Chereads / Ar-Rahman / Chapter 5 - Bab 5 : Takdir diatas takdir

Chapter 5 - Bab 5 : Takdir diatas takdir

=======[Ar-Rahman_اَلرَّحۡمٰنُۙ]=======

‹‹‹«««Limited Story»»»›››

•Eps. 05•

•Judul : Takdir diatas takdir•

[[Gelap]]

•••

"Jika ada suatu pertemuan tak terduga, maka yakinlah, Tuhan sedang merencanakan sesuatu dari pertemuan tersebut." -Mubin-

•••

Siang bergilir malam...

Sebaliknya demikian berputar...

Hari demi hari terus berjalan...

Langkah aktivitas tak tertahan...

Terhempas, seakan cepat, namun pada akhirnya tergantung cara menjalani. Terhitung 2 minggu-an usai pertemuan 'takdir' antara Qorfath dan Lidya selama 15 tahun berpisah, atau tambahan 1 tahun penantian. 

Tidak hanya setahun, tambahan 2 Minggu-pun hanya menambah kegalauan masing-masing hati mereka, yakni kembali berpisah karena ketidak-sejalanan mereka berdua. Terlebih, Lidya lebih dulu kecewa, namun kita juga tak bisa menyalahkan Qorfath 'alasan dibalik keterlambatan-nya. Terlihat bahwa Qorfath lebih santai mengejar Lidya, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Setidaknya, keduanya sudah bertemu walau sekali, sudah menatap satu sama lain, walau akhirnya hilang pergi tanpa kabar masing-masing. Ironi~

Setelah dayuh-dayuh dedaunan...

Angin pagi itu cukup kencang serta dingin.

Menunjukkan...

[[Pukul 06.01]]

~ Slide buram ~

Perlahan terang, tergambarkan suatu keadaan indah dipandang. Bagaimana tidak? Jalanan berkelok tenang sejauh pemandangan indah terbawa pergi, yakni sebuah mobil hitam melaju sedikit lebih cepat mengikuti arus jalan, tampak sepi ketika hijau sawah pemandangan desa hampir saja membekukan fokus pandang mereka jika memang mereka tidak ada keperluan sepagi itu.

Terus sorot lebih dekat...

"Indah banget ya pak pemandangan desa-nya, saya udah lama gak balik ke desa." Seseorang berusaha berat sedang fokus menyetir.

Jika lebih jelas, dari arah kaca depan mobil, sang sopir mengenakan kemeja batik silver, dengan rambut yang tertata sambil menyetir hati-hati 'kemudi' mobil. Lagi-lagi, wajah tak asing itu, dialah Qorfath. Yups, entah sejak kapan, dugaan sejak setahun lalu dia telah bekerja menjadi supir pribadi dari keluarga kaya yang akan kita ketahui setelah ini. Dan sudah ditebak, rasa percaya diri Qorfath saat setahun lalu, memang tercium bau-bau kekayaan:'v

Tergantung pandangan, maka sebelah kiri seorang supir itu dialah lelaki berpakaian formal abu-abu, berdasi hitam. Wajah muda berjenggot tipis tampak berseri-seri tak sabar, dari gelagatnya yang membenahi peci hitam. 

"Bismillah, saya emang bukan anak desa. Justru saya juga suka pemandangan desa seperti ini..." Tanggap lelaki berpakaian formal barusan terhadap sang supir. Berperawakan badan kekar terisi, yakni sosok bernama "Heru Fisabilillah Putra", biasa dipanggil pak Ustadz Heru atau seorang anak takmir masjid Al-Fath dekat pesantren waktu itu. 

Heru bisa disebut baru merintis jalan Ustadz setahun lalu, walau masih muda, namun ingin bersungguh-sungguh dalam berilmu. Terlebih, bersama kedua orangnya yang duduk dibelakang mobil, turut berseri-seri sebagaimana pagi membawa mobil pergi menuju tujuan.

"Gimana Fath? Anak saya udah ganteng belum? Hahahaha?" Celetukan sosok pria 'tua' berjenggot-berpeci yang duduk men-sebelahi seorang ibu-ibu, tiada lain sang istri. Pria yang mulai tumbuh uban barusan adalah pak takmir masjid yang merekrut Qorfath menjadi imam dan sie-takmir setahun lalu. 

Pak takmir masjid ---> punya dua anak, satu laki-laki "Heru Fisabilillah Putra" (Kakak) dan 1 perempuan (Adik) berumur 'selisih 2 tahunan.

"Udah Joss pak!" Acungan jempol Qorfath menanggapi pak takmir.

"Bapak, bikin aku gugup aja..." Kali ini Heru mengibas-ngibas dasi, tersusul pandangan melihat jam tangan kiri.

"Bismillah aja pak, semoga urusannya dilancarkan," ucap Qorfath. 

"Aamiin..." Keseluruhan meng-aamiin-kan bersama.

Kenapa Qorfath menyebut Heru dengan 'Pak'? Padahal perawakan seperti umur mereka sama. Namun, narator membedakan mereka, Heru selisih 5 tahun dari umur Qorfath. Itulah kebenarannya. Namun, ada kebebasan sendiri bagi narator yang menyebut pak Ustadz Heru menjadi Heru saja😆 biar gak tua-tua amat gitu.

"Yah..." Nafas hangat Heru terhembus. -"Kalau dibilang siap, insya Allah siap sih." Melanjutkan, menyeringai tipis.

"Dari anak pesantren ya pak?"

Terlontar pertanyaan Qorfath.

Merespon cepat berupa anggukan. -"Bener, kok kamu tau?" Agak terkejut Heru, disusul 'kekehan kecil.

"Ya, kan denger-denger aja gitu pas di masjid Al-Fath." Raut ekspresi Qorfath tunduk segan, sembari meringis sebentar.

"Pasti bapak nih yang kasih tau jama'ah masjid." Sindiran Heru bersifat 'candaan belaka ketika tatapan menyelidik.

"Iya, emang bapak yang kasih tau."

Cepat menyahut seorang pak takmir memasang ekspresi bahagia.

"Kebiasaan..." Imbuhan oleh Heru senyum-senyum tipis.

"Pesantren mana emang pak?" Kembali Qorfath melanjutkan topik.

"Belum dikasih tau bapak?"

Terbilang beberapa saat senyuman lebar Qorfath menujukan perkataan "Wah, kalau itu saya emang belum dikasih tau info-nya."

