Setelah selesai salat, Raina keluar dari mushola, ia melihat Reza menjadi imam solat untuk Vina. Raina bergegas di hatinya masih timbul rasa kagum untuk calon kakak ipar.
'Hentikan perasaanmu sekarang Raina, jangan lagi. Tolong! Kamu jangan menyimpan rasa lagi, Ra, jangan terlalu bermimpi karena saat bangun nanti rasanya menyakitkan. Sadar Ra, sadar! Stop!' batin Raina menyuruh diri-sendiri.
Raina melihat Fadil yang asik merokok, ia menggelengkan kepala, heran melihat calon suaminya yang sama sekali tidak mengerti agama.
Raina menghela napas, ia segera berlalu dan pergi, ia duduk di depan butik di temani lagu di handponenya. Lagu jaman dulu adalah lagu favoritnya.
Ia memejamkan mata dan menikmati alunan lagu Kesempatan kedua dari band Tangga.
Ia juga mengukuti liriknya. "Andai saja aku masih punya," nam2un karena fikiran kacau ia berhenti bernyanyi.
Raina membuka web di aplikasinya, ia membaca tentang bedanya nafsu dan cinta.
"Oh ternyata jelas berbeda, kalau cinta bisa untuk siapa saja namun juga bisa tercampur dengan nafsu birahi," ujarnya pelan yang mulai memahami isi dari buku bertema, remaja islami dan cinta.
"Islam tidak melarang cinta karena cinta adalah pemberian Allah, dalam pengertian saling menyayangi dan saling mengasihi." belum selesai membaca Raina memejamkan mata, benar saja semenghindarnya dia, dari perkataan Vina, kata itu terus meramaikan otaknya.
Raina tidak tahan lagi ia pergi dari butik, Fadil melihatnya, dan seketika berdiri dan mengikuti Raina.
Fadil menarik Raina, Raina sangat terkejut. Kulit tangannya tersentuh oleh calon suaminya, Fadil mendorongnya ke tembok.
"Lepaskan!" titah Raina di abaikan, Fadil mendekat dan semakin kuat mencengkram tanan Raina, kekuatan Fadil membuat Raina memberontak, Fadil semakin mendekat ke dada Raina, dan hampir saja mencium Raina, menyatukan tangan tangan Raina dengan satu pegangan, tangan satunya mulai meraba dan membuka resleting baju Raina, tanpa berfikir Raina menginjak dengan sekuat tenaga ke kaki Fadil, spontan Fadil melepas Raina, Raina berlari air matanya berlinang dengan cukup deras.
"Awas kau ..." teriak Fadil yang masih kesakitan.
'Ya Allah, apa aku sehina itu! Ya Allah
astagfirullah ... huft ... hiks.' Raina menangis tersedu-sedu, Ia berhasil menjaga kesuciannya. Raina bersembunyi ia ketakutan, tubuhnya bergetar.
'Suami macam apa? Yang sama sekali tidak menghargai seorang istri, jangankan, nasib mereka bagaimana? Anak-anak tanpa dosa di kemanakan olehnya, Ya Allah akankah aku menikah dengan pria jahannam. Ya Allah apa Engkau masih mengampuninya, jika dia taubat, apakah aku bisa menerima jika aku menjadi istrinya, apa aku bisa membiarkan dia melakukan dosa lagi, Allah ..." Raina berdiri ia berjalan cepat.
Jika sudah siang sangat sulit mencari ojek. Raina melihat orang yang dia kenal. "Kak Hanif ..." Raina menghapus air matanya, Hanif yang hendak memakai helm, menoleh.
"Raina ..." panggil Hanif, Raina berlari ke Hanif.
"Kak, aku bisa minta tolong, antar aku pulang. Hiks," minta Raina karena daerah itu sepi.
"Naik, kebetulan aku juga mau pulang. Tapi hanya ada satu helm," jelas Hanif, Raina hanya menganguk mereka berboncengan dan berjarak, motor melaju.
Raut wajah Raina tidak bisa di sembunyikan, terlihat ia menahan tangis. Hanif melihat dari spion sisi kiri.
"Kamu kenapa? Katamu aku teman, cerita saja!" Hanif ingin tau, "Bagaimana kalau aku tlaktir bakso, kalau galau makan 'kan jadi senjata," bujuk Hanif.
"Hiks hiks. Ka_mu selalu memberi aku makan saat galau he, hiks." Berbicara dengan terbata-bata.
"Ya sudah, terserah. Aku tidak memaksa jika kamu tidak ingin cerita," jelas Hanif.
Raina berusaha rilex, ia mengambil nafas, lalu mengeluarkan secara perlahan. "Kita bicara di sana. Dan aku yang tlaktir," pinta Raina menunjuk warung makan pinggir jalan.
