***Keesokan harinya****
Cicit kecil burung sembari mengepak sayapnya mengitari sangkar keemasannya yang tergantung di langit-langit teras rumah. Kicau merdu itu berulang mengalun bagai simfoni siap menyambut pagi. Ditambah suara gemericik air kolam ikan kecil tepat di teras samping yang baru saja selesai dibuat, menambah indahnya suara menyambut pagi.
Ya, karena permintaan gadis kecil mereka yang tiba-tiba menyukai ikan koi, Danendra membuatkan Hayana kolam ikan persis seperti yang diinginkan sang putri. Kolam kecokelatan dengan air mengucur dari bebatuan buatan. Tampak tiga ekor ikan berwarna putih bercak tak beraturan kemerahan, menari di dalam jernihnya air.
Keluarga kecil Danendra baru saja memulai hari mereka dengan sarapan pagi, menu roti tawar sederhana dengan polesan beraneka selai dan margarin bertabur cokelat meses kesukaan Hayana .
"As, aku ke kantor sekarang," pamit Danendra , berdiri sembari menggeser pelan kursi ke belakang setelah menyelesaikan suapan terakhir.Asha masih membantu Hayana menyelesaikan potongan roti di atas piring hanya mendongak, menyerahkan pipi dan keningnya untuk santapan bibir suaminya seperti biasa.
"Ya, Mas," sahut Asha, menikmati sapuan lembut bibir suaminya.
Tanpa mengantar sampai ke pintu, Danendra berangkat ke kantor sendirian tanpa disopiri Pak Radin .Hari-hari Asha sejak kembali ke Jakarta, bisa dikatakan damai. Tidak ada bayangan masa lalu yang tadinya terus menghadang bahtera rumah tangga mereka. Belakangan, biduk itu bisa terbilang tenang melaju mengikuti arus.
Asha sibuk mengurus putri kecilnya dan Danendra sibuk dengan pekerjaan dan proyek-proyeknya. Sejak pulang dari Surabaya dibilang pekerjaan Danendra makin padat.
Seperti hari ini, bahkan Danendra harus menikmati pekerjaan sekalipun sedang akhir pekan. Mobil sport hitam Danendra baru saja meluncur keluar dari kediamannya. Tidak lama setelahnya tampak sebuah Alphard dengan warna yang sama, menerobos masuk tanpa permisi ke halaman rumah.
Belum sempat security yang menjaga gerbang menutup pagar rumah itu, tiba-tiba dari sisi kanan jalan meluncur mobil hitam membuat penjaga berseragam hitam itu mengalah. Membiarkan kendaraan itu meluncur dan berhenti tepat di depannya.
"Selamat pagi, Pak," sapanya, mengetuk jendela mobil sisi sopir.Sang sopir segera menurunkan kaca.
"Pak Herman ingin bertemu Pak Danendra ," jelasnya tersenyum,jempolnya menunjuk ke kursi belakang. Tampak lelaki dengan kemeja hitam,berwajah oriental duduk dengan santainya. Lelaki itu masih mengenakan kacamata hitam, duduk dengan tangan terlipat.
"Maaf, Pak. Pak Danendra baru saja keluar," jelas security rumah.
"Wah ... bagaimana Pak?" sopir yang masih memegang kemudi dengan kedua tangannya tampak menoleh ke belakang untuk meminta pendapat majikannya.Laki-laki itu tertegun sejenak. Membuka kaca-mata hitam yang mengantung di hidung mancungnya dan menyimpan di saku kemeja.
"Kalau begitu, kita kembali ... sa .."Kalimat tidak terselesaikan saat netranya menangkan sosok Asha yang keluar dari pintu utama sambil menggandeng tangan Hayana .
Perasaan hangat menyusup, memenuhi relung hatinya. Hanya dengan memandang dari kejauhan saja, naluri ayah yang selama ini tidak pernah terpancing keluar dari dirinya tiba-tiba menerobos batas akal sehatnya. Tanpa memberi jawaban pasti, Herman melangkah turun dari mobilnya.
"Selamat pagi, Nyonya. Maaf mengganggu paginya," sapa Herman , tersenyum.
Kali ini laki-laki itu memberanikan diri menatap Asha .Tidak seperti pertemuan pertama mereka,Herman lebih fokus pada putri kecilnya.Asha mengangguk tanpa suara.
"Maaf, Mas Dan sedang ke kantor hari ini. Kebetulan ada pekerjaan," jelas Asha tanpa diminta.
