Suasana di ruang makan terlihat biasa, dengan Danendra yang duduk di kursi kebesarannya dan anggota keluarga lainnya menempati kursi yang tersisa. Pria itu sesekali melirik ke arah istrinya, menyimpan rasa bersalah di dalam hati, di sela-sela akitivitas makannya.
Perubahan sikap Asha tidak terlalu kentara,tetapi lumayan berasa untuk Danendra yang paham betul telah terjadi peristiwa kurang mengenakan di antara mereka.
"As , maafkan aku," bisiknya pelan. Tangan kekar itu menggenggam perlahan tangan yang diletakan pemiliknya di atas meja makan.Berharap sekali permintaan maafnya sama seperti permintaan maaf sebelum-sebelumnya yang selalu disambut ramah istrinya, tetapi dugaan Danendra salah.
"Maaf apain?Mas tidak salah ,aku yang tidak tahu derajat dimana,"sindir Asha pelan,yang hampir tidak kedengaran.Tetapi cuping telinga Danendra mendengar dengan jelas kalimat istrinya barusan tadi.
Kali ini Asha hanya meliriknya sekilas tapi mengumbar senyuman sinis dan tidak semanis seperti yang sudah-sudah. Mendapati hal itu, penyesalan Danendra semakin bertambah.
"Apa reaksi spontanku tadi terlalu berlebihan dan menyakiti perasaannya."batin Danendra berkata.
Berusaha membuang jauh pikiran buruknya,Danendra melanjutkan makannya. Masih dengan mengintip aksi tutup mulut Asha , diiringi alunan dentingan sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring keramik.
Sesekali, bisa terdengar suara cempreng Hayana saat menolak sarapannya paginya.
"Nak Danendra , apakah setelah ini Ibu bisa bicara?"tanya Ibu Rani di penghujung acara makan pagi.
Dengan anggukan teratur, Danendra menjawab permintaan mertuanya. Namun, penglihatannya tidak lepas dari istrinya, Asha .Danendra sudah berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celana, menatap bunga mawar merah yang bermekaran di taman samping rumahnya.
Di sebelahnya, terlihat Ibu Rani duduk di
bangku taman menerawang ke arah yang sama.
"Ibu mau pamitan." Kalimat itu terucap juga dari bibir Ibu Rani .
"Aku berharap Ibu tinggal di sini menemani Asha . Istriku masih membutuhkan Ibu," ucap Danendra ,berharap kata-katanya bisa memukul mundur niat mertuanya yang berkeinginan kembali ke Surabaya.
Danendra paham benar apa yang di-
rasakan Asha .Kehadiran Ibu Rani di tengah mereka cukup membantunya menghadapi mood muda Asha yang naik turun seperti rollcoaster. Selain Ibu Rani bisa memberinya saran, mertuanya juga bisa merendam dan menasehati istrinya itu.
"Ibu tidak betah di sini," jelas Ibu Rani .
"Ya sudah ... kalau Ibu merasa seperti itu, aku tidak bisa menahan," ucap Danendra tersenyum.
"Nak Dan, Ibu titip Asha . Tolong belajar memahaminya. Dia masih terlalu muda, bahkan belum genap dua puluh tahun satu. Temannya masih sibuk bermain, tetapi dia sudah menikah dan memiliki anak,"jelas Ibu Rani.
"Ya, Bu."Jawab Danendra.
"Tolong bersabar menghadapi sisi kekanak-kanakannya. Asha belum sepenuhnya berpikiran dewasa. Ibu sudah berusaha memberi pengertian padanya, tetapi pada akhirnya semua ada di tanganmu."jelas Ibu Rani.
"Kamu yang harus pelan-pelan mengajarinya, bukan dengan memaksa. Kamu yang harus mencoba mengertinya, bukan menuntut lebih. Karena selain umurmu sudah jauh lebih matang, kamu juga suaminya," jelas Ibu Rani lagi .
"Suatu saat dia akan berpikir layaknya orang dewasa. Dia akan memahami arti berumah tangga yang sebenarnya. Ibu tahu, terkadang dia masih menuntut perhatian lebih, rasa sayang lebih atau rasa cinta yang lebih darimu. Kalau kamu bisa, tolong tunjukan padanya."nasehat Ibu Rani.
"Dia mungkin belum yakin denganmu,jadi
masih menuntut hal yang sebenarnya sudah didapatkannya tanpa dia sadari. Balik lagi, kedewasaanmu yang akan menuntunnya.Kesabaranmu yang akan menjadikan istrimu sempurna, seperti yang kamu mau."Lanjut Ibu Rani.
