Herman berpamitan setelah merasa Hayana tidak mau berdekatan dengannya. Hanya dengan melihat dari dekat, itu sudah lebih dari cukup untuknya. Hanya bisa berdoa, suatu hari, putrinya bisa benar-benar menerima keberadaannya meskipun hanya berstatus orang lain.
Wajar saja, Hayana tidak mau bersamanya. Selama ini Herman hanya orang asing bagi putrinya sendiri. Mungkin ini adalah bentuk hukuman atas dosanya dulu saat Isyana hamil dan Herman menolak untuk menikahi dan memberi status pada anaknya sendiri.Setelah ada orang lain yang mengambil tanggung jawabnya, rasanya tidak adil kalau Herman
masih ngotot dan memaksa.
Sebelum berpamitan, lelaki itu memberanikan mengecup paksa rambut Hayana yang beraroma khas sampo anak-anak, menikmati sentuhan langsung pada darah dagingnya. Ini adalah kali pertama ia menyentuh putrinya. Sebelum hasil tes DNA itu keluar,Herman sama sekali tidak mau dekat dengan Hayana , meskipun saat penculikan yang didalanginya,Herman memiliki kesempatan. Rasa tidak percayanya pada Isyana , membuat Herman menolak mengakui putrinya sendiri, dan sekarang setelah semua jelas keadaan tidak di pihaknya.Hayana menolak keberadaannya.
Hatinya kecewa saat merasakan Hayana yang ketakutan saat bersentuhan dan menjerit kencang.
"Ya, 0m cuma mau sayang ...." Herman tidak melanjutkan perkataannya, bingung harus memanggil Hayana dengan sebutan apa.
"Kami biasa memanggil Nana," jelas Asha , membuang pandangannya. Ada rasa sungkan ketika harus berdekatan dengan lelaki asing yang baru dikenalnya.
"0m pamit, ya," lanjut Herman.
"Saya pamit," ucapnya, tersenyum hangat pada Asha.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, bibir Herman terus tersenyum. Gambaran putrinya di dalam gendongan Asha terus membayang di wajahnya. Tidak jarang lelaki itu bicara sendiri di kursi belakang, menggambarkan betapa menggemaskannya sang putri.
Kalau keadaan mendukung, ingin sekali membawa Hayana pulang ke Surabaya dan mengenalkan gadis kecil itu pada kedua orang tuanya.
"Wanita ini masih muda, terlihat berbeda
dibandingkan kakaknya," lanjut Herman . Bibirnya tidak berhenti berkata. Entah kalimat berita itu ingin dibagi dengan siapa, hanya ada dirinya dan sopir di dalam mobil.
"Rencananya, kapan Pak Herman kembali ke Jakarta?" tanya sang sopir lagi.
"Secepatnya. Untuk saat ini, aku ingin mengambil hati putriku. Aku berharap Danendra mengizinkan. Suatu saat aku ingin mengenalkan Hayana pada kedua orang tuaku. Pasti mereka senang sekali," jelas Herman .
Tangannya dengan cekatan mentransfer foto dari ponsel sopir ke ponsel pribadinya. Dari sekian banyak foto Hayana yang tersimpan di ponsel pintarnya, hanya visual yang baru saja
diambil, yang menggambarkan kedekatan Hayana bersama dengan Asha.
Di sisi lain, Asha yang baru saja ditinggal
tamunya, tampak mencari ponselnya. Masih dengan menggendong putrinya,Asha menghubungi suaminya, mengabarkan kedatangan Herman yang tiba-tiba di rumah mereka. Asha tidak mau suaminya pikir maces-macem. Tentu menjadi kejutan untuk Danendra , lelaki itu bahkan langsung berpikiran negatif. Kedatangan Herman ke rumahnya, sedikit banyak membuatnya khawatir.
"Berapa lama dia di sana, As?" tanyanya setelah mendengar cerita istrinya panjang lebar,berusaha menutupi pikiran buruknya.
"Tidak lama, Mas. Hanya sebentar, dia mau ke bandara jadi sekalian mampir."jelas Asha.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Danendra lagi.
Laki-laki itu masih fokus dengan kemudi di tangan. Melajukan mobilnya sembari berbicara dengan istrinya di ponsel.
"Tidak ada. Hanya basa basi, Mas. Aku kasihan, sepertinya dia sangat menyayangi Nana, tetapi putri kecilmu ini menolak, tidak mau di dekati," cerita Asha .
Danendra tersenyum. Meskipun Danendra sadar Hayana bukan putri kandungnya dan Herman adalah ayah biologis dan seharusnya lebih berhak atas Hayana . Namun, saat mendengar Hayana menolak Herman , ada semburat bahagia terlihat di wajah tampan Danendra .
Sebut saja Danendra cemburu, dan benar adanya. Kalau bisa Danendra tidak ingin berbagi status ayah dengan orang lain. Sejak kecil Hayana bersamanya.
Tiba-tiba, Herman datang membawa fakta tidak terbantah kalau Hayana putrinya. Sungguh berat rasanya untuk Danendra . Belum siap menerima putrinya memanggil Daddy pada laki-laki lain. Danendra berharap bisa menjadi Daddy Hayana selamanya.
"Kalian tidak membahas hal lain bukan?" tanya Danendra lagi. Rasanya Danendra ingin tahu semua hal. Kalau boleh jujur selain alasan Hayana , ia sedikit tidak rela ketika istrinya dikunjungi laki-laki lain.
"Tidak ada, Mas," sahut Asha , belum paham arti dari pertanyaan suaminya yang menyimpan bibit-bibit cemburu.
Cemburu tersembunyi karena Danendra belum siap mengakui perasaannya sendiri. Selama ini,Danendra berusaha membantah. Baik di depan atau pun dirinya sendiri. Laki-laki itu menolak mengakui perasaannya sendiri, yang sampai sejauh ini dirasakannya untuk Asha.
Getar-getar cinta yang entah saja kapan tumbuh, tetapi ia mulai merasakan kembali gairah yang dulu sempat dirasakan.
"Kamu tidak mengundangnya masuk ke dalam rumah kita, kan?"Danendra kembali melempar tanya.Rasanya belum puas.
"Tidak, Mas."jawab singkat Asha.
"Jangan biarkan dia memandangmu, ya!" titah Danendra , seperti anak kecil.
"Mas."ucap Asha.
"Apa-apaan sih!" gerutu Asha , sudah ingin mematikan sambungan ponselnya. Kesal bercampur bahagia dengan pertanyaan Danendra yang tidak berkesudahan.
"Maaf, tetapi kalau dia mengunjungi kalian lagi di rumah. Tolong kabari. Aku tidak mau istri dan putriku berduaan dengan lelaki lain di belakangku," jelas Danendra . Asha mengerutkan dahi. Masih dengan ponsel menempel di telinganya.
"Jangan katakan Mas cemburu pada Herman," ucap Asha tiba-tiba.Danendra tergagap kali ini, kakinya tiba-tiba menginjak pedal rem. Seketika laju mobilnya terhenti.
"Ti ... tidak bukan seperti itu. Aku ... aku
hanya Danendra berusaha mencari alasan.
"Aku hanya takut dia menculikmu dan Nana.Aku tidak mau terjadi sesuatu pada kalian," elak Danendra.
Begitu sambungan itu terputus, Asha tersenyum menatap Hayana .
"Daddymu itu gengsinya tinggi sekali. Cemburu saja tidak mau mengakui. Padahal Mommy begitu berharap dia mengatakannya di depan Mommy," gerutu Asha.