Beberapa hari ini suasana di kediaman Danendra terlihat tenang. Asha memilih tidak memusingkan apa yang dirasakan di dalam hatinya. Asha memilih mendengarkan semua nasehat ibunya, mencoba mengerti dan memahami semua Iuka yang dirasakan Danendra dulu. Asha mencoba berdamai dengan masa lalu suaminya.
Rumah itu sudah terdengar ramai,menyambut mentari pagi yang siap terbit di ufuk timur. Hayana yang makin hari makin menggemaskan.Mulai pintar dan banyak bicara, apalagi sejak kehadiran Adeline di keluarga kecil mereka. Memberi warna di keseharian Hayana . Beberapa hari tinggal di sini, Adeline sanggup mencuri tempat di hati Hayana .
Adeline sendiri mulai terbiasa dengan rutinitas di keluarga barunya. Gadis tanggung itu tidak tahu jelas sampai kapan Adeline akan dititipkan di sini. Namun, Adeline menikmati rasanya memiliki keluarga lengkap, ayah, ibu dan seorang adik yang lucu,kendati Adeline masih merindukan sosok ibu kandungnya.
Pagi itu, terlihat Ibu Rani sedang bersiap,
merapikan isi kopernya dibantu oleh asisten rumah tangga.Adeline yang kebetulan Iibur sekolah dan Hayana tampak duduk di dekat wanita tua yang disapa Oma itu.
"Oma, terus kapan ke sini lagi?" tanya Adeline ,gadis itu sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Ibu Rani .
"Nanti Oma datang lagi. Kapan-kapan Adeline main ke tempat Oma, ya," ucap Ibu Rani ,tersenyum. Merapikan anak rambut Adeline yang berantakan.Adeline mengangguk, tersenyum menatap Hayana yang duduk di pangkuan Ibu Rani . Sejak awal, gadis kecil itu tidak mau berpindah, seolah paham kalau omanya akan segera pulang ke Surabaya.
Tidak lama, terdengar bunyi pintu kamar terbuka. Muncul Asha dari balik pintu dengan daster batik sederhananya. Kecantikan alami seorang Asha Biantara terpancar disana.
"Bu, aku masih tidak rela,"ucap Asha menahan tangis. Tiba-tiba sudah berlutut memeluk pundak Ibu Rani dari belakang. Ibu Rani yang sedang duduk di lantai sembari memangku cucunya sampai harus hilang keseimbangan karena rangkulan Asha yang mendadak.
"Anak manja! Nanti ibu berkunjung ke sini lagi," jelas Ibu Rani,
"Ayo bangun. Jangan manja. Tidak malu dengan kedua putrimu yang cantik-cantik ini. Mereka juga tidak menangis,"
lanjut Ibu Rani .
"Aku masih tidak rela, Bu," ucap Asha masih saja bermanja dengan ibunya.
"Sudah,jangan begini. Di mana suamimu? Sudah bangun?" tanya Ibu Rani .
"Tadi di kamar mandi. Ibu mau apa?" tanya Asha , penasaran.
"Ibu mau pamitan. Yang akur, jangan
bertengkar. Tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak. Suamimu itu sangat menyayangimu. Hanya saja dia lelaki yang kaku dan tidak mau memahami isi hatinya sendiri,"pinta Ibu Rani .
"Ah, ibu seperti mengenal luar dalam suamiku saja," ucap Asha .
"Ayo panggilkan suamimu. Ada yang harus ibu sampaikan padanya," pinta ibu Rani .
Dengan langkah gontai dan terpaksa, Asha akhirnya menurut. Kembali ke kamarnya dan mencari sosok suami yang sering dielu-elukan ibunya.
"Mandinya kenapa lama sekali," celetuk Asha ,saat indra pendengarannya masih mendengar gemericik air dari keran di dalam kamar mandi.Menghempaskan tubuhnya di sisi ranjang, menunggu Danendra menyelesaikan acara mandinya yang sudah seperti putri keraton. Sewaktu Asha keluar dari kamar menemui ibunya, Danendra masuk ke dalam kamar mandi, tetapi sampai Asha kembali lagi, suaminya itu masih saja betah di dalam.
Duduk menunggu tanpa kepastian, Asha dikejutkan dengan suara dering ponsel. Berdering dan berderit karena getarannya berbentur dengan nakas kayu.Awalnya, Asha memilih mengabaikan, mengingat itu adalah ponsel milik suaminya. Asha tidak mungkin melewati batasannya meski pun statusnya istri Danendra , tetapi suara ponsel yang tidak mau berhenti, jeda sebentar dan kembali berbunyi membuatnya mendekat.
Begitu melihat nama Ramos terpampang nyata dilayar, Asha memberanikan diri untuk menerimanya. Toh, Ramos juga mengenal baik dirinya. Paling tidak Asha bisa menyampaikan kepada asisten suaminya itu, kalau atasannya sedang mandi.