"Hmmm..." Sembari melipat bibir rapat-rapat, sekalipun membekas senyuman. -"Dia itu dari pesantren Al-Mubin Akbar." Kejujuran ungkapan Heru.

"Pesantren Al-Mubin Akbar?" Tampak agak syok Qorfath mendengar, seakan hampir saja salah dengar.

"Iyap, bener. Pesantren yang deket sama masjid Al-Fath," lanjut Heru membenarkan.

"Hei!" Tiba-tiba pak takmir menepuk kursi belakang tempat duduk Heru. -"Ceritain dong, gimana kok bisa dikasih tau kalau ada anak santriwati yang siap di ta'aruf. Ibu kamu pengen denger ceritanya sekali lagi." Seraya mendekatkan diri sebelum menjauh.

Terlihat istri pak takmir sekedar senyum-senyum tipis-manis.

"Walah, bapak mulai lagi..." Membuat Heru geleng-geleng.

"Ceritain, ibu pengen denger dari kamu langsung. Kan sebelumnya bapak yang cerita." Sahutan sang istri pak takmir sekaligus ibu kandung Heru.

"Hmm, iya iya." Alhasil Heru mengangguk-angguk. -"Udah tau namanya kan?"

"Udah." Kompak bapak-ibu Heru menjawab.

"Qorfath?" Pertanyaan Heru mengalih pada Qorfath.

Ternyata sedari rasa syok soal nama pesantren itu, maka Qorfath tersentak kali ini.

"Eh? I-Iya pak?" Cengengesan.

"Tau gak nama bidadari-nya?" Heru melanjutkan.

Singkat menggeleng karena Qorfath sibuk menyetir.

"Namanya Nur Salsabila." Sekali nama itu disebut, senyuman simpul Heru melebar.

"Nur? Salsabila?" Menolehkan Qorfath.

"Iyap. Gimana? Namanya udah bisa ditebak dia cantik banget kan? Namanya islami banget dan insya Allah kata bapaknya dia santriwati Sholehah," ucap Heru.

Mulut Qorfath bungkam, pandangan teralihkan depan sambil mengangguk-angguk.

"Emang belum lihat wajahnya pak? Atau..." tanya Qorfath.

"Kalau wajah bidadari-nya belum, kalau wajah bapaknya udah." Mulailah Heru terkekeh-kekeh.

"Owh, berarti cuman ketemu bapaknya Nur ya pak?" 

Menanggapi pertanyaan Qorfath, refleks Heru mengangguk.

"Bener, waktu pagi itu saya ada acara isi kajian ceramah saat ada event khataman Al-Qur'an di pesantren Al-Mubin Akbar setahun lalu. Selesai acara pas sore, saya pulang tuh. Eh, tiba-tiba dicegat sama-sama bapak-bapak, alhasil mulai ngobrol dan bapak itu ngenalin anaknya." Heru memperjelas.

"Tapi kok baru setahun bapak siap berta'aruf sama si Nur?"

"Kalau soal itu, saya emang lagi memantapkan hati dan menyiapkan diri. Soalnya setahun lalu, setelah dikasih tau nama anaknya, saya pergi pulang karena buru-buru. Cuman dapat nomor HP bapaknya sama alamat lengkapnya. Alasan saya baru sekarang sih, jujur aja waktu itu padat urusan ini-itu, yah... Soal urusan keagamaan. Alhasil saya udah lama banget gak ke pesantren Al-Mubin Akbar. Setelah hati mantap, saya baru mulai pengen serius sekarang. Alhamdulillah sempat saya telpon bapaknya, katanya alamat rumah masih sama dan anaknya masih belum dita'aruf atau dijodohkan laki lain. Ya, ini kesempatan saya." Penjelasan Heru.

"Bismillah pak, jangan tegang, hehe."

Cara Qorfath agar obrolan gak serius-serius amat.

"Ya, bismillah!✊" Sekilas tangan kanan Heru mengepal, menunjukkan kesiapan tinggi.

"Doa ibu sama bapak semoga dia emang beneran jodoh kamu dan yang terbaik buat kamu. Aamiin." Sahutan langsung sang ibu.

"Aamiin!" Membuat Heru mengusapi wajah menggunakan kedua telapak tangan. Sangat antusias.

Suasana canggung pelan-pelan cair saat itu, walaupun jeda waktu membisukan mereka faktor lajuan perjalanan. 

Sela-sela diam kebisuan...

Ekspresi Qorfath seperti terserang sesuatu, bahkan sempat menghembuskan nafas berat.

"Kamu kenapa Fath?" Wajar jika Heru lekas bertanya.

"Hmm, gak ada apa-apa pak..." 

Menatap lawan bicara dengan senyuman masam.

"Hayooo! Ada apa itu? Kayaknya lagi kepikiran nih," sosor Heru.

"Dia lagi mikir, kok bisa orang biasa gak ganteng-ganteng amat kayak kamu bisa cepet ketemu calon jodoh." Blak-blakan pak takmir menyahut, cengengesan.

"Paan sih pak! Ssst! Lagi tegang lo ini." Tanggapan Heru.

"Baperan kamu..." 

Lirih pak takmir menatap selidik.

"Jujur aja pak, pas saya denger nama belakang Salsabila, ngingetin saya sama seseorang. Anak santriwati juga. Ya, udah lama emang. Udah lulus sih kayaknya." Begitulah Qorfath mendadak mode 'curhat.

"Anak santriwati? Dari?" Mengejutkan Heru.

"Sama-sama dari pesantren Al-Mubin Akbar. Dia dulu teman saya dari SMK, ya ceritanya panjang sampai saya dan dia kepisah."

"Teman sekelas pas SMK?"

"Bukan pak, beda kelas. Ya, dulu saya emang suka dia. Cuman..."

"Loh? Kan katanya kepisah lama, kok tau kalau dia ada di pesantren Al-Mubin Akbar?"

"Ya, saya udah tau alamatnya udah lama banget pak. Beberapa tahunan, cuman ada kendala waktu itu, jadi saya kesini merantau buat coba ketemu anak santriwati itu sekalian nyari kerja disini. Sempet ketemu waktu itu, tapi kayaknya dia kecewa sama saya pak. Saya juga gak ngerti sampai sekarang. Dan udah setahun dari 2 Minggu ini; sejak ketemu saat itu, sekarang gak tau info soal dia lagi." Intonasi Qorfath terdengar serius.

"Siapa namanya emang? Apa seangkatan sama santriwati yang mau saya ta'aruf? Kalau iya seangkatan pas lulus, kayaknya dia kenal dan tau dimana orang yang kamu ceritain," timpal Heru tengah-tengah keheningan.

