Wilma Herdian masuk ke dalam TTO, pintu otomatis terbuka untuknya. Baru dua langkah, suara menyebalkan menyapa.
"Ecieeeeh, yang abis kencan sama CEO botak tapi ganteng." Andi Pratama, pemilik mulut ember, yang perlu sekali-kali diajari. Agar tidak asal berbicara.
Wilma Herdian menatapnya tajam. Pria ini, rekan kerja yang masuk bersamaan dengannya di TTO, dua bulan lalu.
Gara-gara dia, William Lee jadi mengetahui di mana ia bersembunyi tadi pagi. Dan berhasil memaksanya menemani makan siang. Meski Wilma Herdian pergi karena diijinkan–secara tersirat–oleh BM TTO. Meski mengenyangkan perutnya, tanpa harus mengeluarkan uang seperser pun.
Tapi, satu saat nanti pasti akan ada harga yang harus ia–Wilma Herdian–bayar. Dan jika saat itu tiba, ia benar-benar akan membuat perhitungan dengan Andi Pratama.
"Kenapa, Say? Cemberut aja? Makan siangnya kurang lama? Gak kenyang?" Andi Pratama mengekor Wilma Herdian hingga ke pantry.
"Ndi, bisa gak, kamu diem? Kalau gak, kamu gak akan dapat jatah!!" Ancaman Wilma Herdian tidak main-main.
Ia lantas mengeluarkan dua boks berisi donat untuk rekan-rekannya di TTO. Menyisikan dua donat untuk BM TTO, Rudi Setiawan. Karena telah berbaik hati mengijinkannya menemani William Lee makan siang. Meski sebetulnya itu tidak perlu ia lakukan. Wilma Herdian sendiri, sangat keberatan menemani tuan CEO itu.
Keadaan TTO di siang hari yang terik dan sepi, membuka kesempatan para karyawan menikmati upeti yang dibawakan Wilma Herdian.
Rere Wildan dan Kartika Sari, tentu saja ikut menikmati, termasuk bang Joe, para senior lain, satpam, dan para anak magang. Mereka menikmati donat sambil berbincang hangat, seputar apa saja yang terlintas dalam benak mereka.
Menyisakan tatapan nanar Andi Pratama di kursinya. Berpura-pura sibuk mengoperasikan sistem reservasi. Padahal sesekali ia melirik Wilma Herdian yang tengah memakan donat lezat pemberian William Lee. Menelan salivanya dengan susah payah. Menghela napas. Tertunduk lesu.
"Kenapa, Ndi?" Suara BM TTO terdengar, saat melewati meja Andi Pratama. Ia baru saja turun dari ruangannya di lantai tiga. Wajah segar Rudi Setiawan, menunjukan suasana hatinya yang sedang baik.
Andi Pratama malu untuk menjawab, namun matanya berkhianat–menatap boks berisi beberapa donat yang masih belum disentuh. Tidak bertuan.
Wilma Herdian, diam-diam memperhatikan gerak-gerik Andi Pratama yang gelisah juga salah tingkah. Ia memang sedang menghukum si mulut ember itu.
Biar tahu rasa!
"Wil," panggil Rudi Setiawan.
"Ya, Pak?" Sigap Wilma Herdian menjawab.
"Apa Andi, gak dapat jatah?" tanyanya lembut.
Wilma Herdian mengulas senyum. Melirik sekilas Andi Pratama. "Sengaja. Biar kapok!"
Rudi Setiawan menggeleng dan tersenyum di saat bersamaan, kemudian berlalu meninggalkan ruang ticketing.
Biarlah dua anak manusia itu menyelesaikan sendiri masalah di antara mereka. Rudi Setiawan belum perlu untuk turun tangan mendamaikan dua sejoli yang bagaikan tokoh kartun kucing dan tikus.
Tidak lama ....
"Ini." Wilma Herdian menyodorkan boks berisi dua donat yang sedari tadi dilirik Andi Pratama.
Andi Pratama bergeming. Sejenak ragu-ragu, antara mengambil donat di hadapannya dan membuang urat malunya. Atau, menolaknya, demi mempertahankan egonya, dengan konsekuensi membuatnya terus memikirkan donat dengan topping remahan oreo kesukaannya, yang begitu menggoda. Membuat air liurnya tidak berhenti berproduksi berlebihan.
Setelah memutuskan. Pilihan jatuh pada opsi pertama. Biarlah urat malunya sudah putus, sejak ia berani meledek Wilma Herdian secara terang-terangan. Yang penting perutnya terganjal dengan cemilan kesukaannya.
