji masakan yang awalnya ia anggap terdapat racun di dalamnya.
Takumi pun mencicip sesendok, mengunyahnya lalu ditelan. Setelah dirasa, rupanya sangat luar biasa. Bahkan masakan ini jauh lebih enak dibanding yang sehari-hari dirinya buat.
Akhirnya, Takumi pun makan dengan lahap.
***
Selesai melaksanakan makan malam, Sakurako mencuci piring dibantu Takumi yang terpaksa melakukannya karena desakan sang ibu.
Sesungguhnya wanita yang tumbuh besar bersama Takumi itu pulang hanya untuk mengambil beberapa barang. Setelah itu, kembali pergi ke asrama. Selama ini, Takumi dan saudarinya memang hanya tinggal berdua. Terjadi masalah rumit dengan keluarga mereka sehingga Takumi hanya tinggal bersama saudarinya.
Sebenarnya, Takumi gusar jika kakaknya pergi. Ia akan sangat kerepotan mengurus rumah yang sama sekali bukan keahliannya. Takumi bahkan kesal kenapa saudarinya itu memutuskan untuk tinggal di asrama kampus.
Takumi menghela napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kasar. Ia mendesah berulang kali hingga membuat Sakurako menoleh penasaran.
"Akazawa-san, kenapa?"
"Jangan panggil margaku!"
Tiba-tiba Takumi kesal, padahal selama ini ia tidak pernah melakukan aksi protes jika Sakurako memanggil nama keluarganya. Mungkinkah ia ingin dipanggil dengan nama kecilnya?
"Baiklah, Takumi-san kenapa?"
"Kurasa aku mulai menyadari sesuatu," ujarnya seraya menerawang.
"Menyadari apa?" tanya Sakurako tak mengerti.
"Bahwa kau itu tidak nyata. Tidak ada Sakurako. Tidak ada youkai. Tidak ada hantu. Kau hanyalah makhluk ilusi yang aku ciptakan. Sepertinya aku menderita gangguan mental."
"Hah? Kenapa tiba-tiba? Tapi, ibumu bisa melihatku, Takumi-san." Sakurakomembantah.
"Tentu saja! Karena dia ibuku jadi dia membenarkan segala ucapanku."
Hening sejenak.
Sakurako menunduk.
"Apa benar begitu? Lalu, bagaimana caraku membuktikan kalau aku ini nyata?"
"Mulai sekarang kau harus mencucikan bajuku, membuang sampah, mencuci piring, membersihkan rumah. Dengan begitu kau bisa menunjukkan eksistensimu," jelas Takumi sembari menunjuk tumpukan cucian kotor, piring kotor dan sampah.
"Baiklah," sahut Sakurako, kegirangan.
Sakurako yang polos pun setuju, tanpa mengetahui bahwa Takumi kini mengulas seringai kelicikkan.
To be continued ....