"Siap." Hanif setuju, tak lama mereka sampai, turun dari sepeda montor, memesan binte sambil menunggu, mereka mulai ngobrol.
Jarak duduk pun satu meter, "Bagaimana hubunganmu dengan Tania?" Raina malah menanyakan hubungan Hanif dengan kekasihnya.
"Baik, tapi entahlah ..." Hanif menjawab dengan hal yang gantung.
"Entahlah, bagaimana?" Raina malah antusias dengan hubungan Hanif.
"Kok malah tanya storyku!" Hanif tidak terbuka.
"Ya sudah kalau begitu aku tidak akan cerita," ujar Raina, Hanif tertawa, Raina heran dengan kakak kelasnya, dan juga teman sekelas Reza itu.
"Aku sih terserahmu, nggak penting juga, tapi kalau kamu mau cerita ya aku dengarkan." Kaum Adam memang cuek, sama halnya dengan Hanif, namun sering kali saat Raina galau Hanif yang menghiburnya, keduanya tidak saling menyimpan perasaan, mereka hanya berteman.
"Okelah, aku dan Tania mungkin akan putus, atau mengantung, entah sampai kapan. Yang pasti jika memang dia akan menikah, dan dia mau aku akan melepasnya, dan membiarkan dia terbang seperti burung. Dan sebaliknya jika dia masih ingin memperjuangkan cinta kami, aku pun akan berjuang. Namun aku tidak bisa membawanya kawin lari tanpa restu orang tua. Karna restu orang tua adalah jalan menuju kebahagiaan, tanpa restu akan berantakan semuanya." Hanif sangat bijak, Raina mulai mengenal orang yang pernah ia benci.
"Terserah Allah mau membagaimanakan kisah cinta dan hidupku, aku sekarang ini hanya hidup dengan dua alasan, ibadah dan ibu, cinta memang penting dan aku berusaha mencintainya wajar dan rasional, itu juga yang di katakan Tania, dulu aku sangat takut jika tidak bisa memiliki namun, sekarang kami memutuskan untuk berjuang sewajarnya, mencari uang untuk tambah-tambah agar di restui, namun jika tetap tidak ya ... hubungan kami akan berakhir," jelas Hanif.
"Kisah manusia memang tidak terduga, apa kau tau ..." suara Raina terpecah, tangis haru pilu menjadi satu, dan membuat Hanif bingung.
"Jangan menangis. Tidak perlu cerita jika menyakitkan!" saran dari Hanif, Raina menghapus air matanya, menghela napas, lalu menepuk pipinya.
"Ku harap tadi hanya mimpi yang mengerikan, dan saat bangun aku lega. Namun ini nyata kejadian nyata. Ya Allah ... sangat menyakitkan. Ya Allah ..." kembali pecah tangisannya.
"Yang sabar ya. Sama seperti aku yang mengharap hubungan kami di restui, namun ternyata hanya anganan belaka. Ya, semoga bisa di restui suatu saat nanti, apa perlu kita vidio call sama Tania? Kamu curhat sama dia saja, kan temanmu juga. Ya ... siapa tahu bisa membuatmu tenang."
"Aku minta saja nomer telponnya. Soalnya lama juga kami tidak bicara, tapi ngomong-ngomong cinta kalian itu keren lho, cinta penuh perjuangan. Yah hidup memang begini, tapi seharusnya tetap tidak boleh mengeluh," jelas Raina
"Mana bisa kita manusia biasa. Ya ... sebisa mungkin jangan menyerah dan tangan patah semangat. Kamu gadis baik IngsyaAllah ada jalan mudah, aku tidak bisa membatumu, tapi aku bisa mendoakanmu," jelas Hanif, Raina merasa tenang.
"Kamu memancingku untuk cerita, enaknya shering nggak ya?" ujar Raina fikir-fikir, Hanif tertawa kecil, makanan datang.
"Makan dulu yang kenyang, biar tidak terlalu kefikiran, bisa menyebabkab kurus lho ...." suruh Hanif dengan membumbui makanannya.
"Kan enak tidak perlu diet. Ayo makan bismillah." Raina berusaha menikmati makananya, tapi saat diam bayangan perlakuan Fadil tadi kepadanya membuat ia kembali menangis, ia merunduk makan dan menangis, sambil membuang ingus. Hanif melihat Raina ia tidak bicara apa-apa walau Raina tidak sopan.
"Maaf ini sangat menjijikkan hiks heh, heh, hiks," ujar Raina tak jelas.
"Sudah santai saja," ujar Hanif, Hanif tidak tau masalah Raina namun ia mengerti sesusahan wanita, karena di fikirannya jika sang kekasih Tania sedih seperti Raina ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali perkataan nasihat dan doa.
Bersambung.