"Namanya Lidya Salsabila pak. Kalau seangkatan, saya kurang tau." Jawaban Qorfath.

"Hmmm... Iya juga, nama belakangnya sama. Ya, semoga saya doain cepet ketemu lagi. Sabar aja Fath kalau gitu..." 

"Aamiin. Makasih pak..." Suara Qorfath lirih dengan ekspresi merenung mendekati datar.

"Sabar..." Kali ini Heru menepuk-nepuk pundak supir pribadinya tersebut, mencoba menguatkan.

"Tenang, urusan cewek buat Qorfath bapak bisa carikan kok," sahut pak takmir tiba-tiba.

"Waduh! Bisa aja nih, hahahaha!" Mencairkan kegalauan Qorfath, menjadi tawa bahagia.

"Gitu dong ketawa, harus happy soalnya masih pagi," lanjut pak takmir.

"Insya Allah saya happy😅hufff... Bismillah!" Kekuatan 'happy' Qorfath aktif:v

•••

Memperlihatkan laju mobil hitam lurus melintasi jalanan satu arah, suatu jalan hanya cukup satu jalan-satu kendaraan. Maklum, memang demikian suasana desa, kanan-kiri sejauh pandangan akan terus melihat sawah, sawah, dan sawah. Eits, gak juga😅 beberapa pemandangan asri, apalagi gunung bak fatamorgana terlihat dari samping jalan yang dilintasi oleh mobil hitam tersebut.

[[Pukul 07.30]]

Perjalanan berlangsung setengah jam. Bukan karena lokasi tujuan sangat dekat, faktor jalanan sepi pagi hari agak mempercepat waktu karena mobil bisa full gas. Ya, walaupun lokasi desa itu sekitar beberapa kilometer melewati pesantren Al-Mubin Akbar, yang akan melewati perkampungan --> jalan tikus, persawahan, dan masuk gang menuju desa. Sedangkan, 1 jam waktu tambahan lagi akan segera sampai lokasi tujuan.

Keadaan dalam mobil...

"Tadi udah masuk gapura desa kan?"

Beberapa kali Heru celingak-celinguk memastikan.

"Owh, tadi kan udah pak?" Respon Qorfath meyakinkan.

"Takutnya salah gapura aja, hehe."

Celetukan Heru mengibas-ngibas lengan.

"Tiittt!

Tiittt!

Tiittt!

Bip! Bip!

Spam bunyi tergema pula suara getaran, berasal dari saku bagian kiri Heru. Segera menyelipkan tangan, mengambil sebuah ponsel atas sebuah panggilan tiba-tiba barusan.

"Eh?" Bukan hanya Heru, sedetik saja mengejutkan ibu-bapak Heru.

"..." Tanggapan Qorfath cukup diam, singkat menoleh.

"Wah..." Ekspresi Heru terketuk melihat siapa yang menelpon.

Tanpa berlama-lama, sebentar Heru menoleh arah supir, lalu menempelkan layar ponsel tepat telinga kanan.

"Ya pak? Bentar-bentar pak..." 

Begitulah panggilan senyap berlangsung antara Heru dan orang tersebut.

"Eh? Udah ngelewatin persimpangan kan?" Mulailah Heru agak mendekat, memilih berbisik.

"Ya pak. Tadi barusan beberapa menitan," jawab Qorfath.

"Kalau gitu..." Heru celingak-celinguk. -"Blok A ya pak? Bentar-bentar, rumah kelima setelah persimpangan, pas tepat pos ronda bagian depannya. Okay okayy pak! Kayaknya udah ketemu!" Mengikuti sekaligus mengulang dikte seseorang dalam panggilan.

"Nah!" Ekspresi Heru kian bahagia mengetahui salah satu petunjuk lokasi. 

"Fath! Fath! Ke gang blok A! Yang ada tanda dengan tulisan Blok A itu, terus berhenti di rumah kelima. Depan rumah itu beberapa meter pas arah depan pos ronda." Kali ini Heru mengarahkan Qorfath.

"Siap pak!"

Mengangguk-angguklah Qorfath, patuh.

Beberapa petunjuk telah mobil hitam itu lalui, hingga petunjuk selanjutnya. 

Dep! Menyudahi perjalanan panjang, tiba roda setiap mobil berhenti tepat depan pagar bata putih bertaut agak jauhan dari pagar lainnya, sedangkan jalan tengah ada tanah menuju pekarangan lebar terhias salah satu pohon mangga bagian pojok kanan. Beberapa meter dari posisi pemberhentian mobil, terdapat suatu rumah putih bergenteng tanah tentunya, tidak terlalu besar, hanya rumah satu lantai dengan dinding bagian sebelah adalah tempat sumur. Beberapa meter belakang sumur, terlihat jelas lesehan beratap panjang yang mengurung kumpulan sapi-sapi coklat, putih, maupun campuran. Bisa ditebak sebagai kandang ataupun peternakan sapi. Bahkan, sapi paling besar terlihat lebih dulu oleh penunggu mobil.

"Yang ada sumur, pohon, dan itu sapi ya pak?" Membuat Heru memicingkan mata ketika cepat membuka pintu mobil alias turun.

Dep! Pintu mobil telah Heru tutup, begitupun anggota dalam mobil segera melepaskan sabuk pengaman dan turut beranjak keluar mobil.

"Alhamdulillah deh pak, kalau emang ini rumahnya? Tapi kok pintunya ketutup ya pak? Apa? Masuk aja? Okay pak, segera." Selangkah Heru maju, masih sibuk mengobrol seseorang dalam telepon.

"Ini rumahnya?" tanya pak takmir bersama sang istri berdiri tepat sebelah kanan Heru.

"Iya pak..." Obrolan telepon sengaja dimatikan oleh pihak kedua, maka Heru pun menyelipkan ponsel menuju saku.

Lalu...

"Pak? Mobilnya? Parkir dimana?"

Seruan pertanyaan Qorfath.

"Bawa masuk sampai depan pintu aja Fath." Jawaban Heru.

"Siap pak kalau gitu!👌" Belum lama keluar mobil, alhasil Qorfath kembali membuka pintu untuk menyetir, memasukkan mobil menuju tanah pekarangan lebar tersebut.

[[Gelap]]

•••

Tok!

Tok!

Tok!

Tok!

Fokus oleh tulang punggung telunjuk seseorang pada tengah pintu kayu penuh stiker berbahasa Arab.

