Chereads / Bukan Pilihan Hati / Chapter 2 - Nyonya Soraya

Chapter 2 - Nyonya Soraya

"Siapa Anda? Anda sama sekali tak ada urusannya dengan masalah gadis ini." Pak Anton melepaskan cengkraman tangannya dari Niken.

"Sekarang ada. Katakan saja berapa hutang Risma dan dia, padamu."

Niken bukan hanya heran karena tiba-tiba saja perempuan dengan setelan orang kaya itu datang menyelamatkan bak pahlawan, tapi ia juga menyebut nama almarhum ibunya.

Entah apa maksud kedatangannya, tapi Niken merasa sangat berterima kasih. Ia bahkan sudah bertekad dalam hati akan membalas kebaikan sang malaikat berwujud perempuan yang datang hari ini.

"Lima puluh juta!"

"Hanya sejumlah itu kau tega menganiaya gadis ini?" Wanita paruh baya itu mendekati Niken, meraih jemarinya lalu mengusapnya menenangkan.

"Jangan banyak bicara, Nyonya. Apa kau sanggup membayar hutangnya padaku?!" tanya pak Anton dengan congkaknya.

"Jangankan lima puluh juta, lima ratus juta pun akan aku lempar ke wajahmu hari ini juga bila perlu," balas wanita itu, semakin membuat Niken tak mengerti.

"Kurang ajar, kau berani mengatakan itu padaku?!" Pak Anton mengangkat satu jari bermaksud memerintahkan anak buahnya memberi pelajaran pada wanita itu.

Tapi langkah mereka terhenti kala beberapa orang berbadan jauh lebih besar, memakai jas lengkap khas pengawal kaum elit lengkap pula dengan senjata menerobos kerumunan para tetangga.

"Maaf, Bos. Bukan lawan kami." Para anak buah pak Anton beringsut mundur seketika. Perempuan paruh baya itu tersenyum kecil melihat wajah-wajah pias yang kini menatap ngeri pada pengawal-pengawalnya.

"Payah!" decak pak Anton tak terima tapi melihat para pengawal perempuan yang datang menyelamatkan Niken hari ini, nyalinya ikut menciut juga.

"Aku tidak membawa uang dalam jumlah banyak sekarang. Tapi Tuan bisa menuliskan nomor rekening dan aku akan mentransfernya sekarang juga."

"Tidak, aku akan tetap menikahi gadis itu, sebagai kesepakatan kami tadi."

Lagi-lagi perempuan itu tertawa renyah.

"Apa ada pernyataan di atas materai yang sudah ditandatangani Niken untuk setuju menikah denganmu? Kalau tak ada, aku bisa melaporkanmu ke pihak yang berwajib saat ini juga," sahutnya tenang.

Para tetangga semakin dibuat terpanah. Siapa kiranya sang perempuan kaya penyelamat Niken itu? Tentu dia bukan orang sembarangan, tentu pula bukan keluarga Niken sebab setahu mereka Niken tak punya siapa-siapa lagi setelah kematian ibunya. Ia sebatang kara.

"Baik, aku setuju. Lunasi segera hutangnya dan aku tidak akan mengganggunya lagi." Pak Anton akhirnya menuliskan sejumlah angka lalu menyerahkannya pada wanita itu.

Sesaat kemudian, wanita itu sudah sibuk dengan ponsel lalu ia menunjukkan bukti kiriman uang yang baru saja dikirimkannya. Pak Anton menarik nafas panjang, tak ada pilihan lain selain menyerah daripada pulang dalam keadaan tubuh patah dibantai pengawal wanita kaya. Gagal pula rencananya menikah dengan Niken si cantik jelita.

"Cabut!" kata pak Anton kepada para anteknya.

Niken terjatuh lemas, rasanya ia lega. Hutangnya lunas dalam sekejap mata. Begitu mudahnya persoalan uang bagi orang kaya. Tapi ia belum sepenuhnya lega, sebab tentu ada alasan mengapa orang asing seperti perempuan itu mau melunasi hutangnya yang sekian puluh juta.

"Nyonya siapa?" tanya Niken memicingkan mata, menatap penuh curiga, sekalipun kepada orang yang sudah menolongnya.

"Soraya. Kita memang tidak saling mengenal, Niken. Tapi aku mengenal Ibumu."

"Nyonya teman Ibuku?"

Soraya menggeleng. "Hmmmm bisa dikatakan begitu sebab jauh beberapa tahun yang lalu, Ibumu pernah menolongku. Dia yang mendonorkan darahnya saat aku hampir kehabisan darah ketika akan melahirkan putera keduaku."

