Suara berisik memenuhi indera pendengaran beberapa warga sekitar gang sempit itu. Sebuah rumah sederhana di sana sedang diacak-acak oleh beberapa lelaki berbadan kekar layaknya algojo.
Bisa dipastikan setengah dari isi di dalam rumah itu sudah habis berantakan. Beberapa peralatan bahkan terdengar pecah. Suaranya memekakkan telinga disusul erangan seorang gadis ranum yang sudah koyak bajunya setengah.
Niken berusaha melindungi bagian tubuhnya yang terlihat karena bajunya sudah robek, ditarik paksa, pipinya tak luput dari amukan tangan sang rentenir yang sedang menagih hutang. Sebab sudah hampir lima bulan semenjak kematian ibunya, Niken masih tidak bisa melunasi hutang sang rentenir bernama pak Anton.
"Sudah mau setengah tahun, kau masih tidak bisa melunasi hutang ibumu yang sudah mati itu," teriak pak Anton membuat Niken tertunduk, wajahnya lebam terkena tamparan sebab tadi Niken sempat meludahi wajah pria tua itu karena menolak saat diajak melakukan hubungan yang tidak layak untuk membayar hutang.
"Beri saya waktu, Pak. Mencari uang puluhan juta bukan hal yang mudah," kata Niken mencoba mendapatkan belas kasihan rentenir yang juga mata keranjang itu.
"KAPAN?! Dari sebelum ibumu merenggang nyawa hanya janji yang kau berikan padaku! Aku mau uang itu kembali sekarang!"
"Walau Bapak mengacak rumah ini sampai tak tersisa, aku tetap tidak akan bisa membayar hutang itu saat ini."
Tua bangka mata keranjang dan lintah darat itu menatap Niken dari atas sampai bawah. Matanya tak lepas dari sela robekan baju yang memperlihatkan dua gundukan indah Niken. Niken sendiri masih berusaha melindungi tubuhnya dari tatapan nakal dan liar sang rentenir.
"Bayar dengan tubuhmu! Maka aku anggap lunas. Menikah denganku besok!"
Bisik-bisik tetangga terdengar dari luar. Makin lama kerumunannya makin banyak saja. Tapi tak satupun dari mereka yang tergerak untuk membantu Niken. Sebab mereka pun sama takutnya. Pak Anton orang berduit di tempat itu, rentenir yang kaya karena menghisap harta para warga yang sempat meminjam uang kepadanya. Bunganya bikin ngeri, tapi sebagian orang tak punya pilihan lain saat kebutuhan mendesak mereka, memaksa kaki mereka melangkah menemui rentenir jahat si lintah darat.
Begitu pula Niken, hampir dua tahun ibunya hidup dengan kanker darah. Niken berusaha menyembuhkan ibunya dengan berbagai cara termasuk berhutang pada pak Anton. Namun, malang tak dapat dihindari, untung tak dapat diraih. Meski sudah berkorban seluruh jiwa raga bahkan rela mengemis pinjaman pada pak Anton, tetap saja Tuhan lebih suka mencabut nyawa sang ibunda daripada menyembuhkannya.
Kini, hutangnya sudah menggunung karena bunga yang mencekik nyawa. Niken berdiri terpojok, ia tak mau menikah dan menjadi istri kelima lelaki rentenir mata keranjang dan tua bangka. Masa depannya masih panjang, ia masih bisa meraih masa depannya di usia yang baru menginjak dua puluh tahun. Niken juga ingin kuliah. Dia tidak mau jadi istri kelima pak Anton.
Maka dia menolak, menggeleng keras, berontak sebisanya meski lebam di wajah dan tubuh sudah membuatnya terhuyung-huyung melangkah.
"Aku akan lunasi hutang-hutang kemarin, tolong beri waktu beberapa hari lagi. Berbelas kasihlah, Pak. Aku tidak mau menikah dengan Bapak," raung Niken terdengar begitu memilukan. Anton yang merasa ditolak mentah-mentah langsung naik pitam lalu mengayunkan tangannya menampar kembali wajah Niken, membuat gadis itu tersungkur. Sudut bibir Niken berdarah. Lebam di pipi semakin menghitam. Kalau ditekan sedikit saja, ngilunya sampai ke dasar hati yang sudah terluka dipecundangi dunia.
"Jangan sombong! Mana kau bisa membayar hutang itu. Berani kau menolakku?" Rentenir tak punya moral juga hati nurani itu berjongkok, mendekat ke arah Niken yang tetap berusaha untuk sadar meski matanya sudah sayu, tubuhnya lemah karena beberapa kali mendapat pukulan dari lelaki itu.