"Assalamualaikum..." 

Lebih jelas lagi, dialah Heru posisi paling tengah sekaligus depan. Sedangkan sisi kanan maupun kirinya adalah kedua orang tua Heru menunggu sesekali menoleh memperhatikan.

"Masa iya gak ada orang?" 

Pikiran pak takmir 'menengadah atas, maupun menoleh arah jendela sebesar ukuran dia saat ini.

"Pak! Gak sopan ngintip-ngintip lewat jendela." Sang istri 'menepuk' untuk menegur.

"Ya, ada orang insya Allah. Toh bener alamatnya disini." Bagaimanapun positif thinking tetap prioritas Heru.

Titt!

Titt!

Tiba-tiba terdengar bunyi klakson nyaring mengecoh perhatian sekeluarga yang beberapa menit berdiri menghadap pintu. 

Dep! Yups, ternyata suara itu sengaja Qorfath bunyikan sebagai tanda mobil telah terparkir dengan baik, dekat pohon mangga tentunya. Lalu, dia bergegas turun ketika terlihat salah satu pintu mobil terbuka.

"Gimana pak? Ada orang?" 

Seruan Qorfath memilih berhenti alias berdiri menyenderi pintu mobil yang telah dia tutup, sempat merapikan rambut pada spion mobil tentunya.

"Walaikumsalam..." 

Gema seseorang menjawab salam dari balik pintu.

"Eh?"

Pandangan Heru bersama kedua orang tua kembali teralihkan depan mendengar jawaban salam. Qorfath turut demikian.

Cks! Suara 'celetikan' pintu pertanda akan dibuka. Ya, walaupun pihak rumah tidak memilih mengintip dari jendela, mungkin sudah bisa menebak siapa tamu yang datang.

Alhasil sangat cepat pintu terbuka lebar, memperlihatkan keberadaan seseorang bapak-bapak berpeci menyambut tamu dengan memasang ekspresi antusias bahagia.

"Heru ya?" tanya bapak-bapak itu yang akan kita ketahui siapa dia.

"Bener pak... Bapak itu pak siapa?"

"Aduhh, lupa saya."

Begitulah celetukan Heru usai menepuk dahi ditambah cengengesan.

Namun...

"Loh?" 

Agak terkejut Qorfath melihat bapak-bapak pemilih rumah.

Beralih antara pertemuan keluarga Heru dengan wali keluarga dari seorang anak santriwati yang akan Heru rencanakan untuk ta'aruf.

"Masa lupa? Nama saya gampang loh... Hehehe." 

"Pak Ghofur kan ya pak?"

Kali ini Heru menebak benar, kembali ingat.

"Nah! bener! Wah, kalau gitu ayo masuk." Tangan pak Ghofur melambai meminta para tamu penting masuk kedalam.

"Untung saya ingat, hahaha." 

Sengaja Heru tertawa kecil agar tidak terlalu tegang demi mencairkan suasana.

"Pak Ghofur? Wajah itu juga? Papa-nya..." Seketika dalam lirih ucapan, membuat Qorfath menutup mulut.

"Berarti ini rumah si Lidya? Lidya Salsabila? Eh? Tunggu-tunggu? Kok kata pak Heru nama santriwati itu Nur Salsabila? Apa iya Lidya punya saudara atau kakak? Atau..." Segala pertanyaan diri sendiri membingungkan Qorfath.

"Bentar pak..." Ketika mempersilahkan agar kedua orang tua Heru masuk lebih dulu, sejenak langkah Heru berhenti, memilih menoleh belakang.

"Fath! Ayo duduk depan rumah aja, mau nunggu di mobil sana?" ucap Heru.

Mengejutkan pak Ghofur. -"Fath? Hah?" Segera menoleh arah mobil, menatap jelas sang supir.

"Eh? I-Iya pak! Saya bakal nyusul🙏" 

Betapa tersentaknya Qorfath.

Begitupun pak Ghofur lebih terkejut lagi. -"Wajah ganteng itu lagi?! Loh?! Apa iya? Eh? Heru! Siapa nama supir kamu?"

"Qorfath namanya pak. Supir andalan saya." Enteng Heru memberikan jawaban.

Merubah syok ekspresi pak Ghafur, maka dia membatin "Waduh! Pertanda apa ini, udah kesekian kali ketemu Qorfath! Waduh, waduh." Menggeleng-geleng.

"Kenapa pak?" 

Mengherankan Heru ketika melihat Pak Ghofur begitu lama menatap sang supir, yakni Qorfath.

"Sini!" Tiba-tiba pak Ghofur melambai-lambai, meminta Heru mendekat.

Sementara...

"..." 

Ekspresi muka Qorfath masam pucat, seakan tersambar sesuatu. Hal tidak diharapkan, membawanya pada takdir yang sebenarnya ditetapkan.

Dari kejauhan atau keadaan sebaliknya, sama-sama berjauhan. Mengetahui pak Ghofur berbisik lirih, sengaja Heru sedikit berpaling demi mendekatkan telinga.

"Ada apa pak?" Awal pertanyaan Heru, bersifat wajar.

"Tuh supir sejak kapan ikut kamu?"

Tanya pak Ghofur menatap selidik antara kedua orang tersebut.

"Udah setahun pak. Kenapa emang pak?" Tawa segan Heru terpampang.

"Hmm... Suruh dia diluar, jangan ikut masuk." Permintaan pak Ghofur.

"Loh? Emang daritadi dia saya suruh duduk diluar pak, hehe." Sekali lagi mengimbuh tawa kecil.

"Syukur kalau gitu, dia tau gak kalau kamu mau ta'aruf anak saya?" Bertanya lagi pak Ghofur.

"Emmm... Tau pak, anak bapak si Nur Salsabila kan?" Jawaban Heru.

"Loh? Bukan Nur nama depannya." Langsung pak Ghofur menepuk dahi.

"Tapi, dulu pas ketemuan? Pas saya tanya nama anak bapak, kata bapak namanya Nur Salsabila?" Agak mengejutkan Heru.

"Bukan! Wah! Itu saya salah ngucapin. Kan waktu itu posisi saya gak denger terlalu jelas karena juga lagi ngobrol sama satpam, saya lagi bawa makanan dan saya minta titipkan ke sahabat anak saya yang namanya Nur Salsabila lewat perantara satpam tadi. Nama panjangnya emang gak jauh beda sama nama belakang anak saya." Begitulah penjelasan pak Ghofur.

