Chereads / Ar-Rahman / Chapter 7 - Bab 7 : Cinta dalam doa [[End]]

Chapter 7 - Bab 7 : Cinta dalam doa [[End]]

=======[Ar-Rahman_اَلرَّحۡمٰنُۙ]=======

‹‹‹«««Limited Story»»»›››

•Eps. 07•

•Judul : Cinta dalam doa•

Dalam realita, tidak semudah bayangan maupun angan-angan seseorang, jika dipikir kembali, seandainya tak ada perubahan pada Qorfath beberapa tahun ketika dia masih SMK, akankah penantian dan jawaban terbaik dia dapatkan sebagaimana sekarang ini? Hari esok memang misteri, bahkan terlalu banyak hal mengejutkan atas hari-hari diluar ekspektasi. Sama seperti pengalaman Qorfath tadi, sebuah kebenaran bahwa istiqomah membukakan sebuah jalan, yakni kemudahan dan jalan keluar. Pada akhirnya, hati itu tau kepada siapa kembali? Ya, pada akhirnya tidak ada cinta yang mati, yang ada hanya cinta itu terealisasi setelah erat terkunci.👌 Bukan cinta dalam angan-angan, 

Tetapi...

"Cinta dalam doa."

-Mubin-

Doa sebagai harapan dan perubahan,

Doa sebagai pengungkapan...

Dialah Allah sang pengabul doa ~

[[Gelap]]

••• 

[[Pukul 08.25]]

Sehari seakan berpuluh-puluh jam;v yups, memakan waktu 24 jam dari pagi tadi bahwa sekarang menunjukkan pukul 08.25. 

Deskripsi singkat gambaran pagi tengah-tengah, yakni matahari tak terlalu terik, juga tak terlalu panas, tengah-tengah antara kedua hal tadi, yakni hangat dengan bayang-bayang pepohonan tak menjulang panjang selain rindang remang-remang. 

Mari fokus, pada keadaan mobil hitam menyebelahi mobil truk kuning penuh desain gravity tersebut, beberapa meter saja dari arah kiri mobil hitam. Bahkan, arah sebaliknya demikian. Lebih dekat, seseorang bapak-bapak tak terlalu tinggi berpakaian kemeja bersaku warna kuning mentah dengan celana kedodoran hitam yang bagian bawah dia lipat separuh; sedang berdiri tepat pintu kiri mobil truk menghadap seseorang berpakaian formal turut berdiri menghadap beliau, ber-keadaan membelakangi mobil hitam. 

Grrrmmm!

Brrmmm!

"Alhamdulillah! Nyala pak!"

Acungan jempol terlihat dari batas body atas mobil, tangan menjulur keluar sebentar ketika dia alias Qorfath mencoba menyalakan mesin mobil; duduk pada posisi khusus supir.

"Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah." Bebarengan ucapan syukur kedua orang tua Heru sedang duduk dibagian kursi belakang mobil.

"Mantap! Alhamdulillah!"

Sangat cepat kedua tangan Heru terangkat melebihi batas pandangan, bersyukur bahagia.

"Alhamdulillah..."

Lirih oleh bapak-bapak berkemeja kuning mentah tadi, tersenyum kecil.

"Fath! Coba jalanin mobilnya mundur dan maju sebentar." Maka Heru menoleh, memerintah.

"Siap pak!"

Tanggapan Qorfath memutar-mutar setir bermaksud memundurkan mobil.

Benar saja, keadaan mesin mobil membaik usai beberapa menit perbaikan tatkala seorang supir truk tadi datang beberapa jam dari jam perkiraan akibat kendala-kendala kecil. Berkat joki mesin sang supir truk utusan pak Ghofur, terlihat mobil hitam Heru yang dikendarai oleh Qorfath saat ini berjalan maju maupun mundur, berarti telah berfungsi dengan cukup baik. Alhamdulillah.

"Alhamdulillah! Udah ready nih pak mobilnya! Aman!" 

Dari kaca depan mobil setengah terbuka bagian kiri tepat belakang Heru tersebut, terpantul seruan jelas Qorfath berintonasi bahagia.

"Alhamdulillah! Alhamdulillah! Okay Fath!👌" Tentu Heru merespon bahagia pula.

"Kalau gitu..." Sesegera mungkin Heru berpaling depan sambil membiarkan tangan kiri menyelip pelan menuju saku, lalu menggenggam sesuatu ketika menariknya.

"Ini pak!"

Tanpa berlama-lama, Heru menarik tangan kanan supir truk tadi, membaliknya, lalu tangannya menepuk telapak tangan sang supir, memberikan gulungan merah cukup tebal.

"Loh apa ini pak?" Pertanyaan pak supir sebelum mengetahui bahwa uang diatas telapak juluran tangan kanan itu ialah kelima lembar uang merah yang merenggang jelas.

"Buat bapak, udah bantuin mobil saya tadi, padahal bapak juga ada urusan lain. Terima kasih loh pak!" 

"Wah, beneran nih pak? Toh saya bantu sebisanya aja." Rasa segan seorang supir truk masih membiarkan tangan kanan menjulur.

"Justru saya terima kasih banyak pak, ya Alhamdulilah terbantu berkat bapak tadi." Selangkah mundur Heru.

"Siap pak! Terima kasih sekali lagi pak!" Hanya banyak ucapan terima kasih dari sang supir, menunduk-angguk hormat.

"Kalau gitu... Saya kembali dulu pak ke tujuan saya," ucap supir truk tadi.

"Siap pak! Saya juga mau balik nih, makasih loh pak! Hati-hati pak!" Usai mengangguk kecil, mulailah Heru berpaling meski menoleh merespon lawan bicara.

Sekedar senyum-senyum tipis, segera supir truk tadi menjinjit untuk membuka pintu 'kepala' mobil bagian kanan, tentu dia tutup kembali.

Brrrmmmm!

Jrzzzzz!

