Rama tidak tahu pasti apa penyebabnya, tapi dia tahu betul kalau dirinya merasa sangat kelelahan sekarang. Pemuda berambut hitam dan bersetelan jas rapi itu menunggu dengan gelisah di depan lift. Dia mengetuk-ngetukkan sepatunya yang mengkilap ke lantai. Perasaan jengkel memenuhi pikirannya, dan keringatnya terus bercucuran.
Para karyawan yang ada di sekitarnya tampak mengalihkan pandangan dengan takut. Mereka semua menghindari Rama. Ya, tentu saja begitu, dia juga sadar.
Namun, Rama tidak ingin memperdulikan itu sekarang. Satu-satunya yang memenuhi pikirannya, adalah sosok adiknya, Sofia, yang ternyata memiliki sayap malaikat, dan teman-teman Sofia, yang merupakan kumpulan makhluk-makhluk yang bukan manusia.
Pagi ini, saat Rama mengantarkan Sofia ke rumah temannya, Rama dan Sofia langsung dibuat terkejut tak karuan ketika mendapati rumah temannya itu, juga seluruh daerah perumahan di sana, dan sekitarnya, rupanya telah dibuat rata dengan tanah, sementara teman Sofia, dan teman-teman dari teman Sofia itu, semuanya sekarat dan hampir mati.
Namun, untung saja Sofia menolong mereka. Dia menyembuhkan orang-orang itu, atau tepatnya, menunda kematian mereka dengan sayap putihnya yang entah datang dari mana. Dan setelahnya, Rama akhirnya memanggil pihak berwajib untuk menyelidiki kejadian itu, serta membawa orang-orang yang sekarat itu ke rumah sakit.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Rama pada dirinya sendiri. Dia memang tidak tahu kebenarannya, tapi dia yakin sekali, jejak kehancuran yang ia lihat tadi, adalah hasil dari peperangan. "Tapi, kok bisa sih ada perang? Apa yang mereka lawan? Dan bagaimana caranya? Sialan... "
Tiba-tiba saja, pintu lift di depannya akhirnya bergeser membuka. Di dalam ada banyak orang yang berdiri saling berdempetan. Tapi, begitu melihat sosok Rama yang berdiri di depan mereka, mereka semua langsung buru-buru keluar dari lift dengan wajah panik.
Rama masuk ke dalam lift, dan menekan tombol untuk naik ke lantai teratas. Lantai dua puluh lima. Di dalam lift, pemuda itu kembali berperang melawan pikirannya. Akan tetapi, belum saja dia memikirkan apapun, tiba-tiba saja, pintu lift kembali membuka.
"Loh? Kok bisa—" Namun, kata-kata Rama terpotong seketika, begitu ia menyadari sesuatu yang terpampang tepat di depan matanya. "Padang... rumput... ?"
Di balik pintu lift, ada hamparan padang rerumputan yang begitu luas, juga langit biru cerah yang megah dan tampak tak berujung. Dan tak jauh disana, ada juga pohon yang besar, dengan buah berwarna emas yang menggantung di dahan-dahannya.
Mulut Rama membuka lebar. Tapi dia berusaha untuk tetap berpikir dengan tenang. Dia memang sudah melihat hal yang sangat aneh dan mengerikan beberapa jam lalu, tapi yang ini benar-benar terlalu berlebihan untuk pikirannya.
Rama dengan ragu melangkah keluar dari lift, dan menapakkan kaki di atas rerumputan, dan pada saat itu pula, ada satu suara yang menyambutnya. Suara yang dingin, anggun, datar, dan terdengar sangat agung, sampai membuatnya merinding.
"Selamat datang, Rama Putrantiwa, pemimpin yang ketiga dari perusahaan NOX, yang sangat ditakuti oleh semua karyawannya. Kepadamu, aku ucapkan selamat datang di Taman Gantung Yehawa." Ucap seorang gadis kecil yang kini tengah duduk di bangku dibawah satu-satunya pohon yang ada di sana, sambil menikmati secangkir teh.