"Berarti? Nama anak bapak?"

"Ehem!" Sengaja pak Ghofur berdeham, sembari menatap arah Qorfath.

"Lidya Salsabila..." Lalu, berbisik tanpa memindahkan lirikan mata.

"Masya Allah." Hanya takjub bagi Heru mengetahui nama asli anak pak Ghofur yang selama ini dia keliru menyebut nama.

"Sama satu hal lagi! Qorfath itu... Dulu suka sama anak saya dan dia ngejar-ngejar anak saya." Blak-blakan pak Ghofur membongkar.

"Loh?" Terbelalaklah Heru. -"Beneran pak?"

Anggukan yakin dari pak Ghofur, maka dia berkata "Iya udah lama sekali. Dia gak cerita apapun ke kamu nih?"

"Dia tadi barusan cerita, soal Lidya Salsabila pak, cuman saya gak 'ngeh' karena kan saya kira nama anak bapak itu Nur Salsabila. Jadi saya juga baru sadar hari ini, apalagi dia juga cerita kalau yang dia suka yaitu santriwati dari pondok pesantren Al-Mubin Akbar," ucap Heru.

"Nah, kan! Dia masih suka sama anak saya berarti pas posisi kamu mau coba ta'aruf lagi!" Alhasil pak Ghofur bergeleng-geleng.

"Tapi kan udah masa lalu pak? Toh bismillah, semoga anak bapak mau nerima saya." Bagaimanapun Heru tidak bisa menyalahkan Qorfath atau terpancing emosi.

"Harus nerima!" Refleks emosi membuat suara pak Ghofur agak keras. 

"Ngomong apaan sih? Bilang aja gibahin gue..." Ekspresi Qorfath berubah datar, masih menunggu dekat mobil.

"Ehem! Pokoknya Lidya harus jauh dari supir itu! Kalau bisa, setelah anak saya nerima kamu, kamu pecat supir itu dan ganti supir lain. Untuk hari ini, dia cuman boleh nunggu didepan!" Bisikan pak Ghofur berlanjut.

"Waduh!" Sebuah pilihan sulit bagi Heru ketika diminta memecat supir andalannya. 

"Kok jadi gini sih?" batin Heru penuh tanda tanya.

Sedangkan, terlihat kedua orang tua Heru telah duduk pada salah satu kursi sofa panjang ruang tamu. Mereka pun menunggu-nunggu tentang obrolan anaknya dengan calon mertua 'trial'.😆

"Ngomong apaan ya mereka?" tanya pak takmir. 

"Entah..." Sama bingungnya, sekedar mengangkat kedua bahu sang istri.

"Kalau gitu, buruan masuk!" Kali ini lebih dulu pak Ghofur melangkah.

"Siap pak, bentar..." Sebelum melanjutkan langkah, Heru berbalik sebentar. 

"Fath! Tunggu depan sini!" 

"Eh? Siap pak! Siap!"

Sigap Qorfath merespon sang tuan.

"Bismillah..." Hembusan nafas Qorfath terhembus, harus menyiapkan mental kuat. Terlebih dimulai dari cara dia mengusapi dada sejenak.

•••

Salah satu jalan masuk menuju kamar selanjutnya, terbatasi oleh tirai samar hijau agak tebal penghubung ruang tamu dan ruang keluarga. 

Nggikk...

Seorang wanita bertubuh ideal dewasa itu keluar dari bilik pintu agak buru-buru, sudah mengenakan pakaian gamis rapi hijau, terutama hijab putih bersih.

Setelah dia menutup pintu, memilih berdiri beberapa meter dari hamparan tirai, bayangan lenggokkan tubuhnya terlihat dari luar ruangan tamu walaupun tak disadari si wanita tersebut yang tiada lain adalah Lidya Salsabila.

Hanya saja, rupanya Heru tak sengaja melihat sosok dibalik tirai yang dia ketahui adalah anak pak Ghofur. Senyuman tipis langsung menghiasi ekspresi Heru. Yups, Heru duduk pada kursi tempat dimana kedua orang tuanya duduk. Posisi Heru paling kiri, menyebelahi sang ibu. Tentu, menghadap pak Ghofur yang duduk di kursi sofa paling tengah diantara posisi petak "L" kebawah.

"Hehehe..." Tawa kecil pak Ghofur mulai segan ketika menghadap langsung kedua orang tua Heru.

Sesekali pandangan pak Ghofur terbagi arah jendela tepat dekat sofa. Kenapa demikian? Karena seseorang laki-laki duduk di kursi kayu luar ruangan dalam keadaan menyenderi kaca jendela. Apalagi jika seseorang laki-laki itu adalah Qorfath, antara jengkel dan khawatir menyelimuti perasaan pak Ghofur.

"Tuh anak gak kapok-kapok. Biar dia kapok, saya harus buat mental dia jadi mental breakdance!" Rencana batin pak Ghofur kepada Qorfath.

"Ehem! Lidya! Jangan lupa siapin minumannya. Nanti bapak panggil lagi," seru pak Ghofur menyentak Qorfath.

Sama halnya dengan Lidya yang tersentak dan segera bergegas pergi menuju dapur, alhasil bayangan 'lenggokkan' tubuhnya hilang dari pantauan Heru.

"Beneran Lidya?! ..." batin Qorfath terserang hal mengejutkan.

"Nah! Pak ustadz Heru, atau yang saya akrab nyebut dia Heru saja, hehe. Monggo, apa tujuan kamu kesini? Biar pembicaraan kita lebih jelas." Dimulailah pembicaraan oleh pak Ghofur lebih dulu.

"Ehem!" Deham tegang Heru, mengusapi dasi sekaligus mengencangkannya.

"Assalamualaikum semua... Selamat siang, buat pak Ghofur. Terima kasih udah ngundang kami dan memberitahukan saya soal anak bapak yang bernama Lidya Salsabila yang rencana ingin saya ta'aruf." Pembukaan oleh Heru.

"Lidya." Sangat diluar dugaan. Terlebih sang tuan ternyata akan berta'aruf dengan Lidya yang pernah dia sukai, atau bahkan masih Qorfath sukai.

Srek! Tangan kanan Qorfath menyelip menuju saku, lalu mengeluarkan lipatan kertas yang perlahan dia buka. Kertas mana lagi jika bukan kertas lusuh bertuliskan "Ar-Rahman".

Sementara...

Drap!

Drap!

Drap!

