Danendra menyusul masuk ke dalam kamar, kemudian mengurung istrinya di kamar supaya bisa berbicara berdua tanpa diganggu. Meminta Asha mendengarkan penjelasannya sekaligus meminta penjelasan Asha .
"Ada apa, As ?" tanya Danendra , berdiri kaku sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Terlihat Asha berjingkat mengeluarkan pakaian suaminya dari dalam lemari. Sengaja Danendra meninggalkan beberapa potong pakaian rumah, jika mendesak bisa dipergunakan. Koper miliknya masih tertinggal di depan.
"As , bisa kita bicara baik-baik?" tanya Danendra lagi,bersikap lembut, tidak seperti biasanya.
"Bicaralah, Mas! Aku masih banyak urusan.Bukan hanya mengurusi Mas saja," sahut Asha ,meletakan kaus dan celana pendek suaminya di atas ranjang. Danendra menghela napas, memilih kata-kata terbaik untuk melontarkan pertanyaan yang sejak semalam mengudara di pikirannya. Danendra belajar banyak menghadapi Asha yang begitu sensitif Dan meledak kapan pun.
"Apa yang terjadi, As?" tanya Danendra , berjalan mendekat.
"Aku mau berpisah, Mas," sahut Asha masih mempertahankan niatnya. Sedikit pun Asha tidak berniat mundur. Benar-benar Asha sudah mantap, tidak akan gentar dengan keputusannya.
Deg—
Kalimat Asha seketika sanggup membuat dunia Danendra berhenti berputar. Kalimat yang sering kali diucapkan Asha . Danendra tersenyum, berusaha menolak untuk menerima pernyataan istrinya.Memastikan ulang pendengarannya tidak salah.Mata biru, tajam bagai elang di wajah tampan Danendra sedang menatap iris mata istrinya. Mencari kesungguhan di dalam ucapan Asha , bukan
karena emosi atau keegoisan semata.
"Tidak!" Akhirnya Danendra melakukan penolakan seperti yang sudah-sudah.
"Tolong pikirkan Hayana , sebelum mengucapkan hal yang menyakitkan itu, Sweetheart."Penolakan Danendra terdengar jelas. Bahkan dengan sekali sergapan, lelaki itu berhasil memeluk paksa istrinya yang berjarak semeter dengannya.
"Aku mohon. Jangan bahas perceraian,"
pinta Danendra , mengusap lembut rambut Asha .Kebiasaan yang selama ini selalu dilakukannya.Danendra berharap Asha mengalah dan membatalkan niatnya.
"Untuk pertama kali selama belum dua bulan Mas mengakui keberadaanku, aku
bisa tidur. Dan semalam aku bisa tidur nyenyak sekali, Mas," ucap Asha berdusta. Sengaja membuat Danendra sakit hati.
Danendra menelan ludah. Kata-kata Asha seperti tamparan keras di wajahnya. Beralih, Danendra memandang wajah cantik istrinya. Kombinasi antara kesal dan kemarahan yang jelas-jelas ditujukan padanya.
"Mas mandi dulu, aku akan buatkan kopi untukmu," ucap Asha , berusaha melepaskan diri dari dekapan erat Danendra .
Senyum Danendra terkembang saat Asha
menawarkannya secangkir kopi. Setidaknya perasaan Asha masih tersisa untuknya meski hanya secuil.
"Apapun itu ... maafkan aku," ucap Danendra merasa sudah di atas angin. Istrinya melunak dengan menawarinya secangkir kopi. Bahkan selama di Jakarta, Asha tidak pernah membuatkan untuknya. Semua dilakukan asisten.
"Mau dicampur sianida atau pestisida?" tanya Asha dengan mimik serius.
Deg—
Ternyata dugaan Danendra salah. Kemarahan Asha masih di ubun-ubun, sedikit pun belum mereda sama sekali.
"As, sudah ya. Kalau aku bersalah padamu, aku minta maaf," pinta Asha kembali.
"Mandi dan habiskan sarapanmu di bawah, Mas.Aku harus menemui Hayana ," potong Asha ,meninggalkan Danendra sendirian di dalam kamar.
Danendra turun ke bawah saat matahari mulai menyembul di ufuk timur. Semburat cahaya masuk ke dalam ruang makan melalui jendela kaca.Setelah mandi,Danendra memilih tertidur dulu dengan nyaman, memulihkan staminanya yang terkuras setelah bekerja seharian ditambah harus menyetir dalam jarak jauh.
