Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 17 - (Book I) 16: Makhluk Raksasa Bersayap

Chapter 17 - (Book I) 16: Makhluk Raksasa Bersayap

—BOOK I—

-SATU RAKYAT, SATU KEAJAIBAN & SATU MALAPETAKA-

"Hidup dengan bahagia, ya?" Rama yang sedikit termenung menggumamkan kalimat itu dengan suara pelan.

Namun, Cika yang berada tepat di sebelahnya bisa mendengar perkataan Rama dengan jelas.

"Apa maksudmu ngomong seperti itu?" Gadis kecil berambut panjang itu melontarkan tatapan heran pada bocah kurus di sebelahnya.

Setelah melewati siang yang amat super membingungkan, malam harinya Rama memutuskan untuk datang ke lapangan bola di dekat rumahnya untuk bertemu dengan Cika.

Kedua anak itu sedang berada di atas tribun, berdiri di dekat pagar pembatas sambil memandangi angkasa malam gelap di atas sana.

"Entahlah." Rama menyipitkan matanya. Mata merahnya kembali berpendar. "Sejak tadi siang, aku kayak merasa telah melupakan sesuatu, lho. Tapi masalahnya, aku sama sekali nggak tahu apa itu."

"Eh? Jadi kau juga merasakannya?" Cika terlihat sangat terkejut.

"Maksudmu?" Rama menoleh memandang wajah Cika. Gadis kecil itu juga kini terlihat sangat kebingungan, padahal sedetik yang lalu dia baik-baik saja, seperti Cika yang kemarin-kemarin.

"Yah, sama kayak kamu... Sejak tadi siang, aku kayak lupa sesuatu... Tapi, aku juga nggak tahu apa itu." Cika menarik pedang kecilnya dari sarungnya yang terikat di pinggangnya, lalu menatap pantulan wajahnya di bilahnya. "Aku... Sama sekali nggak tahu apa itu."

"Aneh banget..." Rama berbisik lagi. "Ngomong-ngomong, apa yang mau kau lakukan mulai sekarang, Cika? Kan, Singa Perak itu sudah nggak ada, jadi, apa lagi rencanamu untuk kedepannya? Dan... Aku masih penasaran, kamu itu tinggal dimana, sih, sekarang?"

"Ah, aku punya tenda sihir, kok, jadi aku bisa tidur dimana aja. Kau nggak usah pikirin soal itu, lagi pula aku sudah terbiasa hidup sendiri." Ujar Cika santai. "Tapi, aku berencana untuk menetap disini, Rama. Soalnya disini lebih tenang dibanding di Bali, dan nggak terlalu banyak Warga Dunia Lain juga, jadi harusnya Dewan Dua Dunia pun tidak akan keberatan."

"Iya, sih... Soalnya Warga Dunia Lain yang pernah kutemui disini sejauh ini itu baru kamu, Juar, Kak Aria, Kak Lilac, Kak Merlin, Peramal yang waktu itu, terus Kain dan Kak Siska, cuma itu aja."

"Yah, kalau begitu besok aku akan memperbarui statusku di kantor cabang. Toh, aku juga suka berada di sini. Bahkan di jam segini aja, udaranya terasa lebih nyaman." Ungkap gadis kecil itu sambil menghirup napas dalam-dalam.

Di tengah-tengah perbincangan itu, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi. Ada puluhan sosok-sosok menyeramkan berpostur persis layaknya manusia yang seluruh tubuhnya diselimuti api hitam keunguan yang mulai bermunculan di lapangan entah dari mana. Mata mereka merah menyala, dan memiliki cakar yang panjang.

"Itu Dosa?" Rama bertanya, karena jujur saja, ini adalah kali pertamanya nongkrong disini di jam segini, jadi dia tidak pernah tahu.

"Ya, mereka memang sering muncul disini di jam segini." Jelas Cika sambil memeriksa jam di ponselnya; sekarang sudah jam delapan malam. "Nah, kebetulan pedangku lagi ada di tangan, jadi ada baiknya aku mengasahnya sebelum menyarungkannya lagi."

Dengan satu lompatan yang ringan, Cika yang awalnya di tribun langsung terjun ke tengah-tengah lapangan sambil meluncurkan tebasan pedang yang kuat hingga membuat beberapa Dosa terhempas dan lenyap kembali ke dalam kegelapan.