"Aku tidak mau menikah denganmu." Masih berusaha melawan, Niken menekankan kata-katanya.
"Kau! Seret dia ke mobilku. Kurung dia di gudang rumahku, besok aku akan menikah dengan gadis sombong ini. Akan aku cabik-cabik tubuhnya sampai dia tak bisa berjalan lagi!" Semua orang yang menyaksikan hal itu dari seberang rumah, bergidik ngeri akan perkataan rentenir tadi. Sungguh hanya mampu diucapkan iblis yang berwujud manusia.
"Tidak! Tolong jangan!" Niken panik, berusaha melepaskan diri. Tapi lelaki kekar itu masih saja menyeret dirinya di lantai hingga ke teras depan.
Para tetangga hanya bisa menyaksikan, tak berani mendekat apalagi sok jadi pahlawan. Bisa-bisa mereka yang akan berada di dalam ancaman.
"Masih berusaha menolakku? Kau tidak bisa menolak! Anggap tubuhmu besok sebagai pelunas hutang-hutang kau dan ibumu! Seret dia!" perintahnya lagi pada kedua anteknya.
"Tolong, Pak. Aku mohon berikan waktu aku janji akan segera melunasinya." Niken menangkupkan kedua tangan. Rambut dan bajunya sudah tak ubahnya orang gila di jalanan. Acak-acakan, juga penuh luka.
"Dasar gadis bodoh! Dengan apa kau bisa melunasinya? Aku yakin kalaupun kau bisa melunasi hutang itu, juga dengan menukar tubuhmu di atas ranjang hotel bersama pria jalang! Bodoh! Jangan berontak lagi, aku sudah meringankan beban hutangmu asal kau menikah denganku! Kalian, jangan diam saja, cepat bawa masuk gadis ini ke mobil.
"Tidak! Aku tidak mau!" Niken kembali berontak dan entah dapat kekuatan dari mana, ia yang tadinya sudah hampir kehilangan tenaga kini seolah mendapatkan energinya kembali. Niken mendorong pak Anton, meraih balok kayu yang bersandar di samping pohon akasia. Diayunkannya berkali-kali benda itu ke tubuh para anak buah pak Anton yang berusaha menangkapnya.
Niken membuat gerakan memukul tak tentu arah. Pukulannya kemudian terhenti di wajah pak Anton. Lelaki tua itu marah. Emosinya meledak seketika. Didekatinya Niken yang masih berusaha melindungi diri dengan balok kayu yang ujungnya sudah patah.
"Kau mau main-main rupanya denganku ya. Jangan salahkan aku kalau tubuhmu remuk setelah ini!"
Sekali tangkap, balok kayu itu kini berada di tangan pak Anton. Niken berteriak kesakitan kala lelaki itu menampar pipinya berulang kali hingga memerah.
"Ken, sudah! Menyerah saja. Kau bisa mati, Ken." Salah satu tetangga berteriak melihat penganiayaan di depan mata. Dia tak sanggup melihat Niken diperlakukan bak binatang sirkus yang tak mau melakukan atraksi, disiksa, dibiarkan lemah tak berdaya. Nalurinya sebagai seorang ibu terenyuh melihat Niken sedari tadi disiksa dab kini dipaksa menikah untuk melunasi hutang ibunya. Menangis para tetangga tapi tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi para algojo pak Anton sudah siap memberi pelajaran bagi siapa saja yang berani membela Niken sang gadis belia.
"Aku lebih baik mati, ayo! Bunuh saja aku, Tua Bangka! Daripada harus menikah denganmu! Aku tidak sudi!" Niken terus menantang pak Anton agar tak menghentikan aksi pemukulan terhadapnya.
Benar, ia lebih baik mati daripada menjadi istri kelima pak Anton. Lebih baik Niken menyusul ibunya. Tak sudi membayangkan tubuhnya nanti digerayangi pria jahanam berkedok manusia.
"Kau akan aku siksa setelah aku menikahimu besok!" Tawa pak Anton menggelegar.
"Lepaskan gadis itu, Tuan."
Semua orang menoleh. Pak Anton menghentikan aksinya menganiaya. Para tetangga terpanah. Seorang perempuan paruh baya dengan setelan rapi khas orang kaya sedang melangkah. Niken jadi bertanya-tanya, siapa dia?