Gebuhan nyaring suara mesin mobil menyala, bersamaan antara mobil hitam milik Heru serta mobil truk. Jelas sudah Heru sekarang duduk 'anteng' menyebelahi Qorfath.

"Yoo! Balik dulu pak!" 

Dari kaca setengah terbuka bagian kiri, tangan kiri Heru terulur keluar melambai-lambai.

"Siap pak!"

Sekilas terlihat wajah supir truk barusan. Kenapa demikian? Hanya mengganguk dan kaca mobil menutup 'menjadi batas.

Ngggrrrnnn!

Brrrmmmmmm!

Kedua jenis mobil berbeda ukuran berputar arah secara silang, pandangan mereka juga teralihkan beda arah. 

Lalu, lebih dulu mobil truk melaju melewati, mengikuti belokan jalan tentu-nya. Berbeda dengan tujuan mobil Heru, yakni putar arah dari kediaman awal mogok mobil; menuju arah belakang berniat menemui lokasi desa pak Ghofur. 

"Ini langsung kemana pak?"

"Azhsk! Pura-pura gak tau kamu😂" 

Begitulah tanggapan Heru atas pertanyaan Qorfath, langsung membuat Qorfath tersenyum lebar memperlihatkan gigi-gigi rapi-nya.

"Ya, tentu ke rumah pak Ghofur, mumpung tadi kita sudah sarapan dan bensin mobil masih banyak. Jadi ya, insya Allah bisa sampai ke lokasi kalau gak macet seperti kemarin." Heru memperjelas.

"Si-Siap pak! Bismillah..." 

Bagaimanapun rasa tak enak sebenarnya masih menyelimuti Qorfath. Tapi, apa boleh buat? Menolak pun percuma, berdebat juga bukan cara utama.

Nggrrrmmm!

Mesin mobil bekerja dengan baik, terbukti dari kecepatan laju dan suara garang mesin menandakan perjalanan akan berlangsung baik-baik saja kecuali jika macet akan melanda:v bisa-bisa mogok lagi, nauzubillah 🤣

Sorotan perlahan menjauh, mengikuti perjalanan mobil beberapa meter dari atas; walaupun alhasil mobil hilang termakan jarak setelah menuju belokan diantara perumahan-perumahan.

••• 

[[Gelap]]

•••

[[Pukul 10.45]]

Bukan selang setengah jam malah, menjelang siang, barulah tampak sepi jalanan panjang menuju desa dengan bayang-bayang sepanjang aspal diantara sorotan kanan-kiri berupa sawah hijau segar;sedikit petani mengelilingi ladang padi subur tersebut. Lalu, berlalu dengan kecepatan terbilang 'lumayan', yakni mobil hitam mengikuti arus jalan, melaju dengan teduh diatas daun-daun pohon mekar tak saling bersentuhan sepanjang jalan. Jujur, saja bukan sepi kelontang, masih ada beberapa kendaraan melewati. Walaupun, tidak sering.

Alasan kenapa perjalanan bisa sampai menjelang siang seperti itu? Mari ikuti lebih dekat; suasana perbedaan dari arah kaca depan mobil dalam keadaan tetap melaju dengan tanda-tanda tujuan terlewatkan, pertanda mulai mendekati lokasi. 

"Waduh, saya gak enak sendiri nih pak, hehe." 

Sahutan Qorfath, sekarang sedang menempati posisi khusus tuan pada kursi mobil. Sedangkan, kursi khusus supir telah Heru bajak secara mutlak.

Alasan Heru tiada lain adalah "Sudah, gak papa Fath. Kan saya jadi wali kamu sekarang, jadi biar saya yang gantiin nyetir mobil." Sekilas menoleh.

Wajib mengetahui pula keadaan kedua orang tua Heru belakang mobil, posisi mereka masih 'sama'. Hanya saja mereka 'terlelap lepas' oleh lama perjalanan.

"Segitunya pak, saya jadi sungkan."

Tetap saja bagi Qorfath seakan tidak sopan membiarkan tuannya menyetir selain dirinya seorang.

"Kan kamu udah nyetir separuh perjalanan tadi? Huff, untung aja Fath, kita gak kena razia di jalan yang sama. Ya, untung aja kita cepet-cepet tanya orang tadi, akses jalan paling cepet buat putar arah, walaupun gak cepet-cepet amat, tapi gak papa. Sekalipun tadi memakan waktu gara-gara nyari jalan baru, tapi Alhamdulilah, ada aja kemudahan dan jalan hingga kita hampir sampai ke lokasi nih," jelas Heru.

Terungkap sudah alasan sebuah perjalanan mereka tak semudah ekspetasi kesekian kali. 

"Bener pak, walaupun tadi perjalanan emang ketunda sama pemberhentian batasan rel kereta api pertigaan jalan raya baru, sekaligus permintaan bapak yang ngajak kita sarapan pagi sebentar di warung dekat SPBU." Kali ini giliran Qorfath memperjelas.

"Nah bener! Pas selesai makan tuh! Saya masih ingat Fath, bensin udah sisa separuh aja dan pas mau ngisi bensin di SPBU, astagfirullah antrian kendaraan panjang banget. Hah... Bener-bener capek, beneran." Sahutan Heru menggeleng heran.

"Ya gitulah pak, kadang kita kira bakal mudah, padahal banyak ujian, terutama dari awal perjalanan ini."

"Bener, gak biasanya loh saya dapat kejadian gini, apalagi perjalanan-perjalanan penting. Cuman, hari ini aja nih! Seakan saya di-uji habis-habisan 🤣." Tawa kecil Heru menggema.

"Sabar aja pak, insya Allah ada hikmah-nya." Posisi Qorfath tersenyum simpul sambil bersandar.

"Kalau saya sih insya Allah sabar-sabar aja, kalau kamu? Gimana nih Fath? Udah gak sabar kan ketemu Lidya? Ehem!" Masih saja Heru mencoba menghibur 'suasana' obrolan.

"Waduh!" Qorfath cengar-cengir.

"Bismillah aja pak kalau saja, hehe."

"Siip Fath! Harus PD emang."

