Bagi Aqil, lautan adalah tempat paling indah yang ada di dunia ini, dan saat ini, dia berada tepat di sana. Di tengah lautan yang tenang, di atas hamparan air yang merendam warna gelap, dan di bawah langit yang memancarkan cahaya jingga senja, bocah kecil berseragam merah putih itu berdiri dengan kedua kakinya, sambil memandang sekitarnya dengan keheranan. Di situ hanya ada dia, langit, dan lautan sejauh mata memandang, tak ada yang lain.
Aqil tidak tahu persis bagaimana ia bisa berada di sana sekarang ini, tapi yang pasti, ini terasa seperti keajaiban. Padahal beberapa saat yang lalu, ia baru saja melangkah keluar melewati gerbang sekolahnya dan berniat pulang ke rumah, tapi, anehnya, ketika ia membuka matanya, seketika itu juga dunia di sekitarnya sudah berubah.
Rasanya seakan-akan dunia ini telah menjadi milik Aqil seorang.
Aqil melihat ke bawah, dan memandang ikan-ikan yang berenang di dalam air. Aqil sama sekali tidak mengerti bagaimana ia bisa berdiri di atas air, tapi ini benar-benar nyata, dan dia tidak jatuh ke dalam air.
Awalnya, ia hanya mengangkat kakinya secara bergantian karena takut kalau-kalau ia mungkin akan jatuh dan tenggelam, lalu lama-kelamaan, ia pelan-pelan melangkahkan kakinya dan berjalan berkeliling, hingga akhirnya, Aqil pun mulai berlari dengan girang sambil melompat-lompat dan tertawa riang.
"Hahahahahaha! Wah! Ini hebat! Aku jadi seperti ninja! Aku lari di atas air!" Aqil berseru sambil terus berlari, dan meninggalkan jejak berupa riak air di setiap langkahnya.
"Apa kau merasa bahagia, Aqil?" Tanya seseorang yang entah muncul dari mana. Sosok itu adalah bocah dengan rambut biru cerah, serta memiliki mata berwarna merah seperti apel yang terlalu matang.
"Eh... Iya dong." Jawab Aqil ragu-ragu. Aqil tidak mengenal anak itu, dan tampaknya dia juga bukan teman satu sekolahnya, mengingat penampilannya yang terlalu ganjil untuk anak-anak Indonesia pada umumnya. Tapi anehnya, dia mengetahui nama Aqil.
Itu aneh sekali, kan? Pikir Aqil acuh tak acuh, kemudian kembali berlari dengan senangnya memutari bocah berambut biru itu.
"Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan jari kelingkingmu itu?" Bocah itu tiba-tiba bertanya.
Aqil langsung berhenti ketika mendengar pertanyaan anak itu. "Hmm... " Harusnya Aqil tidak boleh menceritakan kebenaran tentang jari kelingkingnya itu kepada siapapun, tapi entah kenapa dia merasa kalau tak apa-apa memberitahukannya kepada anak itu. "Ibuku yang memotongnya."
"Hah–apa?" Anak berambut biru itu terkejut mendengarnya. "Tapi, kenapa?"
"Gimana ya... Soalnya waktu kelas satu dulu, aku pernah berjanji pada ibuku, kalau aku akan selalu meraih ranking satu, tapi waktu di kelas tiga, aku tetap nggak bisa mendapatkan ranking satu, dan ibuku marah, jadi dia memotong jari kelingking ini." Aqil memandang tangan kanannya dengan ngeri. Rasa takut yang teramat sangat timbul dalam dirinya, tapi dia tetap tersenyum.
"Kejam sekali..." Kata bocah itu yang kini terlihat marah.
"Yah mau gimana lagi, soalnya aku memang bodoh, sih." Jawab Aqil sambil tersenyum lebar. "Padahal aku sudah berusaha keras, loh... Tapi tetap saja aku nggak bisa dapat ranking satu sampai sekarang." Aqil mencelupkan tangannya ke dalam air di bawahnya, lalu mengaduk-aduknya dengan liar.
"Memangnya kamu nggak marah?" Tanya bocah itu lagi.
"Hmm... Aku nggak tahu." Aqil berusaha menangkap ikan di dalam air, tapi ikan-ikan itu gesit sekali. "Waktu jariku terpotong, rasanya itu sakit, sakit, sakit banget, deh. Aku aja sampai nangis berhari-hari. Cuma... aku sama sekali nggak tahu harus gimana. Rasanya, aku kayak nggak bisa marah aja gitu pas waktu itu. Aneh banget, ya?"
"Kamu nggak mau gitu, kabur dari rumah?" Bocah itu kembali angkat bicara.
"Eh?" Aqil terkejut. "Tapi aku masih kecil. Mana bisa, lah. Lagian, ibuku sendirian di rumah. Kita udah nggak punya keluarga yang lain. Terus, kalau aku pergi, nanti ibuku sendirian, dong. Aku nggak mau, ah!"
"Lah... Gimana, sih, anak ini." Bocah itu memasang wajah datar.
"Oh, iya, kamu mau nggak jadi temanku?" Tanya Aqil.
"Ah... kau bilang apa barusan?" Wajah bocah itu semakin datar.
"Aku tanya, kamu mau nggak jadi temanku? Soalnya kita, kan, sama-sama bisa jalan di atas air, nih!" Jelas Aqil. "Kita sama-sama ninja!"
"Eh... I-iya, aku mau, kok, jadi temanmu." Jawab bocah itu ragu-ragu.
"Berarti mulai sekarang kita udah jadi teman, kan, ya?" Aqil kembali berlari kesana kemari seperti orang gila. "Ngomong-ngomong, namamu siapa?"
"Panggil saja aku Odin."
"Odin? Namamu aneh banget." Air selalu terciprat tiap kali Aqil melompat, dan Odin terkena cipratan itu beberapa kali. "Ayo lari sama-sama! Ini seru banget, loh!"
"Ah, aku nggak, deh." Kata Odin. "Ngomong-ngomong, kamu bilang-bilang, ya, kalau kamu sudah capek, biar nanti aku antar kamu pulang." Odin memasang seulas senyuman di bibirnya sambil mengamati Aqil yang larut dalam kebahagiaan. "Kau benar-benar sudah berusaha keras kan, Aqil? Aku salut sama kamu. Meskipun kau sudah merasakan kekejaman dunia, kau tetap tersenyum dan berlari. Sungguh anak yang hebat."
"Hahahahaha! Yuhuuu!" Aqil berseru dan terus berlari menyusuri lautan.