Gadis berpakaian kain terusan berwarna hitam polos itu duduk dengan anggun di situ. Matanya berwarna hitam, begitu juga dengan rambutnya yang pendek terurai ke leher. Namun, entah kenapa Rama merasa bahwa warna hitam yang melekat pada gadis itu, bukan sekedar warna hitam saja. Rasanya, warna hitam itu, malah lebih gelap dibanding kegelapan. Sungguh perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Tapi, satu hal yang pasti, Rama tadi yakin betul bahwa gadis itu tidak ada di sana sebelumnya ketika ia melihat untuk kali pertamanya. Begitu juga dengan bangkunya, mejanya, serta cangkir-cangkir teh dan teko itu. Tadi hanya ada pohon, dan rerumputan. Rama sangat yakin dengan itu.
"Siapa kau?" Tanya Rama dengan nada mengancam. "Dan apa yang terjadi di sini?"
"Wah... benar-benar Rama banget ya." Gadis kecil yang tampak masih berusia dua belas tahun itu meletakkan cangkirnya dengan gerakan anggun dan gemulai. "Bagi kamu, hidup ini hanyalah soal hidup. Kau melakukan segalanya dengan terlalu serius, untuk memastikan bahwa semuanya masih baik-baik saja. Kau tak peduli dengan atas, belakang, bawah, kiri, maupun kanan. Asalkan semuanya sudah sesuai seperti yang seharusnya, maka kau berpikir bahwa tak ada masalah. Ya, begitulah dirimu, orang yang hanya berjalan di satu jalan saja."
"Apa-apaan kau... Nggak usah jelaskan hal yang nggak guna seperti itu. Tanpa perlu kau katakan, aku juga sudah tahu kok. Sebaiknya, jawab saja pertanyaanku tadi."
"Baiklah kalau itu maumu." Ujar gadis itu. "Namaku adalah Sora De Vida. Kyne kedua dari dua belas Kyne. Dua belas cucu Tuhan. Dan aku adalah orang yang mengawasi dunia. Dan saat ini, aku datang kesini untuk memberikan sesuatu padamu."
"Pengawas dunia...?" Rama berbisik sambil tersenyum kecil. Tentu saja itu terdengar bodoh di telinganya. "Apa yang ingin kau berikan padaku?"
"Kesempatan kedua."
Rama yang mendengarnya langsung terbelalak.
"Kesempatan kedua...? Untuk apa? Apa kau berpikir kalau aku membutuhkan itu?"
"Kau sudah dengar sendiri semua yang aku bilang tadi, kan? Jadi jelas saja aku tahu. Sudah kubilang, kau adalah orang yang hanya berjalan di satu jalan saja. Orang yang selalu menyimpan beban berat sendirian, dan tak ingin membiarkan siapapun melihatnya. Dan tentu saja itu semua terjadi karena tuntutan keluargamu. Kau memang orang yang terlalu serius." Jelas gadis itu. "Ya, dirimu yang sekarang, adalah kesalahan yang dilahirkan oleh masa lalu, dan aku datang karena aku ingin membenarkan apa yang salah."
Rama sudah mencerna semuanya. Kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan gadis itu sebenarnya sudah terlalu benar, dan Rama tidak memiliki alasan untuk mengelak dan membuang-buang waktu.
Tanpa berbasa-basi lagi, Rama langsung menjawab. "Baiklah... aku akan mengambil kesempatan kedua itu."
"Kalau begitu, sekarang petiklah satu apel emas itu, dan makanlah." Kata gadis itu. "Itu adalah Apel Awal, setelah kau memakannya, maka berbagai macam takdir yang ada di dunia akan tertuju padamu, tapi tentu saja hanya satu takdir yang bisa menjangkaumu. Mudahnya, aku menjadikanmu sebagai umpan. Dan mungkin, setelah ini kau akan menjadi orang yang benar-benar berbeda, dan itulah yang kuinginkan."
Rama melangkah mendekati pohon apel dan langsung memetik salah satu buah yang tergantung di sana. Dengan tinggi tubuhnya yang di atas rata-rata, jelas itu tidak sulit untuk dilakukan olehnya.
"Jadi... aku akan mempunyai kekuatan sihir dan semacamnya?"
"Ya, bisa dibilang begitu." Jawab Sora sambil menyeruput kembali tehnya. "Oh iya, ada satu hal lagi yang harus kau tahu. Sebenarnya, ada harga yang harus kau bayar atas kekuatan ini."
"Oh? Ada bayarannya toh?"