Langkah cepat seorang wanita (Lidya) bergamis rapi, berjalan menuju depan tirai sambil membawa wadah taplak penuh gelas-gelas minuman, yakni teh hangat.

"Jadi, saya mohon kepada bapak, apakah saya boleh lihat anak bapak lebih dulu agar semakin kuat untuk berkenalan nantinya. Insya Allah saya siap." Lanjutan sepatah kata Heru.

"Oohh! Tentu boleh!" Antusias intonasi suara pak Ghofur terdengar bahagia.

"Ehem!"

Tiba-tiba suara deham Lidya mengejutkan pak Ghofur.

"Eh?" Juga mengejutkan Heru karena dia kembali melihat bayangan Lidya dari balik tirai.

"Ssstt! Pah!" Bisikan panggilan Lidya.

Kedua orang tua Heru saling bertatapan heran.

"Ssst pah! Sini!" Terus berdisis memanggil dari Lidya.

"Hehehe..." Mendadak pak Ghofur cengengesan. -"Bentar-bentar ya..." Mulai berdiri, mendekatkan diri pada tirai.

"Ada apa?" Sangat lirih pak Ghofur bertanya.

"Tes hafalannya pah! Percuma ustadz kalau hafalan dan makhrojul huruf bacaannya berantakan. Kan udah Lidya bilang, ada syaratnya kalau mau ta'aruf Lidya, harus hafal ayat-ayat Al-Qur'an." Begitulah permintaan Lidya.

"Waduh! Kok sulit gitu? Kalau suaranya jelek gimana? Kamu tolak? Kan kita udah pernah bicarain ini Lid. Gara-gara syarat gitu, udah banyak yang milih nyerah dan gak jadi ta'aruf kamu!" Berbagai pertanyaan lirih pak Ghofur.

"Jelas Lidya tolak! Ngapain juga nerima ustadz yang bacaannya jelek, dan hafalannya sedikit. Tanyain, dia udah hafal berapa juz. Target Lidya 30 juz, minim juz 30." Lanjutan permintaan 'berat' dari Lidya.

"Aduh! Lid! Jangan aneh-aneh toh, ini papah juga untung-untungan ketemu ustadz waktu itu. Yang lainnya rata-rata yang mau ngelamar kamu itu anak preman! Bapak gak mau. Jadi nanti diterima aja ya apapun hasilnya dari pak ustadz Heru." 

"Bodo amat! Kan Lidya yang mau di ta'aruf, kok papa ribet?"

"Ya, tapi jangan ada syarat yang gak semua orang bisa."

"Kan dia ustadz? Harusnya jago dan bisa dong. Makannya papah buruan tanya! Terus kalau dia bilang hafal 30 juz, suruh dia baca surah Ar-Rahman sampai habis. Lidya pengen nanti surah itu jadi mahar nikah! Nanti Lidya yang nilai cara dia baca udah pas apa gak. Syarat kalau mau lihat Lidya dan diterima, dia harus ikutin syarat soal hafalan dan bacaan Al-Qur'an tadi! Cepet papah bilang!"

"Aduh!  Iya! Iya!" Membuat pak Ghofur kepanikan sendiri.

Memang fakta? wanita selalu benar:v

"Eh? Nungguin ya? Hehehe..." Gelagat pak Ghofur agak gak enak ketika menjauhkan diri dari tirai, memilih duduk kembali.

"Ya, gak papa pak... Jadi, gimana pak? Tadi? Maaf, anak bapak ngomong apa?" Intonasi segan ketika Heru bertanya demikian.

"Hmm... Begini..." Nafas berat pak Ghofur terhembus. Ekspresinya pun agak melas.

"Lidya anak saya ngajukan syarat," lanjut pak Ghofur.

"Syarat?" Menyentak Heru.

Sedangkan sekali lagi kedua orang tua Heru saling bertatapan.

"Wah, kalau syaratnya berat gimana nih? Tapi bismillah, palingan suruh bacain surah. Insya Allah siap! Semoga surah-surah itu gak lupa nanti pas dibaca, tiba-tiba jadi tegang gini! Apalagi ada beberapa surah yang baru-baru ini saya hafal, kayak Ar-Rahman. Jadi panik sendiri! Bismillah! Kalau semisal gak hafalan dan cuman tes bacaan, untung bawa Al-Qur'an ukuran saku didalam peci. Atau Al-Qur'an dari pihak keluarga? Wah! Harus siap nih!" Keluhan batin Heru, merasa tegang.

"Syaratnya apa ya pak?" Imbuh tawa kecil usai Heru bertanya.

"Syaratnya..." Lirikan mata pak Ghofur mengarah tirai.

Posisi Lidya diam menyimak dari balik tirai.

"Syaratnya, yaitu yang mau ta'aruf anak saya, terutama khusus pak ustadz atau anak santri lain, yaitu harus hafal 30 juz kitab suci Al-Qur'an, dan minim hafalan juz 30. Dan kalau emang hafal sebagian surah-surah panjang, diminta baca surah Ar-Rahman sampai habis, lengkap dengan makroj, tajwid, dan bacaan yang benar. Selebihnya, keputusan akan ditentukan anak saya setelah itu." Tanpa berlama-lama, segera pak Ghofur menyebutkan banyak syarat.

"Masya Allah..." Ucapan 'luar' Heru. -"Astagfirullah, Ar-Rahman kan masih belum hafal-hafal amat. Bismillah, pokoknya Alhamdulilah udah hafal separuh ayat." Membatin.

"Kalau separuh ayat Ar-Rahman?"

Ajuan pertanyaan oleh Heru.

Sempat pak Ghofur tersentak, lalu menoleh arah tirai, memperlihatkan Lidya mengangguk kecil.

"Ehem! Ya boleh gak papa," ucap Pak Ghofur mempersilahkan.

Senyuman tipis Heru terpancar...

"Ar-Rahman?" Fokus mata Qorfath lama tertuju arah kertas pada telapak tangan kanan.

"Langsung dimulai ya pak?"

Menanggapi pertanyaan Heru, menganggukan pak Ghofur sambil berkata "Silahkan dimulai! Ya, dimulai hari ini gak papa."

"Siap pak. Ehem! Bismillah..."

Nafas 'siap' Heru terhembus. Ekspresi merenung yakin.

Mendadak momen tenang berubah sedikit menegangkan. Bagaimana tidak? Hari ini adalah keputusan dari Lidya mau menerima atau tidak berdasarkan syarat yang harus dilaksanakan untuk pembuktian 'kepada pihak laki-laki.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Bismillahirrahmanirrahim..."