Obrolan mereka berdua kian seru, namun tak diperdengarkan selain ekspresi mimik riang dan gerak bibir per-ucapan; telah mengisi rasa badmood panjang perjalanan menjadi penuh energi kembali. Ya, seakan perjalanan itu tidak terhambat apapun.

Sawah demi sawah...

Belokan demi belokan...

Hingga memasuki gang desa...

Patokan demi patokan...

Lalu...

Berpindah sorotan dari atas.

Dep! Menyudahi perjalanan panjang, tiba roda setiap mobil berhenti tepat depan pagar bata putih bertaut agak jauhan dari pagar lainnya, sedangkan jalan tengah ada tanah menuju pekarangan lebar terhias salah satu pohon mangga bagian pojok kanan. Beberapa meter dari posisi pemberhentian mobil, terdapat suatu rumah putih bergenteng tanah tentunya, tidak terlalu besar, hanya rumah satu lantai dengan dinding bagian sebelah adalah tempat sumur. Beberapa meter belakang sumur, terlihat jelas lesehan beratap panjang yang mengurung kumpulan sapi-sapi coklat, putih, maupun campuran. Suatu kandang ataupun peternakan sapi. Bahkan, sapi paling besar terlihat lebih dulu oleh penunggu mobil. Seluk-beluk serta gambaran lokasi kediaman pak Ghofur bersama si cantik Lidya menjadi ketenangan bagi orang-orang dalam mobil.

"Alhamdulillah!"

Ucapan Syukur Heru menekan tombol, menyebabkan setengah kaca mobil tempat dia menoleh terbuka separuh.

"Alhamdulillah..." 

Selanjutnya Qorfath, bersiap melepaskan sabuk pengaman.

"Alhamdulillah udah sampai!"

Begitupun ibu kandung Heru, merasa lega telah menyudahi 'lelah' perjalanan.

"Alhamdulillah, berasa pulang kampung, hahaha!" Gelagat pak takmir juga sama, bersiap melepaskan sabuk pengaman.

Kedua orang tua Heru terbangun ditengah-tengah perjalanan beberapa menit sebelum mobil tiba pada tujuan utama. Kadang, bukan hal penting narator harus menjelaskan ini.

•••

Srek! 

Dari balik kaca jendela rumah, seorang wanita tanpa kerudung dengan rambut panjang sampai batas pinggang berdiri menghadap jendela dari dalam ruang tamu, sesudah menyingkap gulungan tirai hijau atas jendela.

"Pa! Mobilnya dateng!" 

Ekspresi wanita barusan tiada lain Lidya Salsabila tampak segar berseri-seri.

"Beneran? Alhamdulillah! Kirain gak dateng!" 

Tiba-tiba pak Ghofur menyibak tirai penghubung ruang keluarga, beranjak keluar antusias mendekati kediaman putri semata wayang.

"Tuh pa! Lidya siapin makanan sama minumannya dulu." Rasa buru-buru Lidya membalikkan diri.

"Cepet siapin! Eh! Kerudungnya dipake Lid!" 

Tiada respon lain lagi, langkah cepat Lidya berjalan menuju kamar usai menyibak tirai pembatas. 

Posisi pak Ghofur berdiri mengintip sebagaimana cara Lidya tadi, ekspresi agak gugup dengan kedua mata terbuka lebar memastikan setiap anggota yang menuruni mobil hitam setelah diparkirkan dekat pohon mangga seperti cara awal saat mereka datang.

"Lidya pasti seneng banget nanti pas tau si supir itu Qorfath. Sengaja papa gak ngasih tau siapa si supir itu. Bismillah..." Mulailah pak Ghofur mengelus-elus dada.

Fakta kebenaran ternyata Lidya bahkan belum mengetahui siapa supir pribadi pak ustadz Heru, padahal pak Ghofur telah setuju siapa lelaki pilihan Lidya walaupun entah bagaimana lelaki pilihan itu akan memenuhi syarat atau tidak? Semua akan terlihat.

"Siap-siap dulu nih!" 

Pak Ghofur berjalan menjauh menuju ruang tengah.

•••

Tok!

Tok!

Tok!

Tok!

Sorotan samping, tepat depan pintu rumah; posisi Qorfath paling tengah, menyebelahi sang tuan alias pak ustadz Heru; lebih kiri lagi adalah kedua orang tua Heru. Semua tampak siap.

"Assalamualaikum!"

Tok!

Tok!

Tok!

Tok!

Ketukan tulang punggung telunjuk Heru sesekali 'jeda' menunggu respon penunggu rumah.

Srek!

Berganti sorotan,

Tirai ruang tengah terkesibak begitu saja, keluarlah sosok rapi berpakaian batik emas mengkilap dengan peci hitam harum, bercelana kain hitam. Sosok pak Ghofur sudah siap menyambut tamu depan rumah.

"Walaikumsalam..."

Respon sahutan memantul lirih.

"Alhamdulillah! Orangnya muncul!"

Sementara, pak takmir berbisik sambil melirik kepada istri.

"Ssst!"

Balasan sang istri demikian.

"..." 

Ekspresi Qorfath gugup dipandang. Wajar saja, apalagi kali ini dia akan bertemu pak Ghofur untuk bercakap-cakap?

Pandangan Heru pun terbagi, mengetahui ekspresi 'redup' Qorfath membuat Heru tersenyum sebentar.

"Tenang aja Fath! Percaya sama saya dan sama pak Ghofur, pak Ghofur juga udah ngasih kesempatan sama kamu! Manfaatin dengan baik! Dan taklukkan Lidya yang pernah kamu tembak dia dari SMK!" Begitulah celetukan Heru berusaha membangkitkan kepercayaan diri Qorfath sekaligus menguatkan keadaan.

"Bismillah!"

Beberapa detik tangan kanan Qorfath terkepal bermaksud menggenggam seluruh kekuatan. Awal-awal ekspresi sama, perlahan berubah menuju tegar alias siap ditengah-tengah hembusan berat nafas.