"Ibu sudah tidak bisa ikut campur terlalu jauh.Selamanya dia putriku, tetapi sejak menjadi istrimu, ibu memiliki batasan untuk ikut campur di dalam rumah tangga kalian. Tidak bisa menilai siapa yang benar dan yang salah," ucap Ibu Rani , menghela napas ketika menyudahi semua ucapannya.
Asha keluar dari kamarnya dengan menyeret koper. Sebelum itu,Asha juga sudah meminta pengasuh Hayana menyiapkan pakaian putrinya.Ibu Rani yang sedang duduk menunggu Pak Radin masuk dan mengangkat koper-koper miliknya terkejut saat melihat Asha .
"Apa-apan ini,As?" tanya Ibu Rani . Tidak
habis pikir dengan Asha yang sedang menggabungkan koper dengan kumpulan barang-barang miliknya.
"Aku mau ikut Ibu pulang ke Surabaya," sahut Asha dengan santai.
"Dan Nana juga akan ikut bersama kita," lanjut Asha lagi kala melihat pengasuh mengeluarkan koper pink berisi pakaian dan perlengkapan Hayana .
"Suamimu?" tanya Ibu Rani , masih tidak yakin dengan keputusan Asha .
"Danendra sudah setuju tadi. Ibu tidak perlu khawatir," sahut Asha , tanpa beban
sedikit pun.Ibu Rani sedikit banyak paham kalau terjadi sesuatu dengan putrinya, tetapi kalau Ibu Rani menolak membawa Asha , putrinya akan semakin tertekan. Mungkin tidak masalah membawa serta Asha , sembari membujuknya pelan-pelan
nanti.
"Mbak, pakaian Nana sekalian diganti dan siapkan botol susunya, ya," perintah Asha lagi, setelah merasa ibunya setuju. Adeline yang ikut menguping pembicaraan terlihat tersenyum.
"Kalau Tante Asha pergi, Mommy bisa kembali dengan Daddy," batin gadis itu.
Sudah terbayang di benaknya kehidupannya dan sang mommy akan utuh seperti keluarga lainnya. Toh, sejak dulu bukankah memang mereka tinggal bersama. Adeline sudah melihat sendiri album-album foto masa kecilnya, dimana ada Daddy, Mommy dan dia.
Semua koper-koper sudah dimasukan ke dalam bagasi. Ibu Rani dan Hayana juga sudah duduk tenang di dalam mobil. Sebelum ikut masuk, Asha masih sempat berpamitan pada Adeline .
"Line , kamu di rumah saja, ya. Tante hanya sebentar," pamit Asha , berusaha menutupi niatnya dari Adeline . Asha tidak mau nanti Adeline melapor pada Danendra dan menggagalkan rencananya.
Tidak hanya sampai di sana, saat mobil yang membawa mereka masuk ke bandara, Asha masih berpesan pada Pak Radin untuk menunggunya.
"Pak tunggu di parkiran, nanti kalau saya sudah selesai bisa menghubungi ponsel Pak Radin ,"pintanya sebelum masuk ke pintu keberangkatan bersama Ibu Rani dan Hayana .
"As , kenapa kamu meminta Pak Radin menunggu?" tanya Ibu Rani heran. Padahal jelas-jelas, mereka semua akan terbang ke Surabaya.Untuk apa meminta sopir menunggu.
"Tidak apa-apa, Bu. Takutnya ada barang yang tertinggal," ucap Asha , mengeluarkan ponselnya dan menunjukan tiket elektronik yang dikirim melalui email di ponselnya kepada petugas.
Ketiganya sudah duduk di ruang tunggu bandara. Hampir satu jam, barulah terdengar panggilan untuk masuk ke dalam pesawat. Dengan mengulas senyuman, Asha berdiri sembari menggendong Hayana yang tertidur. Setelah memastikan nomor penerbangannya benar, Asha mengajak Ibu Rani berjalan menuju pintu yang sudah dijaga petugas bandara. Di saat sudah duduk di dalam pesawat barulah Asha menghubungi Pak Radin , meminta sopirnya itu untuk pulang ke rumah.
Bukan main terkejutnya Pak Radin saat mengetahui majikannya ikut terbang ke Surabaya bersama Hayana . Padahal,
sejak awal Danendra berpesan padanya hanya mengantar mertuanya saja. Terbayang sudah kemarahan Danendra saat mengetahui semua ini.
"As , kamu yakin suamimu tidak akan marah?"tanya Ibu Rani , merapikan rambut Hayana yang berantakan. Cucunya itu tertidur di kursi bagian tengah, diapit oleh Asha dan dirinya.
Asha terdiam, sembari menonaktifkan ponsel dan menyimpannya kembali ke dalam tas.
"Bu, aku mau berpisah dengan Mas Dan," ucap Asha tiba-tiba.