"Orang-orang di dunia kami yakin, kalau kamu mendapatkan sesuatu yang baik dari kebenaran dunia, maka kamu juga harus siap menerima yang buruk yang diberikan oleh kebenaran itu." Sora menjelaskan. "Misalnya saja kau mendapatkan sekeping uang koin lama di jalanan. Koin itu memiliki desain yang sangat bagus, dan kau juga amat menyukainya, tapi sayangnya koin itu sudah tak memiliki harga lagi, dan ada penyakit berbahaya yang melekat di situ, namun kau tetap menyimpannya."
"Oh, begitu ya? Kalau boleh tahu, kenapa apel ini berwarna emas? Ini sungguhan?"
Sora hanya bisa memasang wajah datar saat menyadari bahwa Rama sama sekali tidak memperhatikannya. Akhirnya, gadis itu hanya mampu menghela nafas. "Makan sajalah..."
Rama menilik apel itu sejenak, tapi akhirnya dia mengangkat bahu, dan langsung mengambil gigitan pertama. Rasanya tidak berbeda dengan apel biasa, tapi dia memang menyadari sesuatu yang aneh terjadi.
Keheningan memenuhi seluruh tempat itu. Angin kencang berhembus menerbangkan rumput-rumput kering dan menggoyangkan daun-daun di pohon ini.
Sungguh perasaan yang aneh.
Namun, setelah beberapa saat terdiam, Rama kembali angkat bicara. "Aku haus." Rama yang merasa sudah tahu kalau apel itu akan hilang dari genggamannya, langsung pergi menghampiri kursi kosong di dekat si gadis dan duduk di situ. "Aku minum ini ya." Kata Rama sambil mengambil salah satu teh yang ada di meja.
Tapi, dia segera menyadari sesuatu yang aneh terjadi lagi. Ada seseorang yang lain yang duduk di sana. Seorang bocah berusia tujuh tahunan duduk di sebelah Rama dan tengah menikmati teh yang sama dengan Sora.
"Nggak boleh. Kau sudah memakan Apel Awal, jadi mustahil kau bisa minum Teh Tragedi." Jelas Sora.
"Hah? Teh apa?"
"Teh Tragedi, Kak!" Seru bocah misterius bermata perak dan berwajah riang itu tiba-tiba, sambil mengangkat cangkirnya ke depan wajah Rama.
"Apa, sih, anak ini?" Rama mendorong kembali cangkir itu dengan perlahan.
"Ngomong-ngomong, bisa nggak kau sebut saja nama yang barusan kau dapat?" Pinta Sora.
"Hmm... " Rama memandang ngeri Sora. "Sepertinya kau benar-benar tahu segalanya, ya? Tapi, baiklah." Rama bangkit berdiri dan berjalan agak jauh. Dia mengangkat kepalanya sambil berkata, "Kemarilah, Thanatios."
Kemudian, sesuatu yang lebih aneh terjadi untuk yang kesekian kalinya.
Sesaat kemudian, angin berhembus kencang, dan tiba-tiba angkasa di atas Rama terbelah dan terbuka seperti kelopak mata, lalu dari celah yang gelap itu keluarlah sesuatu semacam kapal perang raksasa berlapis baja hitam yang tampak sangat mengerikan. Kapal itu mengambang di langit dan memancarkan aura yang menakutkan.
Rama tersenyum lebar—sangat lebar saat melihat pemandangan itu. Dia sangat ingin tertawa sebenarnya, tapi dia sudah dibuat terlalu kagum dengan apa yang baru saja terjadi.
Lalu, tiba-tiba ada tiga sosok yang melompat dari kapal itu, dan mendarat tanpa cedera di hadapan Rama. Tiga sosok pemuda berseragam hitam, bermata merah, dan berambut hitam legam itu kemudian berlutut satu kaki di hadapan Rama.
"Kapal Perang Thanatios memiliki seratus awak terlatih yang takkan pernah menua, dan mereka akan mengikuti segala perintahmu." Sora menjelaskan. "Selamat, kamu baru saja mendapatkan sesuatu yang menarik. Tapi, aku nggak bisa menyangkal sih, sepertinya Thanatios memang cocok denganmu. Selamat ya."
"Wah! Kapal kakak keren banget!" Seru bocah itu.
"Ha... Hahahahahahahahaha—" Rama tertawa terbahak-bahak. Entah sudah berapa lama dia tidak tertawa seperti ini. Bahkan, dia hampir tidak ingat kapan dia tertawa. "Hebat! Ini benar-benar akan mengubah banyak hal!"