Chereads / Bukan Pilihan Hati / Chapter 4 - Pembantu Baru ya!!

Chapter 4 - Pembantu Baru ya!!

Rasa haus menyerang tenggorokan Niken. Ia melihat jam dinding yang sudah bergerak ke angka delapan. Belum ada tanda-tanda kedatangan tante Soraya. Apa wanita itu lupa kalau malam ini ia akan bercerita banyak hal pada Niken? Niken tak mau menerka-nerka, lebih baik ia turun.

Niken tidak mau merepotkan pelayan dengan menekan bel. Ia akan turun dan pergi ke dapur. Suasana rumah megah itu sepi. Entah kemana para penghuni terhormat rumah itu. Oh, mungkin mereka ada acara di luar. Begitu pikir Niken.

Ia sudah sampai di bawah. Niken jadi celingak-celinguk mencari di mana letaknya dapur. Akhirnya setelah mencari, ia melihat sebuah ruangan yang lebih besar dari rumahnya yang ia pikir adalah dapur.

Seorang pelayan yang sudah cukup tua baru selesai membersihkan lemari pendingin. Ia nampak terkejut melihat Niken turun.

"Nona, kenapa turun. Tekan saja bel di kamar, nanti pelayan akan datang." Sama seperti yang Soraya katakan, pelayan tua itu juga berkata demikian.

"Saya Niken, Bi. Jangan panggil Nona begitu, Aku gak enak." Niken mencoba memperkenalkan diri dengan sopan.

"Eeh, jangan begitu Non. Nanti Nyonya besar marah sebab Nona adalah tamu istimewanya. Perkenalkan, Bibi namanya Bik Sri. Nanti kalau Non Niken perlu apapun, bisa panggil Bibi atau pelayan yang lain ya."

"Makasih banyak, Bi. Aku haus jadi turun ke bawah."

"Biar Bibi ambilkan, Non."

"Gak apa, Bi. Aku bisa sendiri kok." Niken mengambil gelas dengan hati-hati dari atas rak. Lalu mulai mengisi gelas itu dengan air hingga penuh. Dahaganya segera terpenuhi. Niken meletakkan gelas ke dalam wastafel khusus cuci piring. Semakin kelimpungan Bi Sri.

"Gak usah, Non. Biar Bibi ya. Aduh ... nanti Nyonya marah." Bibi meremas jemarinya sendiri. Lalu di belakangnya datang seorang pelayan lagi, nampaknya baru selesai makan. Usianya paling hanya beberapa tahun di atas Niken.

"Eh, cuci nih sekalian," katanya sambil meletakkan piring kotor bekas makannya ke dalam wastafel. Bi Sri melotot.

"Gila kamu! Ini tamu istimewa Nyonya. Jangan sembarangan perintah orang!" sentak Bi Sri.

"Kan sekalian, Bi. Dia sendiri kan yang mau cuci piring," bela pelayan muda itu.

"Non, maafkan Rini. Sekarang biar Bibi saja yang cuci."

Niken menggeleng. Sudah kepalang tanggung, tangannya juga sudah penuh busa.

"Gak papa, Bi. Udah Bibi sama Mbak Rini kerjain yang lain aja ya."

"Tuh kan gak papa!" pelayan bernama Rini itu berdecak kesal lalu memilih pergi.

Bi Sri hanya menggelengkan kepala. Ia akhirnya membiarkan Niken mencuci beberapa piring kotor yang memang belum sempat dicucinya tadi. Ia sendiri kemudian pergi untuk mengerjakan pekerjaan lain. Ia berharap, nyonya besar belum pulang saat melihat Niken sedang sibuk di dapur.

Saat Niken sedang sibuk dengan beberapa piring lagi, seseorang masuk ke dapur. Langkahnya cepat, wangi parfum maskulin khas pria macho menguar, mengusik indera penciuman Niken saat itu juga.

Bunyi kulkas dibuka kemudian suara air yang dituang ke dalam gelas kaca lalu disusul gelegak suara air yang melewati kerongkongan. Niken tak berani menoleh.

"Sialan! Sampai kapan semua fasilitas gue bakal dibalikin Mama!" erang lelaki itu. Niken menahan nafas. Nampaknya lelaki itu salah satu penghuni terhormat di dalam rumah mewan nan megah yang sekarang di dalamnya juga ada Niken.

Lalu suara makian dengan suara berat khas lelaki itu terhenti. Lelaki tadi menyadari di dapur ia sedang tak sendiri. Ia mengerutkan dahi, siapa kiranya perempuan yang sedang mencuci piring itu? Kalau pelayan, kenapa tak memakai seragam? Oh mungkin pembantu baru, pikir lelaki muda itu.