Bagaimana bisa? Apa hanya kebetulan, dahulu kala ibunya menolong perempuan kaya ini? Niken semakin tak mengerti.

"Lalu bagaimana bisa Nyonya bisa tahu aku adalah anak dari Ibu?"

"Ceritanya panjang, Niken. Yang jelas, kami pernah saling mengenal bahkan saat ibumu menolongku, ia bahkan belum menikah yang artinya kau belum lahir."

Kerumunan orang-orang semakin banyak. Mungkin para tetangga masih ingin tahu siapa gerangan wanita kaya yang jelas berbeda golongan kasta dengan mereka.

Soraya tampak sedikit risih dengan kerumunan yang semakin menjadi-jadi. Ia juga melihat keadaan Niken yang begitu acak-acakan. Soraya menarik nafas panjang.

"Ikutlah denganku. Aku akan mengobatimu. Tak baik luka-luka ini dibiarkan, bisa merusak wajahmu yang cantik."

"Tidak, Nyonya. Sekarang saja aku tidak tahu harus membayar uang tadi kepada Nyonya bagaimana. Aku tak mau hutang budi lagi."

"Niken, percayalah, aku tidak ingin kau mengembalikan uang itu. Anggap saja itu sebagai balas jasaku kepada ibumu di masa lalu."

"Yang berjasa Ibuku, bukan aku, Nyonya."

"Tetap saja, sekarang bagaimana kalau kau ikut aku dahulu. Tenang, aku bukan orang jahat seperti pria tadi. Lagipula, kau tak mungkin bisa tinggal di rumah yang sudah acak-acakan seperti itu. Nanti para orangku akan membereskan rumahmu. Kau mau kan?"

Nikem menatap dalam mata Soraya lalu ia menatap kerumunan orang-orang. Bukan hanya Soraya yang risih, tapi ia juga. Lalu benar pula apa yang Soraya katakan, rumahnya sekarang tak ubahnya kapal pecah, bagaimana ia bisa tenang tinggal di dalamnya saat ini.

"Baiklah, Nyonya."

Soraya tersenyum lantas merangkul Niken, membawanya pergi dari tempat itu dengan mobilnya. Di dalam mobil mewah itu, Niken diam. Ia tidak mengerti yang maha kuasa akan menempatkan takdirnya di titik yang mana setelah ini.

Mobil berhenti di sebuah rumah megah bak istana bernuansa putih keemasan. Sungguh luar biasa. Ini benar-benar seperti rumah impiannya. Entah berapa milyar harganya. Tanpa sadar, Niken berdecak kagum.

"Kau suka?"

"Eh?" Niken tergagap, wajah lebamnya nampak bersemu merah. Ketahuan si miskin mengagumi istana orang kaya.

"Suka rumah ini?" ulang Soraya sambil tersenyum. Perlahan, Niken mengangguk. Mau bilang tidak suka? Sungguh bohong.

"Tinggal lah disini kalau begitu."

"Eh?" tergagap lagi Niken. Raya tersenyum lagi.

"Jangan gugup Niken. Harusnya kita tak bertemu dalam kondisi kau yang seperti ini. Aku terlambat datang."

"Eh, Nyonya jangan begitu, ini tentu bukan salah Nyonya."

"Panggil saja Tante, atau Ibu kalau kau suka."

Niken tertunduk. Ia masih sangsi pada setiap orang baik yang datang menawarkannya begitu banyak kebaikan pula. Sebab, orang miskin seperti dirinya seringkali dimanfaatkan untuk sesuatu yang berbahaya.

Rumah megah itu terbuka, pelayan berseragam membukakan pintu. Tampak menilik Niken dari atas sampai bawah.

"Dia Niken, layani seperti kalian melayani semua penghuni terhormat di rumah ini," ujar Soraya sambil merangkul Niken.

"Baik Nyonya." Serempak para pelayan mengangguk patuh.

Setelah Niken pergi bersama Soraya ke lantai atas, para pelayan jadi saling sikut. Saling bertanya siapa kiranya gadis lusuh yang seperti habis dianiaya itu?

"Mandi lah dahulu, Tante akan siapkan baju untukmu. Dan sebentar lagi, dokter pribadi Tante akan datang mengobati luka-luka di tubuhmu."

Niken tak sanggup menjawab, tapi ia mengangguk patuh. Tangannya saling bertaut meremas ujung kaus yang sudah robek dan tampak compang camping.

Soraya baru saja hendak membuka pintu ketika suara Niken kembali menghentikan langkahnya.

"Tante... makasih." kata Niken sambil tersenyum. Soraya mengangguk, membalas senyuman gadis itu hangat.