Cks!

Gagang pintu dari luar bergerak.

Suara slot kunci digeser.

Set! 

"Alhamdulillah! Dateng juga!"

Ketika membuka pintu, langsung disambut oleh senyuman maupun ekspresi bahagia pak Ghofur. Bahkan, bukan ekspresi selidik seperti saat awal kedatangan Heru ketika mengetahui Qorfath adalah supir pribadinya. Sebuah perbedaan, menunjukkan sisi baik pak Ghofur setelah terketuk hati, membuang jauh-jauh rasa benci serta egois.

"Assalamualaikum pak..."

Sigap Qorfath mencium punggung tangan pak Ghofur, berharap agar papa kandung Lidya itu percaya padanya.

"Walaikumsalam..." 

Tanggap pak Ghofur tetap menjaga ekspresi bahagia terseruak senyuman hangat tersebut; sebelum kedua mata berkaca-kaca.

"Ayo! Ayo masuk semua!"

Mempersilahkan para tamu.

"Siap! Makasih pak!"

Sahut Heru.

"Permisi pak." Lebih dulu Qorfath berjalan masuk, tetap menghormati.

Menyusul Heru bersama kedua orang tua memasuki ruangan tamu.

Clsk!

Bruk!

Alhasil, segera saat semua tamu pilihan telah masuk dan menempati posisi masing-masing kursi sofa; maka pak Ghofur men-slot pintu setelah dia tutup.

"Hehehe, gimana perjalanannya?"

Langkah pelan pak Ghofur berjalan menuju kursi khusus paling tengah dekat ruang-tengah pula.

"Alhamdulillah, lancar pak."

Seakan Heru melupakan hal-hal panjang dari perjalanan tadi:v

"Alhamdulillah, kalau lancar." 

Respon pak Ghofur telah duduk 'anteng'.

Terlihat, Qorfath duduk paling tengah pada kursi sofa panjang. Sebelah kiri Qorfath adalah kedua orang tua Heru, sedangkan sebelah kanan adalah Heru sendiri.

Sementara...

Remang-remang samar bayang dari balik tirai, berdirilah Lidya yang telah berpakaian gamis merah muda bermotif tumbuh-tumbuhan. 

"Lidya?"

Batin bersuara. Membuat kedua mata Qorfath terbuka lebar, mengetahui bayangan samar dari balik tirai penghalang. 

"..." Senyuman tulus Heru turut mengetahui keberadaan Lidya.

"Jangan tegang, pasti capek semua ya? Mari diminum dulu teh hangat-nya, sekalian habisin kue atau cemilannya, hehehe," ucap pak Ghofur.

Memang benar, tidak banyak selain beberapa menu cemilan kue kecil-kecilan terhidang atas meja, paling tengah ada wadah melingkar dengan ceret tembus pandang berisi teh hangat serta gelas-gelas kosong mengitari. Sambutan berbeda khusus kehadiran Qorfath. Mengapa demikian? Mungkin agar tidak tegang sebagaimana awal Heru datang.

Hanya saja, karena tirai cukup samar sekalipun masih tembus sedikit warna serta rupa, maka Lidya belum mengenal siapa yang duduk paling tengah. Tergambar redup kehijauan sosok laki-laki barusan, yakni Qorfath.

"Emmm... Sebelumnya, saya mau terima kasih nih pak, soalnya supir truk bapak yang bapak telepon waktu itu, udah bantu benerin mobil. Alhamdulillah ada yang pas bantuin saat itu," ucap Heru.

"Alhamdulillah, Alhamdulilah."

Pandangan pak Ghofur terbagi, mengangguk-angguk senang.

"Karena bapak udah memantapkan hati bapak, dan kali ini memberikan kesempatan ta'aruf kepada supir saya. Ya, insya Allah saya juga memantapkan diri buat yakin kepada supir saya dan saya juga percaya sama dia pak. Dia orangnya emang sopan dan paling gak suka berdebat. Gimana Fath? Mau ada yang diomongkan?" Sepatah kata lanjutan oleh Heru.

"..." Keadaan Qorfath menunduk diam.

"Fath?" Penyebutan Lidya tersentak.

"Sebelumnya..." Mengumpulkan keberanian lebih, mendorong Qorfath berucap.

"Saya juga gak begitu tau pak, apakah ada tambahan syarat atau bagaimana?" Bertanya lebih dulu.

Pak Ghofur menjawab "Soal syaratnya? Masih sama seperti permintaan anak saya waktu itu. Inget kan? Hafalin surah..."

"Ar-Rahman."

Bersamaan antara sahutan Qorfath dengan Lidya.

"..." Langsung mereka berdua diam terkejut.

Tidak hanya mereka berdua, bahkan diam terselimuti heran antara Heru, kedua orang tuanya, dan pak Ghofur.

"Ehm!" deham Qorfath hendak melanjutkan. -"Jadi, saya juga gak berharap banyak pak, kalaupun anak bapak nanti menolak saya karena ada kesalahan dalam hafalan saya atau hal lain dari diri saya, saya gak keberatan. Saya cuman memenuhi amanah bapak soal ini, dan saya juga gak mau mengecewakan tuan saya."

Senyuman tipis tergambar dari ekspresi Heru.

"Ya, saya paham. Jadi pak ustadz Heru ini jadi wali kamu sama kedua orang tuanya?" tanya pak Ghofur.

"Betul pak, cuman mereka keluarga saya saat ini. Selain itu, kedua orang tua juga udah lama gak ada. Lama sekali pak." Tidak dapat menutupi ekspresi tegar Qorfath saat itu.

Obrolan Qorfath bersama pak Ghofur telah berlangsung, akibat basa-basi sebelum memulai syarat ta'aruf sudah mendebarkan hati Lidya hingga rasa penasaran dia bergejolak. Tidak tahan memilih diam menyimak, alhasil telunjuk Lidya menyentuh batas samping tirai, agak dia singkapkan sedikit jarak tipis untuk mengintip keadaan ruang tamu.