Baru saja jemarinya menggeser logo hijau,
bahkan Asha belum sempat menempelkan gawai itu dengan sempurna di telinganya. Suara Ramos yang familiar sudah terdengar nyaring tanpa bisa disaring.
"Pak,aku sudah mengurus semuanya.Danisha juga sudah dipindahkan ke ruangan yang lebih baik sekaligus ditangani oleh dokter terbaik. Aku pastikan tidak ada yang mengetahui campur tangan Pak Danendra dibalik semua ini."jelas Ramos di telepon.
Dan Suara Ramos menghilang. Lebih tepatnya Asha tidak bisa mendengarnya lagi, karena Danendra yang tiba-tiba muncul dan mengambil alih ponsel dari tangannya.
"Apa yang kamu lakukan,As ? Kamu tahu, aku tidak suka dengan kelancanganmu!" tegas Danendra dengan nada marah,mematikan sambungan telepon sepihak.Lelaki itu baru keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang.
Asha menunduk, seketika menyadari kesalahannya. Asha terlalu bersemangat mendengar rahasia yang disimpan suaminya berdua dengan Ramos sehingga tidak menyadari kehadiran Danendra yang sudah berdiri di sampingnya.
"Maafkan aku atas kelancanganku , Mas," ucap Asha pelan. Masih menunduk,Asha tidak berani beradu tatap dengan suaminya.
"Jangan diulangi,ponselku pribadiku" tegas Danendra .Kata-kata yang tegas dengan intonasi sedikit keras, membuat Asha terpaku. Ditambah berita dari Ramos yang baru saja didengarnya membuat hatinya teriris-iris, terluka dan berdarah-darah.
Berusaha menahan kelopak matanya yang memanas seketika dan mulai menampung titik-titik air.Bertahan semampunya.Asha tidak mahu kelemahannya terlalu menonjol.
"Mas, ibu mau bicara denganmu. Tolong temui Ibu, sebelum berangkat ke kantor. Hari ini Ibu pulang ke Surabaya, semoga Mas tidak lupa."Jelas Asha ,tersenyum kecut.Tanpa menunggu jawaban,Asha sudah berjalan menuju pintu. Kalau terlambat sedikit saja,Danendra akan melihatnya menangis. Suaminya bisa menyaksikannya terluka. Asha tidak mau itu terjadi.
Sebisa mungkin Asha akan menyimpan perasaannya sendiri. Berusaha tegar dan tidak mau jadi perempuan cengeng.
Danendra menatap punggung Asha yang hilang dibalik pintu.Melihat semua itu, timbul secercah rasa bersalah di dadanya.Mencoba membaca kembali peristiwa beberapa menit yang lalu. Dari mulai Asha yang lancang
menyentuh bahkan menerima panggilan di ponselnya. Ditambah kata-katanya yang lumayan keras, ditujukan pada istrinya yang kalem.
"Apa aku terlalu berlebihan memperlakukannya," bisik Danendra
Asha yang baru saja terluka, tampak bergegas menuju taman belakang. Tempat yang jarang didatangi penghuni rumah. Sangat jarang ada yang duduk dan menikmati pemandangan taman belakang kecuali Hayana . Gadis itu selalu suka bermain di taman belakang yang luas, lengkap dengan rumput hijaunya. Air mata yang tertahan sejak tadi, langsung tumpah ruah tidak terbendung. Bahkan Asha harus mengigit bibir supaya isaknya tidak terdengar nyaring. Memuasakan diri mengeluarkan isi hatinya yang sakit karena ulah suaminya sendiri.
Nama Danisha kembali disebut. Itu berarti
suaminya masih berhubungan dengan mantan istri yang sangat dicintai suaminya itu.Jangan ditanya perihnya, sakit bagai teriris.Lagi-lagi, masa lalu Danendra kembali mengganggu kehidupan rumah tangganya. Dan Asha hanya bisa duduk di sini menangis sesengukan.
Lama Asha menikmati paginya sembari merenung perjalanan pernikahannya. Perjalanan yang tidak terbilang mudah. Sebelum tinggal bersama di Jakarta, bahkan Asha sudah memasukan gugatan cerainya ke pengadilan Surabaya. Setelah puas menumpahkan kekesalannya, Asha pun beranjak masuk kembali ke dalam rumah.Setidaknya, Asha harus bergabung menikmati sarapan pagi, menyamarkan rencana tersembunyi yang sudah disusunnya beberapa menit yang lalu.
"Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikapnya.Aku sudah mantap untuk ikut Ibu pulang ke Surabaya. Dan Nana akan ikut bersamaku!" batin Asha dengan penuh keyakinan.