Memang intonasi Heru pada nada awal pembukaan surah terdengar merdu.

اَلرَّحۡمٰنُۙ

"Ar Rahmaan."

1. (Allah) Yang Maha Pengasih,

عَلَّمَ الۡقُرۡاٰنَؕ

''Allamal Qur'an."

2. Yang telah mengajarkan Al-Qur'an.

خَلَقَ الۡاِنۡسَانَۙ

"Khalaqal insaan."

3. Dia menciptakan manusia,

عَلَّمَهُ الۡبَيَانَ

"'Allamalhul bayaan."

4. mengajarnya pandai berbicara.

اَلشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ

"Ashshamsu walqamaru bihusbaan."

5. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan,

وَّالنَّجۡمُ وَالشَّجَرُ يَسۡجُدٰنِ

"Wannajmu washshajaru yasjudan."

6. dan tumbuh-tumbuhan [atau bintang-bintang] dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).

وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الۡمِيۡزَانَۙ

"Wassamaaa'a rafa'ahaa wa wada'al Miizan."

7. Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan,

اَلَّا تَطۡغَوۡا فِى الۡمِيۡزَانِ

"Allaa tatghaw fil miizaan."

8. agar kamu jangan merusak keseimbangan itu,

وَاَقِيۡمُوا الۡوَزۡنَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُوا الۡمِيۡزَانَ

"Wa aqiimul wazna bilqisti wa laa tukhsirul miizaan."

9. dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.

وَالۡاَرۡضَ وَضَعَهَا لِلۡاَنَامِۙ

"Wal arda wada'ahaa lilanaam."

10. Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya),

فِيۡهَا فَاكِهَةٌ ۖ ۙ وَّالنَّخۡلُ ذَاتُ الۡاَكۡمَامِ‌

"Fiihaa faakihatunw wan nakhlu zaatul akmaam."

11. di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang,

وَالۡحَبُّ ذُو الۡعَصۡفِ وَالرَّيۡحَانُ‌ۚ

"Walhabbu zul 'asfi war Raihaanu."

12. dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

13. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Sejauh ini suasana hening tenang dan sejauh ini bacaan Heru berlangsung lancar.

Terlihat, Lidya menyimak diam, bahkan setiap orang pun menyimak bacaan tersebut.

Akan tetapi...

Mata Heru terbuka lebar...

Sedikit lama diam...

Mengherankan setiap orang.

"Khalaqal insaana wa na'lamu ma tuwas wisu bihi nafsuh." Melanjutkan bacaan.

"Eh?!" Langsung Heru terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Dia salah membaca hafalan, malah membaca potongan surah Qaf ayat 16.

"Eh?"

Mengejutkan Qorfath.

"Wah, pake acara salah lagi!" batin pak Ghofur mulai cemas.

"Ehem!" 

بِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

13. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Usai berdeham, sengaja Heru mengulang dari ayat 13 agar lebih menguatkan ingatan bacaan selanjutnya.

Namun...

Tetap saja, seakan ingatan Heru menjadi blank. Faktor tegang? Bisa jadi demikian.

خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ كَالۡفَخَّارِۙ

"Khalaqal insaana min salsaalin kalfakhkhaari."

14. Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,

Tiba-tiba seseorang selain Heru menyahut. Pak Ghofur? Bukan! Suara tersebut dari arah luar ruangan. Jelas-jelas cara Qorfath melafalkan bacaan lanjutan.

"Qorfath?" Menyentak Heru secara lirih.

"Suaranya kok jadi beda?" Lidya pun merasakan hal janggal.

"Anak itu lagi!" Rasa geram batin pak Ghofur mengepalkan kedua tangan.

"Ehem! Bismillah..." Ucapan 'ke-siapan' Heru usai mendapatkan bantuan langsung dari Qorfath.

خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ كَالۡفَخَّارِۙ

"Khalaqal insaana min salsaalin kalfakhkhaari."

14. Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,

Alhasil, Heru kembali melanjutkan bacaan yang mendadak sudah dia ingat.

وَخَلَقَ الۡجَآنَّ مِنۡ مَّارِجٍ مِّنۡ نَّارٍ‌ۚ

"Wa khalaqal jaaan mim maarijim min naar."

15. dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

16. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

رَبُّ الۡمَشۡرِقَيۡنِ وَ رَبُّ الۡمَغۡرِبَيۡنِ‌ۚ

"Rabbul mashriqayni wa Rabbul maghribayni."

17. Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat.

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

18. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? 

"Ma-ma-marajal bahrayni, eh! Bahraynis? Ma-marajal bahrayni yaituh, eh! yalta qiyaani." 

Tengah-tengah hafalan, malah berubah kacau. Terlebih bacaan Heru mulai terbata-bata.

مَرَجَ الۡبَحۡرَيۡنِ يَلۡتَقِيٰنِۙ

"Marajal bahrayni yalta qiyaani."

19. Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu,

Refleks Qorfath melanjutkan hafalan, membantu Heru kesekian kali.

Semakin membuat Lidya terkejut. -"Bacaannya beda dari suara tadi? Kayak ada orang lain yang bantu dari luar ruangan," batin Lidya bertanya-tanya.

Usai dibantu Qorfath, membuat Heru diam bungkam, sedikit tercucur keringat. Membagi pandangan antara pak Ghofur dengan kedua orangtuanya.

"Siapa yang bantu kamu?"

Sigap pertanyaan Lidya terlontar lembut.

"Eh? E-em..." Gelagat Heru terbaca grogi maupun gugup.

"Ini papah yang bantu." Bagaimanapun, kebohongan pak Ghofur terdengar konyol.

"Bukan papah, suaranya dari luar kedengarannya," timpal Lidya.

"Maaf sebelumnya pak, dan kepada Lidya selaku anak bapak Ghofur🙏 izinkan saya mengulang hafalan lagi, karena tadi saya masih gugup." Ekspresi Heru terpampang masam.

"Tentu bo—"

"Gak!"

Lebih dulu Lidya memotong ucapan sang papa.

"Cukup satu kali percobaan. Kalau dari awal gak hafal dan hafalan masih lemah, mending jangan paksain. Suruh orang yang diluar itu masuk kedalam, bacain surah yang sama, yaitu Ar-Rahman walau setengah ayat." Ucapan Lidya.

"Lid?" Dalam hati Qorfath sangat terkejut. Dia terbelalak syok.