Sejak kedatangan Herman , Danendra sudah bercerita banyak ke istrinya. Semua hal dari hubungannya dengan Herman sekaligus cerita Isyana , tidak ada yang ditutup-tutupinya. Dan ketika Asha bertemu kembali dengan Herman ,Asha sudah bisa menguasai keadaannya.
"Ya, penjaga di gerbang sudah memberitahunya tadi," sahut Herman , beralih menatap Hayana yang mengenggam erat tangan Asha .
Pandangan lekat penuh arti itu sampai akhirnya membuat Hayana jengah. Lutut lelaki itu baru saja bertekuk, bersimpuh supaya bisa sejajar dengan putri kecilnya.
"Hai, Gadis cantik," sapa Herman , menepuk pucuk kepala Hayana .
"Mommy," ucap pelan gadis kecil itu memeluk lutut Asha dan membenamkan wajahnya di sana, menutup matanya supaya kehadiran Herman tidak tampak di penglihatannya.
"Ya, Sayang." Asha berusaha menenangkan.
Menyelipkan kedua tangan di bawah ketiak Hayana , mengangkat tubuh mungil itu naik di gendongannya.
"Om-nya baik kok, Sayang," bujuk Asha , cukup mengerti dengan penolakan Issabel pada laki-laki asing yang menatap penuh harap bisa menyentuh Hayana .
Terlihat dari tangan yang bergetar ragu hendak mengusap punggung mungil di depannya. Melihat betapa erat belitan Hayana di lehernya, Asha cukup paham kalau Hayana masih belum mau memberi celah sama sekali.
"Maaf, Pak, sepertinya Nana belum mau didekati," ucap Asha , merasa tidak enak. Danendra memang memintanya mengizinkan Herman mendekati Hayana , tetapi kalau putrinya ini menolak, Asha juga tidak bisa apa-apa.
"Oh ya, ada keperluan penting dengan Mas Danendra ?" tanya Asha . Kembali ke topik pembicaraan awalnya.
"Tidak terlalu penting. Kebetulan saya akan terbang ke Surabaya, sekalian mampir." Herman menjelaskan. Tatapannya masih belum beralih, gadis kecil yang bergelayut manja di dalam gendongan mommynya.
"Maaf menganggu. Saya kira Danendra tidak bekerja di hari Iibur," lanjut Herman , mulai merasa tidak enak. Herman cukup paham, sebenarnya tidak pantas bertamu sepagi ini apalagi si tuan rumah sedang tidak ada. Takut akan menjadi kesalah pahaman. Asha mengangguk.
"Kalau penting, aku bisa menghubungi Mas Dan dan memintanya pulang," ucap Asha.
"Tidak. Aku hanya mampir sebentar. Tidak bisa lama-lama." Laki-laki itu tampak membeku, lagi-lagi menatap ke arah yang sama. Punggung Hayana dengan rambut kepang duanya. Menyadari itu, Asha
berusaha membantu.
"Nana , 0m ini ternyata punya boneka Hello kitty juga di rumahnya. Besar," cerita Asha dengan logat lucu dibuat-buat. Sontak membuat perhatian Hayana teralihkan. Buru-buru mengangkat kepalanya dari pundak Asha .
"Ya, Mommy?" tanya Hayana memastikan.
"Ya, Sayang." Asha mengusap pelan kepala putrinya.
"Mawu kitty," pinta Hayana .
"Nanti kita minta Daddy beli hello kitty yang besar, seperti punya 0m. Mau?" tawar Asha .
"Mau," sahut Nana .
"Kalau mau, ayo kita temenan dengan 0m," bujuk Asha. Mendengar ucapan mommynya.
Hayana kembali bersandar manja, mengeratkan pelukannya di leher Asha . Gadis kecil itu menggeleng keras.
"No," pekiknya pelan.
Herman sejak tadi hanya menonton dan diam-diam memerhatikan interaksi keduanya. Mendengar penolakan putri kandungnya, ada rasa aneh menyelinap di hatinya.Sejak mengetahui kebenarannya dari Isyana , ditambah hasil tes dari rumah sakit, perlahan rasa sayangnya pada Hayana makin bertumbuh.
Apalagi sejak saat itu, hari-harinya dipenuhi dengan foto-foto lucu Hayana yang dikirim orang suruhannya hampir setiap saat. Mengisi tempat kosong di hatinya yang ditinggal pergi almarhum istrinya.
"Terima kasih," bisik Herman , mengalihkan pandangannya pada Asha . Asha sedang membujuk dan mengecup Hayana . Ada kehangatan menjalar di hatinya, saat melihat pemandangan ibu dan anak yang begitu dekat.