"Ayo, maju kalian!" Cika berseru penuh kemenangan.

Sementara itu, Rama cuma menonton Cika yang tengah menari bersama pedangnya dari kejauhan dengan kunci pedang perak yang siaga di tangannya.

Jujur, dia pun sebenarnya ingin ikut bertarung, mengingat dia sekarang sudah bukan manusia biasa lagi. Meski begitu, jelas saja itu bukan alasan kenapa ia merasa ingin bertarung, dia juga sadar kalau alasan itu terdengar bodoh. Namun, Rama memang harus bertarung, karena dia mampu.

Dosa-dosa itu adalah makhluk jahat yang hanya ingin merusak manusia, dan Rama memiliki kekuatan untuk melenyapkan mereka, alasan itu sudah cukup. Sama seperti dia harus bersekolah, dia harus melakukannya karena dia adalah seorang murid.

"Ini aneh banget. Aku ingin menemukan kebahagiaan, tapi... Buat apa, ya? Sumpah, ini rasanya gila banget." Rama bertanya pada dirinya sendiri. "Hey, Cika! Kalau kau sudah selesai kita ke rumahku, ya!?" Teriak Rama.

"Oh? Ke rumahmu? Ngapain!?" Balas Cika yang masih sibuk mengayunkan pedangnya.

"Yah, kau boleh tinggal di rumahku! Itu lebih baik dari pada tinggal di tenda sihirmu itu!" Jelas Rama.

"Heh?" Tak butuh waktu lama, Cika akhirnya berhasil menumpas semua dosa yang muncul di lapangan tanpa kesusahan sama sekali. Gadis kecil itu menyarungkan kembali pedangnya dan setelahnya ia mulai memungut satu per satu kepingan-kepingan permata kecil yang ditinggalkan oleh para dosa-dosa itu, lalu melangkah kembali ke tribun. "Aku? Tinggal di rumahmu? Gimana ceritanya, tuh? Menurutmu, bagaimana reaksi orang tuamu?"

"Aku, kan, udah pernah bilang, mereka nggak akan marah, kok." Bocah kurus itu turun dari tribun, dan dia pun bersama-sama dengan Cika pergi dari lapangan.

"Yah, tapi gimana ceritanya bisa begitu?" Cika masih bingung dengan yang ini. "Maksudku, bagaimana kau akan menjelaskannya pada mereka?"

"Emangnya, apa yang harus dijelaskan? toh sejak awal mereka sudah tidak ada." Jawab Rama santai, namun samar-samar terpancar kesedihan di matanya.

Cika pun cuma bisa diam setelah mengetahui kebenaran itu. Ya, itu memang bukanlah hal yang mudah untuk di utarakan begitu saja, tapi, bagi orang-orang seperti mereka, bagi orang-orang yang mengetahui tentang rahasia dunia, bisa dibilang, kenyataan seperti ini merupakan hal yang wajar.

Bahkan, walaupun Rama masih bisa dibilang sebagai pendatang baru, tapi dia sudah harus terbiasa dengan hal semacam ini.

Lagi pula, Cika pun seperti itu. Dia kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda, jadi mau tak mau, dia harus bisa bertahan hidup dengan dirinya sendiri.

"Yaudah, ayo." Rama berjalan duluan, sementara Cika yang baru tersadar dari lamunannya buru-buru mengikuti Rama dari belakang. Mereka meninggalkan daerah lapangan, menyusuri jalan aspal kecil, lalu menuju ke arah jalan besar yang masih ramai.

Dalam perjalanan itu, Rama terus memperhatikan momen-momen di sekitarnya. Sejauh matanya memandang, Rama hanya melihat manusia-manusia yang tengah menjalani kehidupan mereka seperti yang seharusnya. Semua orang melangkah ke arah yang berbeda.

Di seberang jalan sana ada beberapa rumah makan, warung gorengan, penjual arang, dan sebuah bengkel, sementara di sebelah kanannya ada daerah perkantoran.

Kendaraan berlalu-lalang di jalan raya, ada banyak warga yang baru saja pulang dari masjid, dan orang-orang berjalan kesana kemari seakan tak ada hal mengerikan yang terjadi di dunia ini.

Benar-benar aneh sekali.

Jelas ada sesuatu yang terlupakan, dan entah apa itu sebenarnya, tapi beginilah situasinya sekarang.