Pandangan pertama Lidya langsung tertuju pada seorang lelaki rapi nan tampan pada posisi duduk paling tengah.

"Qorfath?!" Betapa terkejutnya Lidya, segera menutup singkapan tirai.

"Eh?!" Mengejutkan pak Ghofur.

Sementara, para tamu penuh keheranan berbagi pandangan.

"Ngapain Lid?"

Pertanyaan wajar pak Ghofur.

"Beneran dia?!" 

Selangkah Lidya mundur, ekspresi syok membiarkan kedua telapak tangan menutupi sekaligus erat membungkam mulut.

Perlahan kedua tangan merenggang jauh, tampak bahagia ekspresi Lidya ketika dia tersenyum lebar. Bahkan, sampai lupa berkedip.

"Ya Allah?! Ini beneran? Jadi selama ini?! Ahk!" Gelagat Lidya sudah salting alias senang gak karuan.

"Lid? Gak papa kamu?" 

Tanya pak Ghofur melirik.

Jujur saja, suara Lidya tadi terdengar bagi siapapun yang menempati ruang tamu.

"Eh!" Tersentaklah Lidya. -"Papah lanjutin aja ngobrolnya!"

"Udah gak sabar ya? Hahaha!" Menyikapi hal demikian, tawa kecil pak Ghofur mencairkan ketegangan.

"Qorfath? Beneran?!"

Sementara, batin Lidya bertanya-tanya masih tidak menyangka.

"Kalau begitu... Bisa segera saya mulai aja pak? Itu juga kalau bapak izinkan. Atau semisal masih ingin ngobrol-ngobrol dulu gak papa pak, hehe," ucap Qorfath terimbuh tawa 'segan.

"Ehem! Sudah siap nih..." 

Tiba-tiba Heru menyindir lirih yang malah membuat Qorfath senyum-senyum.

"Ya! Ya! Langsung dimulai saja gak papa." Pak Ghofur mempersilahkan.

"Berapa kali kesempatan pak?"

Tanya Qorfath.

"Cuman sekali aja, hafalin surah Ar-Rahman sampai habis, atau separuh surah dengan bacaan Tartil dan penempatan tajwid jelas." Penjelasan pak Ghofur.

"Syarat lainnya pak?" Masih saja Qorfath bertanya.

"Kamu hafal berapa juz?"

Pertanyaan tegang pak Ghofur.

"Insya Allah dari juz 10 sampai juz 30. Selain dari juz itu, masih saya coba hafal separuhnya pak. Dan sampai saat ini masih saya hafalin pelan-pelan."

"Masya Allah..."

Bebarengan; Heru, kedua orang tuanya serta pak Ghofur takjub mendengar jawaban Qorfath.

"Fath..." Kedua mata Lidya berkaca-kaca, turut merasa takjub. Keadaan bersandar pada dinding, mendengar dari balik tirai.

"Kalau gitu langsung saya mulai aja ya pak? Supaya jelas nanti keputusan Lidya sama saya dan supaya saya gak dipengaruhi bisikan-bisikan buruk soal diri saya," ucap Qorfath.

"Silahkan, silahkan dimulai."

Tentu pak Ghofur meng-iya-kan.

"Bismillah..." Tatapan 'sayu' Qorfath, menunduk bawah sambil merangkul masing-masing jari-jemari.

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

"A'udzu billahi minasy syaithonir rojiim." 

(Bacaan Qorfath melantun syahdu.)

Artinya: "Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari syaitan yang terkutuk."

Jeda beberapa detik telah membungkam masing-masing orang dalam ruang kecuali Qorfath sendiri; hendak meneruskan ketika mulut menganga.

Ekspresi bahagia Lidya pudar, menyimak serius. Bahkan, pak Ghofur 'anteng' siap mendengarkan dengan tulus.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Bismillahirrahmanirrahim..."

اَلرَّحۡمٰنُۙ

"Ar Rahmaan."

1. (Allah) Yang Maha Pengasih,

عَلَّمَ الۡقُرۡاٰنَؕ

''Allamal Qur'an."

2. Yang telah mengajarkan Al-Qur'an.

خَلَقَ الۡاِنۡسَانَۙ

"Khalaqal insaan."

3. Dia menciptakan manusia,

عَلَّمَهُ الۡبَيَانَ

"'Allamalhul bayaan."

4. mengajarnya pandai berbicara.

اَلشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُ بِحُسۡبَانٍ

"Ashshamsu walqamaru bihusbaan."

5. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan,

وَّالنَّجۡمُ وَالشَّجَرُ يَسۡجُدٰنِ

"Wannajmu washshajaru yasjudan."

6. dan tumbuh-tumbuhan [atau bintang-bintang] dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).

وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الۡمِيۡزَانَۙ

"Wassamaaa'a rafa'ahaa wa wada'al Miizan."

7. Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan,

اَلَّا تَطۡغَوۡا فِى الۡمِيۡزَانِ

"Allaa tatghaw fil miizaan."

8. agar kamu jangan merusak keseimbangan itu,

وَاَقِيۡمُوا الۡوَزۡنَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُوا الۡمِيۡزَانَ

"Wa aqiimul wazna bilqisti wa laa tukhsirul miizaan."

9. dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.

وَالۡاَرۡضَ وَضَعَهَا لِلۡاَنَامِۙ

"Wal arda wada'ahaa lilanaam."

10. Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya),

فِيۡهَا فَاكِهَةٌ ۖ ۙ وَّالنَّخۡلُ ذَاتُ الۡاَكۡمَامِ‌

"Fiihaa faakihatunw wan nakhlu zaatul akmaam."

11. di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang,

وَالۡحَبُّ ذُو الۡعَصۡفِ وَالرَّيۡحَانُ‌ۚ

"Walhabbu zul 'asfi war Raihaanu."

12. dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

13. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ صَلۡصَالٍ كَالۡفَخَّارِۙ

"Khalaqal insaana min salsaalin kalfakhkhaari."

14. Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,

وَخَلَقَ الۡجَآنَّ مِنۡ مَّارِجٍ مِّنۡ نَّارٍ‌ۚ

"Wa khalaqal jaaan mim maarijim min naar."

15. dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

16. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

رَبُّ الۡمَشۡرِقَيۡنِ وَ رَبُّ الۡمَغۡرِبَيۡنِ‌ۚ

"Rabbul mashriqayni wa Rabbul maghribayni."

17. Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat.

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

18. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? 

مَرَجَ الۡبَحۡرَيۡنِ يَلۡتَقِيٰنِۙ

"Marajal bahrayni yalta qiyaani."

19. Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu,

بَيۡنَهُمَا بَرۡزَخٌ لَّا يَبۡغِيٰنِ‌ۚ‏

"Bainahumaa barzakhul laa yabghiyaan."

20. di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.

~

Bacaan serta intonasi merdu hafalan Qorfath masih berlanjut, sangat lancar membaca surah Ar-Rahman tersebut; makroj tajwid terbilang jelas, terdengar tepat dari panjang pendek huruf. 

Tunai sudah janji lama suatu ikatan tanpa tanda cinta selain terpisah penuh tanda tanya. Yups, terbukti bahwa Qorfath menepati janjinya sewaktu mengejar Lidya dulu, yakni akan terus mengejarnya dengan syarat langsung dari Lidya berupa kertas bertuliskan "Ar-Rahman" sebagai pembuktian apakah Qorfath kelak bisa berubah atau dia menghafalkan surah itu, suatu ketika apabila dia ingin serius. Pada dasarnya, hati wanita selalu tau; dia menginginkan lelaki yang baik dalam agama, meski demikian Qorfath tak terburu-buru mengejar Lidya dan dia memiliki alasan, namun doa bukanlah batasan. Kali ini, dimana momen pertemuan nyata antara keduanya, tanpa diminta, tanpa ada yang memaksa. Sebuah penantian panjang, sebagaimana panjang lantunan surah Ar-Rahman dari hafalan Qorfath; masih terus dia baca walaupun suara sengaja menjadi senyap selain gerak-gerik bibirnya.

Posisi sama, yakni bersandar lemas. Betapa linangan air mata Lidya membasahi kedua pipi, sesekali punggung tangan mengusapi, walaupun terus saja tetesan air mata itu menjadi bukti bahwa dia telah menemukan cintanya kembali.👍

[[Flashback : On]] ~

Momen pengejaran Qorfath ketika mobil Lidya melaju kian cepat sewaktu keduanya masih SMK.

Disaat bersamaan, posisi Qorfath sudah sedekat dengan kaca dimana terlihat Lidya menoleh bertatap heran.

"Lid!!!" Suara Qorfath mengejutkan anggota keluarga dalam mobil. Faktor kaca terbuka.

"Kenapa lu ngejar gue?!" Blak-blakan Lidya bertanya.

"Lu mau kemana?!" Pertanyaan Qorfath terlontar.

"Pergi dari tempat ini! Maafin gue!" Seruhan Lidya.

"Kasih tau gue dimana tempatnya!!!"

"Jauh! Lu gak bakal bisa ngejar gue!"

"Gue bakal terus ngejar lu!!!"

Setiap kecepatan laju bertambah, beberapa langkah Qorfath tertinggal, namun tak mematahkan semangatnya untuk melangkah lebih cepat agar bisa menyusul kecepatan 'walau terulang-ulang demikian.

Sejenak diam lama menatap lawan jenis, raut ekspresi Lidya tertekuk.

"Lid?! Hah... Hah... Hah!" Rasa lelah menyelimuti Qorfath.

"Yakin lu ngejar gue?" Penuh perhatian Lidya bertanya.

Dengahan nafas terengah-engah, anggukan terimbuh serius ekspresi Qorfath. Memandang yakin.

Nafas berat Lidya terhembus, menunduk beberapa detik. Lalu, mengulurkan tangan kanan yang tampak menggenggam sesuatu.

Awal tersentak, membagi pandangan Qorfath. Mengetahui Lidya memberikan sesuatu, maka turut mengulurkan tangannya untuk meraih.

"Maaf!" Segera Lidya masuk kembali dari kaca mobil. Sengaja membuang lipatan kertas sebelum diraih oleh Qorfath.

"Lid!!!" Tentu Qorfath terkejut.

Dep! Grep! Lipatan kertas tertepa angin, hampir terbang lebih tinggi. Beruntung Qorfath melompat, langsung erat menggenggam pemberian Lidya barusan.

Bersamaan gejolak lelah memaksa langkah pengejaran Qorfath melambat, berujung berhenti tengah-tengah jalan.

Brrmmmmmm!!!

Alhasil, mobil melaju begitu cepat.

"Hah... Hah... Hah... Hah..." Hanya berdiri terengah-engah penuh tetesan keringat. Begitulah keadaan Qorfath melihat mobil kian menjauh.

"Tuhan tau mana yang terbaik..." batin Lidya tak bisa memandang lama arah belakang. Terlebih kaca mobil sudah tertutup rapat.

[[Flashback : Off]] ~

Kedua singkapan mata Lidya merendah sayu.

•••

~

Beberapa menit berlalu ayat per ayat dari hafalan surah Ar-Rahman yang masih Qorfath teruskan tanpa ada kesalahan, tanpa ada lupa, selain menghayati bacaan alias hafalan tersebut.

Semua diam mendengarkan, Heru tunduk merenung bersama kedua orang tuanya. Sedangkan pak Ghofur? Dia tiada henti terisak karena merasakan kebenaran dari syarat Lidya yang ternyata adalah kebaikan. Keadaan pak Ghofur menunduk, terus terisak saat pertengahan bacaan surah. Telah banyak sosok laki-laki mendatangi Lidya, semua Lidya tolak dan ternyata sosok yang kali ini sesuai dengan syarat Lidya adalah sosok yang dia cegah untuk mendekati Lidya sejak dulu, yakni Qorfath. Bahkan, hati pak Ghofur saat itu masih egois alias keras dalam ketetapan keputusan. Namun, siapa sangka? Allah adalah dzat yang membolak-balik hati, Dia telah melunakkan hati pak Ghofur dan memberikan kesempatan pada Qorfath hingga terjadilah hal mengharukan seperti sekarang.