Sampai di ruang makan, tidak terlihat istrinya.Hanya ada Ibu Rani yang juga sedang menikmati semangkuk sereal tanpa rasa untuk mengganjal perutnya di pagi ini.
"Bu, Asha di mana?" tanya Danendra , mengedarkan pandangannya.
"Dia sedang jalan-jalan keliling komplek."Jawab Ibu Rani santai.
Danendra menarik kursi, tersenyum menatap sarapan pagi yang sudah dingin. Sepiring nasi dengan telur mata sapi.
"Tunggu, Nak. Nanti ibu minta asisten rumah tangga memanaskan untukmu." Ibu Rani menahan tangan Danendra yang hendak menyuapkan nasi putih ke dalam mulutnya.
Tidak lama, sepiring nasi yang tadinya dingin,sekarang mengepul kembali. Setidaknya ini lebih mudah, menelan menu makanan yang tidak biasa untuk mulut Danendra yang lumayan bawel soal masakan.
"Apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian?"tanya Ibu Rani , mencari tahu. Sejak kemarin Ibu Rani sudah mengorek banyak hal dari Asha , tetapi putrinya tidak mau terlalu terbuka.
"Aku tidak tahu, Bu. Emosi Asha berubah-ubah.Jujur aku bingung menghadapinya," sahut Danendra pelan. Tertunduk malu di usianya yang tidak muda lagi harus menghadapi masalah rumah tangga kembali. Dan parahnya, lagi-lagi Ibu Rani yang menjadi pendengar setianya.
"Dulu, kamu pernah gagal dan itu masalahnya di istrimu. Dan lagi-lagi sekarang ... rumah tanggamu bermasalah. Asha ingin menuntut cerai . Ibu tidak bisa membantu kalau tidak tahu permasalahannya," ucap Ibu Rani .
"Aku tidak tahu jelas. Pertengkaran kami yang terakhir saat asistenku, Ramos menghubungiku dan kebetulan Asha yang menerimanya. Kemungkinan Asha tersinggung karena aku membentaknya saat dia dengan lancang mengangkat
ponselku," sahut Danendra . Ada sesal di dalam hatinya. Kalau bisa mengulang, Danendra tidak akan melakukannya.
"Menurut Asha , dia kecewa dengan sikapmu yang tidak terbuka. Kamu diam-diam membantu Danisha tanpa sepengetahuannya,"cerita Ibu Rani .Danendra melepas sendok dan garpu dari tangannya.
"Bu, sebelum aku bermain kucing-kucingan dengan Asha mengenai bantuan ke Danisha . Aku sudah pernah berterus terang padanya, tetapi setelah itu ... Asha terus berpikir. Semua hal disangkut pautkan dengan dan itu mempengaruhi pikirannya,"jelas Danendra.
"Aku tidak mau terjadi sesuatu pada istri dan Keluargaku. Aku sudah menolak tegas kehadiran Adeline di rumah tangga kami, tetapi Asha memaksa untuk merawatnya," jelas Danendra .
Obrolan menantu dan mertua itu terhenti saat terdengar percakapan santai dari halaman rumah. Mendengar suaranya, mereka tahu jelas kalau Asha dan Hayana yang sudah kembali dari acara jalan-jalan keliling komplek.Tidak lama, langkah kaki itu semakin mendekat dan terdengarjelas.
"Bu!" teriak Asha sambil mengendong Hayana dan bergegas masuk ke dalam rumah. Nyaris terjengkal karena kakinya tersandung karpet di ruang makan.Melihat itu Danendra langsung berdiri, dengan sigap mengambil alih Hayana dari gendongan Asha.
"Bu, aku bertemu dengan Bu Haris, tetangga rumah kita," cerita Asha, menarik kursi dan duduk tepat di sebelah ibunya.
"Lalu kenapa dengan Bu Haris?" tanya Ibu
Rani heran, sembari menyuapkan sesendok sereal ke dalam mulutnya.
"Tadi sempat mengobrol dan aku mau bekerja di kantor suaminya," cerita Asha dengan santai. Asha tidak memedulikan kehadiran Danendra yang sedang melotot padanya.
"TIDAK!" potong Danendra , merespon kalimat Asha .
Hayana yang masih di gendongannya langsung menangis kencang karena terkejut dengan ucapan Danendra yang keras dan tegas.