Rama telah menjadi bagian dari keajaiban dunia ini.

Namun, keajaiban itu baik atau buruk Rama sama sekali tidak bisa menjawabnya.

Rama lalu menatap kunci Pedang Peraknya masih bersiaga di tangan kanannya.

Saat ini, di detik ini pula, ia sungguh tidak tahu, keajaiban itu sebenarnya apa.

Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah besar dua tingkat yang terletak persis di pinggir jalan raya dan bersebelahan langsung dengan satu masjid.

Meski begitu anehnya, rumah itu sangat gelap, tak ada lampu yang menyala, dan juga tampak tak terurus. Namun, Rama berjalan dengan santainya melewati halaman rumah, dan berhenti tepat di depan pintunya yang terletak di sebelah kanan

Cika sempat melongo keheranan. "Tunggu sebentar... Ini rumahmu?" Tanya gadis kecil itu.

"Lah... Emangnya tadi aku bilang mau kemana?" Gumam Rama sembari menarik keluar kunci besi kecil dari kantung celananya. Tapi, entah kenapa Rama termenung sesaat saat melihat kunci itu.

Itu kunci biasa, pikir Rama. Kunci yang sangat biasa.

"Yah... Nggak tahu, ah." Rama bergumam pelan seraya mencoba memasukkan kunci itu ke lubang kecil di pintu.

Lalu, disaat itu pula, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Hembusan angin yang sangat kuat timbul entah dari mana, dan membuat semua orang di sana menjadi panik seketika.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara kepakan yang amat lantang dari langit.

Rama dan Cika segera menengadah menatap angkasa malam, dan mereka akhirnya sadar akan keberadaan sosok raksasa bersayap yang sedang terbang dengan liar di atas sana.

Sosok yang amat besar itu memiliki dua pasang sayap yang amat lebar, bersisik gelap keunguan, dan jujur saja, makhluk itu tampak sangat menyeramkan sekaligus luar biasa.

Rama melirik situasi di sekitarnya.

Orang-orang yang tadinya terkejut pun kini mulai kembali melanjutkan kegiatan mereka seakan tak ada hal aneh yang terjadi.

Akan tetapi, ketika Rama kembali mengarahkan pandangannya ke arah naga itu, anehnya, makhluk itu pun membalas tatapan Rama.

Rama tentu sontak terkejut, begitu pula dengan Cika.

"Naga... Hitam?" Cika berbisik pelan. "Itu Naga Hitam."

Rama menoleh memandang Cika, wajah gadis kecil itu benar-benar tegang, dan keringat dinginnya mulai mengalir di pelipisnya.

"Naga Hitam? Tapi apa yang dilakukannya di sini? Maksudku, di kota ini?" Rama kembali mengarahkan matanya pada naga itu.

Sungguh, Rama merasa kalau naga itu jelas-jelas tengah menatap dirinya saat ini.

Namun tanpa diduga naga itu tiba-tiba mulai bergerak lagi. Ia mengepakkan sayapnya dan terbang menukik turun ke bawah, menuju tepat ke arah Rama.

Tapi, anehnya lagi, semakin dekat naga itu dengan Rama, ukurannya pun malah semakin mengecil.

Naga itu terus menciut, menciut, dan menciut, atau tepatnya ia berubah wujud. Hingga akhirnya naga itu mendarat di halaman rumah berwujudkan sebagai wanita muda dalam balutan gaun kain hitam.

Wanita berambut hitam panjang legam, berparas cantik, dan bertubuh elok yang kini berdiri di antara Rama dan Cika, itulah si Naga Hitam. Mata ungunya mengkilap.

"Hai, kalian berdua." Sapa wanita itu sambil tersenyum kecil.

Namun, Cika dan Rama yang sudah terlanjur merasa terancam dengan keberadaan si wanita naga hitam ini, akhirnya buru-buru mengacungkan senjata mereka masing-masing; Cika dengan pedangnya, juga Rama dengan pedang peraknya.

Karena kejadian itu, senyum si wanita naga pun menghilang dari bibirnya, dan perhatiannya tertuju pada Rama.

"Kau memiliki Pusaka yang menyeramkan, nak." Ujar wanita itu. Ia menatap lengan kiri Rama yang menghilang entah kemana, lalu mengarahkan tatapan tajamnya pada pedang yang digenggam Rama di tangan kanannya.