Bacaan masih berlangsung...

Pada sambungan ayat.. 

فَبِاَىِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Fabi ayyi aalaaa'i Rabbikumaa tukazzibaan."

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

"Cukup!"

Secara tiba-tiba Lidya mengangetkan semua orang diruang tamu.

"Eh?! Kenapa Lid?"

Menyentak pak Ghofur.

Membuat pak takmir bersama sang istri saling berpandangan. Serupa pula Qorfath serta Heru.

"Gue kagum sama lu Fath..."

Lanjut Lidya posisi masih bersandar dekat tirai ruang tengah.

Maka, Qorfath membuka mata lebar-lebar, mengangkat kepala pelan-pelan.

"Sebelumnya, maaf... Ternyata lu udah tau kalau ini gue Lid. Dan gue tau keputusan lu kalau lu bakal tolak gue sekarang, iya kan?" Sepatah kata Qorfath terlontar.

"Eh? Drama?" Akibat pak Ghofur keheranan.

"Apa alasan lu mikir kayak gitu?"

Sosor tegas Lidya.

"..." Diam sejenak Qorfath, menatap arah tirai. -"Karena gue udah bikin lu kecewa, gue seharusnya udah ta'aruf lu dari beberapa tahun lalu. Tapi..."

"Tapi kenapa? Tapi baru bisa sekarang gitu?" 

Tanggapan Lidya barusan membungkam erat Qorfath.

"Lid? Hafalan Qorfath belum selesai!"

Sigap pak Ghofur menegur.

"Kenapa pa? Papa juga sebenarnya udah tau kan kalau yang jadi supir waktu itu Qorfath? Sengaja Lidya hentikan hafalannya pa." 

Terlihat bahwa kedua mata pak Ghofur terpicing kaget.

"Ya, maaf... Salah papa juga waktu itu." 

"Kemana aja lu Fath setelah gue pergi ke pesantren waktu itu? Kenapa baru sekarang? Apa alasan lu?" Berbagai semburan pertanyaan oleh Lidya.

"Gua bakal jawab. Memang gue punya alasan, dan semua emang butuh waktu. Soal kertas yang masih gue simpan ini, masih ada di gue. Untuk apa? Gue belajar buat berubah sejak itu, belajar hafalin surah yang lu tulis di kertas ini," jelas Qorfath.

Lanjutan penjelasan "Setelah lu pergi ke pesantren waktu itu, bapak gue posisi lagi ada di desa karena ada perlu. Dia kerja sebagai antar barang, lalu, gue dapat kabar dia sakit. Bapak sakit demam. Cepet-cepet, gue sama ibu gue kemas barang-barang buat samperin bapak, naik kereta saat itu; ya pake uang gue yang gue sisain setiap dikasih uang jajan sekolah. Setelah sampai desa pas malam hari, sakit bapak gue tambah parah dan pas perjalanan dilarikan ke rumah sakit desa yang jaraknya beberapa kilometer, alhasil bapak gua udah gak ada. Dia meninggal Lid. Lu tau? Betapa hancurnya hati gue saat itu."

Kedua mata Lidya terbuka lebar, sangat tidak menyangka. Bahkan, Heru, kedua orang tuanya, serta pak Ghofur diam tercengang.

Mulailah Qorfath melanjutkan...

"Setelah seminggu kematian bapak, gue mutusin buat putus sekolah, itu udah keputusan terbaik buat gue. Apalagi, gara-gara bapak udah gak ada, ibu sering sakit-sakitan. Gue dihadapi 2 pilihan... Sekolah yang dari jarak ke kota dan desa itu jauh berpuluh-puluh kilometer atau ngerawat dan biayain sakit ibu gue. Tentu, gue pilih ngerawat ibu gue, pas sampai sebulan penyakit ibu gue belum juga sembuh, dan saat itu juga ternyata ibu gue kena penyakit lumpuh, gak bisa jalan. Dan lu masih nuduh gue kemana aja selama ini?"

"..." Tanggapan Lidya memilih diam mengetahui kebenaran.

Sesudah nafas berat Qorfath terhembus, kembali melanjutkan kejelasan.

"Berhari-hari dan bertahun-tahun setelah itu gue ngerawat ibu Lid. Gue kerja jadi penjual getah pohon karet di desa; yang ditempat kerja gue dekat sama mushola kecil dimana biasanya anak-anak desa belajar ngaji sama pak ustadz disana. Gue sadar, gue tiba-tiba ingat sama kertas yang pernah lu kasih ke gue. Gue jujur pengen ngejar lu udah dari lama, cuman keadaan gak memungkinkan. Alhasil, hati gue terketuk Lid. Gue coba datengin mushola itu dan tanya-tanya sama pak ustadz disana sekaligus ngasih tau soal kertas yang lu kasih ini. Perlahan-lahan demi perlahan gue dibimbing sama pak ustadz, dan Alhamdulillah dari keadaan tadi; yang awalnya sholat gue bolong-bolong, disini gue coba buat jaga sholat dan hafalin ayat-ayat pendek lebih dulu. Satu tahun berikutnya, setelah hafal beberapa surah-surah panjang sampai juz 30, disini gue mulai bulatin tekad buat hafalin surah Ar-Rahman. Karena jujur, saat gue itu masih belum ada keberanian buat hafalin. Selesai tahajud, gue coba hafal pelan-pelan."

"Lu pikir gue udah lupa lu saat itu? Justru gue pengen ketemu lu dan ucapin terima kasih karena dari kertas yang lu kasih ke gue, siapa sangka gue malah jadi pribadi yang lebih baik kan? Sesuai keinginan lu? Dan gue yakin, perubahan gue adalah maksud lu agar gue bisa ngejar lu bukan lewat pacaran, tapi ta'aruf. Surah Ar-Rahman yang lu tulis di kertas, pertanda syarat ta'aruf dari lu Lid. Gue mulai paham." Melanjutkan.