Wilma Herdian tersenyum.
"Terima kasih. Dan maaf untuk yang tadi." Andi Pratama berucap lirih.
"Oke." Wilma Herdian memang bukan pendendam, meski ia ingin. Akan tetapi, sisi lain dirinya mudah terenyuh dan iba. Salah satu kelemahannya, atau mungkin kelebihannya.
Usai menghabiskan dua boks donat, para karyawan kembali bertugas. Meski, jika TTO sepi, mereka tetap harus stand by. Karena terkadang ada saja berita dari pusat yang mengabarkan penundaan penerbangan, sehingga mau tidak mau, mereka harus menghubungi calon penumpang atau travel agent yang telah memegang tiket pesawat.
Pintu terbuka otomatis, salah satu travel agent masuk ke TTO dan langsung menuju meja kasir. Biasanya, untuk setoran tiket yang telah terjual.
Pria berjanggut tipis, dengan topi menutupi rambutnya, melirik sekilas Wilma Herdian yang sedari tadi menatapnya–karena tidak ada pekerjaan yang harus dilakukannya.
Usai menyetorkan sejumlah uang, bagian accounting memeriksa jumlah tiket dan sebagainya. Sambil menunggu, pria bertopi itu mendekati meja Wilma Herdian.
"Bagaimana kencanmu?" tanya pria itu datar.
Wilma Herdian menghela napas. Pertanyaan itu lagi, itu bukan kencan! Batinnya.
"Hanya menemani makan siang." Wilma Herdian menekan kata 'menemani', agar pria di hadapannya ini tidak salah paham.
Lagi pula untuk apa Wilma Herdian harus menjelaskan secara detail apa yang ia lakukan bersama William Lee, saat jam istirahat. Dan, memang tidak terjadi apa-apa, hanya makan siang biasa.
"Jangan kau ulangi lagi." Pria ini masih bersikukuh memberi peringatan.
Ada masalah apa, sih, antara William Lee dan Andi Nugraha? Wilma Herdian membatin.
Hari ini, duo Andi benar-benar telah menjadi orang yang secara bersamaan bersikap menyebalkan.
Yang satu, begitu senang meledeknya. Sedang yang lain begitu berlebihan dalam memberi peringatan.
Eh, tunggu sebentar! Tiba-tiba terlintas dalam benak Wilma Herdian, bahwa Andi Nugraha cemburu!
"Wilma, kamu dengar ucapanku tidak?" Andi Nugraha terlihat kesal. Karena Wilma Herdian mengabaikannya. Senyum-senyum sendiri.
"Baik." Wilma Herdian memutus menjadi anak baik, agar Andi Nugraha tidak lagi merecokinya.
Beruntung, Sinta Siahaan–bagian accounting–memanggil Andi Nugraha. Usai sudah urusannya dengan Wilma Herdian.
"Pulang aku jemput, jangan pulang duluan." Andi Nugraha berpesan sebelum ia meninggalkan TTO.
"Oke!" Wilma Herdian mengacungkan dua jempol sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.
*
Sore hari, jelang pukul empat tiga puluh menit, Andi Nugraha mendatangi TTO, menjemput Wilma Herdian.
Gadis polos hitam manis itu tengah duduk di kursi antrian. Pandangan matanya tertuju pada layar televisi yang tergantung di sisi kanan TTO. Menyimak berita seputar tanah air.
"Maaf lama menunggu." Andi Nugraha memecah konsentrasi Wilma Herdian.
Saat melihat Andi Nugraha, Wilma Herdian lantas beranjak dari kursinya, membawa bungkusan di tangan kirinya, dan berjalan keluar bersama Andi Nugraha menuju parkiran motor.
Andi Nugraha menyerahkan helm cadang untuk dikenakan oleh Wilma Herdian.
Mereka pun keluar dari area TTO membelah jalan raya yang mulai ramai oleh kendaraan yang sama-sama baru selesai dari pekerjaan mereka di kantor.
Andi Nugraha mengantar Wilma Herdian hingga ke depan rumahnya. Menunggunya turun dari boncengan dan menerima helm yang tadi dikenakan Wilma Herdian.
"Mau mampir dulu?" tawar Wilma Herdian.
Andi Nugraha menolak dengan halus. Ada hal yang harus ia kerjakan terlebih dahulu. Jadi, tidak mungkin menerima tawaran Wilma Herdian, meski pun dia ingin.
Wilma Herdian mengucapkan terima kasih dan meninggalkan Andi Nugraha. Yang kemudian melajukan kembali motornya, setelah memastikan Wilma Herdian masuk ke dalam rumahnya.