"Maaf!" Rasa jengkel membuat Heru berdiri, sempat mengepalkan kedua tangan sebelum merenggang.

Refleks membuat kedua orangtua Heru serta pak Ghofur bersamaan berdiri. Qorfath? Dia masih duduk, hanya saja tanpa menoleh sekalipun mendengar nada emosi sang tuan.

"Saya yang mau berta'aruf sama Lidya Salsabila! Bukan supir saya!" Heru mempertegas.

"Tapi, ada yang bantu kamu? Berarti dia lebih bisa dalam hafalan dan bacaan," sahut Lidya.

"Gak! Kalau gitu, izinkan saya mengulang bacaan!" 

"Untuk apa? Kamu gak memenuhi syarat." Kekeuh Lidya menolak mentah-mentah permintaan Heru.

"Apa alasannya nolak gitu saja? Saya bisa bacaan surah lain!" Mengherankan Heru.

"Saya dari dulu pengen ada seorang laki-laki bacain saya hafalan surah Ar-Rahman secara lancar tanpa ada salah atau terbata-bata, saya pengen itu jadi mahar nikah nanti. Saya sudah tau dari awal bacaan kamu itu masih lemah, belum sepenuhnya hafal. Cuman sekali kesempatan. Maka, saya sangat yakin menolak kamu. Biarin laki-laki depan sana, masuk kedalam." Sepatah kata langsung dari Lidya.

"Ergh!" Pandangan Heru berpaling kesal.

"Hehe. Sabar pak, masih ada kesempatan!" Pak Ghofur berusaha mencairkan keadaan. Dia juga tidak mau sang ustadz ditolak begitu saja.

"Astagfirullah..." Ketika menoleh, kedua mata Heru terpejam, berusaha sabar.

"Pak, kayaknya bukan takdir saya." Senyuman tabah menghiasi ekspresi Heru sambil membuka mata, walaupun sudah jelas merasa kecewa.

"Loh! Jangan nyerah gitu aja!"

Ketus pak Ghofur.

"Papah jangan nahan! Kalau Lidya nolak, ya dia harus nerima dengan ikhlas." Seruan Lidya dari balik tirai.

"Tapi, ya kasih minuman dulu nih tamu-nya! Kamu coba keluar, lihat tamu-nya yang ganteng ini." 

"Gak! Papah jangan coba maksa Lidya ya. Kalau Lidya keluar, otomatis Lidya dilihat sama laki-laki bukan mahram. Karena dia udah ditolak, Lidya pun juga nolak buat hadir didepan dia." Keputusan teguh seorang Lidya.

"Kalau gitu, saya pergi pak! Assalamualaikum..." Tanpa basa-basi, langkah cepat Heru beranjak pergi akibat marah besar.

"Heru! Tunggu!" Disusul langkah pak takmir selaku bapak.

"Nak!"

Ibu kandung Heru berjalan mengejar.

"Walaikumsalam... Waduh! Kok jadi gini?!" Rasa panik pak Ghofur bergejolak.

Drap!

Drap!

Drap!

Langkah Heru mencapai batas pintu ruangan, memilih berhenti seketika demi mengarahkan pandangan sinis kepada Qorfath.

"Eh? Pak?" Tawa segan Qorfath terseruak, mulai berdiri menyambut.

"Kembali balik nyetir mobil!"

Kalimat perintah Heru melanjutkan langkah cepat menuju mobil.

"Siap pak!" 

Segera Qorfath berlari kecil mendekati lokasi parkir.

"Gimana nih pak? Ditolak gitu e!"

Keluh istri pak takmir.

"Sudah takdir, ceweknya ribet. Udah gak usah dipikirin!" tanggap pak takmir.

Kedua ibu-bapak Heru pun berjalan menyusul kepergian anak semata wayang.

Sementara...

Posisi pak Ghofur berdiri dekat pintu melihat keseluruhan tamu telah memasuki mobil.

"Wah! Pada pulang semua! Waduh! Waduh! Kacau-balau!" Masih panik bukan main.

"Pah..."

Tiba-tiba Lidya lembut memanggil.

"Haaahhh... Apa?!" Intonasi tegas pak Ghofur terpengaruh emosi.

"Papah marah?" 

"Bukan marah, lebih ke kecewa! Itu ustadz loh Lid! Kok ditolak?!"

"Siapa nama supirnya tadi pah?"

Enggan peduli, Lidya hanya bertanya hal yang menurutnya penting.

Sejenak pak Ghofur diam...

"Bodo amat! Papah gak tau!" ketusnya berkedok tidak mengetahui.

Srek! Tirai terkesibak oleh pundak Lidya yang memilih berjalan menuju depan.

"Lidya pengen supir itu yang ta'aruf Lidya. Lidya pikir, hafalannya bagus." Spontan kejujuran Lidya terucap.

Kedua mata pak Ghofur terbelalak...

"Papah punya telepon si ustadz Heru?" tanya Lidya usai menaruh 'telenan' ataupun wadah khusus gelas-gelas minuman tepat atas meja ruang tamu.

"Iya punya! Emang kenapa?" Sosoran Pak Ghofur. -"Mau minta dia balik?"

"Gak! Itupun kalau papa nurutin Lidya. Lidya minta ke papa supaya telepon atau chat pak ustadz Heru supaya supir tadi diminta datang kesini." 

"Ngapain? Jangan konyol kamu!"

"Terserah papa, ya kalau gitu... Lidya bakal tolak setiap ta'aruf dari orang-orang pilihan papa kecuali pilihan Lidya tadi."

"Kalau pilihan kamu soal supir tadi juga gak sesuai syarat kamu?"

"Ya, Lidya tolak juga. Gampang kan? Terus Lidya tolak siapapun itu sampai syaratnya sesuai."

Tak lama Lidya berbalik, menyingkap tirai, lalu berjalan masuk kedalam.

Tengah keheningan, pak Ghofur memilih diam. -"Masa iya minta Qorfath kesini?! Astagfirullah! Aneh-aneh ae kamu Lid!" Menepuk dahi.

Brrmmm!

Suara mesin mobil menyala jelas.

Menolehkan perhatian pak Ghofur, melihat mobil hitam itu berlalu pergi dan hilang tertelan belokan jalan.

"Saya udah tua gini. Sampai kapan Lidya belum ketemu jodohnya?! Kalau emang Qorfath sesuai? Mau gak mau saya setuju demi Lidya! Tapi, harus dipertimbangkan lagi." Ekspresi pak Ghofur tertekuk tatkala membatin. 

Bersambung...