"Kekuatan macam apa itu...? Mengorbankan tangan kiri demi sebuah pedang yang dibuat dengan bahan yang sama dengan logam perak. Logam yang dikutuk oleh sang Pencipta."

"Jangan tanya aku, Tante. Aku sendiri nggak tahu. Soalnya, pusaka ini hadiah dari seseorang." Jelas Rama yang masih mengacungkan pedangnya ke arah wanita naga itu.

Namun, itu aneh. Dia tahu kalau kunci Pedang Perak itu adalah hadiah, tapi, dia sama sekali tidak bisa mengingat siapa yang memberikannya. Benar-benar tidak bisa.

Wanita itu kemudian bergantian menatap Rama di depannya, dan Cika yang berdiri kikuk di belakangnya.

"Hah..." Si wanita naga menghela nafas berat. "Kalian bisa santai nggak, sih? Aku sebenarnya cuma ingin bertanya sesuatu pada kalian, loh." Dia kembali memasang senyuman manisnya.

Setelah saling memberi isyarat melalui anggukan kecil, Rama dan Cika akhirnya sama-sama setuju untuk menurunkan pedang mereka.

Cika menyarungkan pedang bajanya, sementara pedang perak Rama hilang begitu saja ketika ia melepas genggamannya, dan di saat itu pula, lengan kiri bocah lelaki itu pun muncul kembali di tempatnya seperti semula.

"Tapi Tante serius, lho. Kau benar-benar memiliki Pusaka yang menyeramkan, Nak." Wanita itu menekankan, ia tampak sedikit keheranan.

"Jadi... Apa yang sebenarnya mau Tante tanyakan pada kami?" Cika memberanikan diri untuk bertanya, walau jelas saja ia masih gemetaran.

"Yah, kalian tahu sendiri kalau ras naga merupakan salah satu ras tertinggi, jadi sudah menjadi tanggung jawab kami untuk menjaga keseimbangan di dunia manusia." Wanita itu menjelaskan. "Nah, kebetulan hari ini Dewan Dua Dunia menangkap ledakan kekuatan yang sangat kuat dari kota ini, ya, mau nggak mau, aku sebagai perwakilan ras naga dan perwakilan dewan, dan juga karena kebetulan aku tinggal di pulau ini, jadi yang ditugaskan untuk memeriksanya, ya, aku."

Rama dan Cika tidak bisa tidak percaya dengan perkataan wanita itu, karena dari wajahnya pun bisa dilihat kalau dia memang dipaksa untuk kesini. Dia terlihat kesal, lesu, dan lelah, persis seperti orang yang dipaksa untuk bekerja.

"Oh..." Kedua bocah itu tampaknya sudah mengerti dengan situasi itu.

"Nah, karena kalian sudah mengerti sekarang, jadi, apakah kalian melihat sesuatu yang aneh sejak tadi pagi? Atau tadi siang?" Tanya si wanita naga.

Rama dan Cika saling bertukar pandang sejenak, lalu menggeleng pelan.

Meskipun saat ini sedang ada hal ganjil yang tengah menimpa Rama dan Cika, tapi Rama yakin kalau keanehan yang menimpa mereka sejak kemarin itu tak ada hubungannya dengan situasi ini. Toh, Cika juga tidak mengatakan apa-apa.

"Hah..." Wanita itu menghela nafas dalam lagi. Dia pasti sangat lelah.

"Eh... Maaf, permisi?" Suara yang tak diundang itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang Cika, dan berhasil mengejutkan mereka bertiga.

Pemilik suara barusan ialah seorang bocah yang tampaknya seumuran dengan Rama. Hanya saja, sumpah demi apapun, penampilan anak itu benar-benar terlihat amat tidak biasa.

Pasalnya, satu-satunya kain yang menutupi tubuhnya dari kaki hingga ke lehernya, hanyalah selembar kain putih bersih yang polos tanpa corak apapun.

Lagi, matanya cerah berwarna keemasan, dan rambutnya yang hitam legam pun sangat gondrong.

Akan tetapi, bagian terburuknya, adalah orang-orang di sekitar mereka–di masjid, dari pinggir dan seberang jalan, bahkan orang yang tengah berkendara pun berhenti, setelah melihat keberadaan anak lelaki itu.

Ya, itulah masalahnya, manusia bisa melihatnya.