"Eh, Lo pembantu baru?" tanyanya penasaran. Tidak ada jawaban. Niken bingung harus menjawab apa, "Woi! Kalo ditanya itu jawab! Lo budeg apa gak punya kuping?" tanya lelaki itu sedikit berteriak.

Niken segera menyusun piring yang baru saja dicucinya. Niken menarik nafas panjang lalu berbalik. Di depannya kini berdiri seorang pria paling tampan yang pernah ia lihat. Niken secepat mungkin menundukkan wajahnya. Wajahnya masih menyisakan lebam, nampak lelaki itu mengangkat satu alisnya, menatap heran.

"Maaf, saya permisi." Niken segera pergi dari dapur meninggalkan lelaki itu sendiri dalam kekesalannya.

"Wah, kurang ajar nih pembantu baru." Lelaki itu masih mengumpat lalu mengeluarkan rokok, menyalakannya dan mulai menghisapnya dalam. Asapnya memenuhi ruangan. Bi Sri yang baru saja masuk dapur langsung terbatuk-batuk. Lelaki itu tertawa kesenangan.

"Den Bian, jangan merokok disini. Nanti Nyonya marah lagi." Bi Sri jadi ketar ketir lagi.

"Repot banget sih, Bi. Buka aja jendelanya. Nih." Kian mulai membuka jendela dengan sebatang rokok masih terselip di sudut bibirnya.

"Aden gak tahu aja, Nyonya besar itu penciumannya tajem."

"Iye, udah nih gue buang rokoknya." Bian mematikan rokok yang masih menyala itu lalu pergi dari dapur menuju kamarnya sendiri.

Sedari tadi Kian mencari mamanya, tapi nampaknya, ibunya itu masih ada acara penting di luar sana. Harusnya, Kian tak pulang ke rumah, tapi sudah beberapa minggu ini, dia harus kembali ke tempat itu karena mamanya sudah mengubah password apartemen.

Bian pergi ke kamarnya di lantai bawah, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang tanpa membuka sepatu sport yang masih melekat di kaki. Kantuk mulai menguasai, dengkur halus Kian terdengar tanda ia sudah tertidur.

Soraya baru saja pulang bersama putera pertamanya, Reza. Nampaknya, Raya baru saja menghadiri acara penting didampingi sang putera. Memang, semenjak suaminya meninggal, hanya Reza yang setia menemani Raya. Kalau Bian, jangan diharapkan. Putera keduanya itu suka berbuat ulah dan menghamburkan uang saja.

Ketika ibu dan anak itu melewati kamar Bian yang sedikit terbuka, ia bisa melihat sang putera kedua tidur dengan kaki terjuntai. Raya menggeleng melihat kelakuan putera keduanya yang semakin urakan.

"Adik kamu tuh, Za. Pengen Mama jewer terus jemur deh biar kering kayak ikan asin!"

Mendengar mamanya mengoceh sambil memasuki kamar Bian, Reza hanya tersenyum kecil. Sang mama sudah sibuk melepas sepatu anaknya saat ini.

"Ma... cari Babu tuh yang bisa ngomong. Ini ditanyain gak mau jawab. Mana mukanya gak enak dilihat kayak habis digebukin tetangga satu kampung."

Soraya dan Reza saling melihat. Rupanya Bian belum sepenuhnya tertidur. Jadi masih bisa meracau walau matanya terpejam. Raya mengerutkan dahi. Babu? Raya jadi teringat Niken. Memang saat datang tadi siang, gadis itu hanya bertemu pelayan, sedangkan Reza dan Bian belum melihatnya. Keterlaluan, tamu istimewanya malah dikira pembantu. Raya gemas lalu mencubit pinggang putera keduanya itu hingga Bian terlonjak dari posisi tidur menjadi setengah tidur.

Tapi tak lama kemudian kepalanya lunglai lagi, Bian jatuh terjerembab di atas ranjang dan tertidur pulas. Raya dan Reza saling pandang kembali. Bian memang suka membuat Soraya naik darah.

"Dia kebanyakan minum alkohol deh kayaknya, Ma," sindir Reza.

"Kita keluar saja. Mama bisa stress ngadepin Bian kalau begini terus," sahut mama kesal.

Reza dan mama keluar kamar Bian setelah selesai melepaskan sepatu anak bungsunya itu.

"Lagian, Niken kok dikira pembantu. Keterlaluan anak itu," dengus mama Raya.

"Niken?" tanya Reza bingung. Mamanya bicara apa sih?