"Gimana keadaan ibu kandung lu Fath setelah itu?" tanya Lidya.

Senyuman simpul Qorfath mengembang. -"Ibu gue seneng kalau gue berubah dan hari demi hari gue isi dengan baca Al-Qur'an sekaligus menambah dan muroja'ah hafalan. Bukannya gue sombong, tapi ini kenyatannya, supaya lu gak nuduh gue yang aneh-aneh. Tapi, waktu selesai malam tahajud itu... Posisi gue ada di kamar dari rumah bibi di desa, ya ibu gue dirawat sama saudara ibu gue. Posisi ibu ada diatas kasur lagi tiduran dengerin gue muroja'ah surah Ar-Rahman dan dia tanya "Ibu denger suka banget kamu hafalin surah itu? Apa karena arti ayatnya?". Ya, gue pun ceritain yang sebenarnya kalau awal gue tergerak hafalin semua surah Al-Qur'an termasuk surah Ar-Rahman karena kertas yang lu kasih ke gue Lid. Terus ibu gue tanya "Dari siapa?", Dari sini gue mulai ceritain tentang lu dan cerita juga pas lu pindah ke pesantren."

"Dan ternyata ibu gue tau alamat pesantren lu, ibu gue pun cerita kalau dia pernah ketemu ibu lu Lid sewaktu ibu gue mau bayar SPP. Disini setelah ada info kalau lu mau pindah ke pesantren, kebetulan ibu gue tanya ke ibu lu kemana lu pindah atau ke pesantren mana. Ya, faktanya ibu gue ternyata kenal nama lu dari ibu lu pas kejadian itu. Ibu gue mulai dikte alamat lengkap pesantren lu ke gue, dan gue catet ke kertas saat itu. Alhamdulillah gue dapat petunjuk, cuman..." 

Kedua mata Qorfath terpejam, ekspresi mulai kemerahan menahan kesedihan.

"Ibu gue meninggal pas selesai subuh. Gue bener-bener putus asa pas itu, gue marah Lid sama keadaan. Tapi, perlahan waktu menyembuhkan gue. Gue nabung buat niat merantau pas uang udah cukup. Cuman, gue gak bisa lupain lu Lid, gue sering lihat lu di mimpi yang membuat gue semakin semangat hafalan terutama muroja'ah surah Ar-Rahman sampai gue bener-bener hafal diluar kepala. Alhamdulillah, karena rasa terima kasih, gue ada niatan pengen ke lokasi lu mondok semisal gue ada uang cukup buat merantau. Udah jelas kan alasan gue? Gue modal nekat merantau walau uang tabungan masih terbilang kurang waktu itu. Demi apa? Gue pengen ngerubah keadaan gue. Namun, gue juga ingin nemuin lu sekaligus, alhasil gue milih merantau ke lokasi lu mondok. Memang hanya itu pilihan."

Begitulah, kejelasan kebenaran melalui sepatah kata Qorfath. Sangat tidak menyangka bagi siapapun pendengar. Bahkan, membuat kedua mata Qorfath berkaca-kaca jika kembali mengingat masa lalu-nya.

Berlalu detik-detik diam kesunyian dari kebenaran panjang, sela waktu mendengarkan isakan tangis Lidya; jelas mengejutkan siapapun. Tampak, ketika lebih dekat dari ekspresi Lidya ber-keadaan menunduk dengan kedua pipi berlinang air mata.

Mengetahui tangisan tersebut, membisukan Qorfath sementara. -"Ya, sekarang gue terima keputusan lu hari ini."

Bergeleng-geleng kecil, segera masing-masing punggung tangan Lidya bersahutan mengusapi derai air mata. Demikian, masih terdengar isakan kecil karena masih ada rasa sedih teramat dalam.

"Gue udah denger semuanya sekarang. Sekarang lu udah buat gue takjub dan janji lu; bahwa lu bakal ngejar gue ternyata emang bener. Mulai sekarang lu gak perlu sendirian lagi, ada gue. Gue terima proses ta'aruf dari lu hari ini, dan gue ingin sampai ke jenjang lebih serius..." Melontarkan lirih jawaban Lidya.

Sebuah jawaban dimana mengejutkan setiap orang pada ruang tamu. Turut berpandangan satu sama lain, maka mekar ekspresi bahagia diantara mereka semua. Bagi pak Ghofur ini adalah hal paling menenangkan serta membahagiakan karena tidak perlu lagi repot-repot mencari calon-calon lain. Untuk apa terus mencarinya? Jika calon jodoh Lidya adalah seorang laki-laki yang pernah suka Lidya dari SMK? Semua tak tertebak! Tidak terduga. Bersamaan; Qorfath, Heru, kedua orangtuanya, dan pak Ghofur berdiri refleks.

"Alhamdulillah!"

Tanpa aba-aba, syukur bahagia bersamaan menggerakkan bibir mereka semua, yakni mereka-mereka yang menempati ruang tamu depan.

"Selamat Fath!"

Respek Heru sambil menepuk-nepuk pundak kanan Qorfath.

Justru respon Qorfath lebih menghormati, dari tunduk ekspresi berbahagia. Belum ada untaian kata-kata lanjutan selain syukur tadi.

"Alhamdulillah, Lidya... Silahkan kesini nak!" 

Karena Lidya menerima, kali ini pak Ghofur meminta Lidya hadir didepan Qorfath untuk mengenalnya tanpa ada syahwat berlebihan. Ya, untungnya Lidya memakai pakaian gamis syar'i tebal panjang, menutupi keseluruhan tubuh.

Srek...

Suara kibasan tirai berlalu pelan...

Hadir sosok cantik Lidya secara langsung, pandangan tertuju pada seseorang bagian tengah tiada lain Qorfath sendiri. Keadaan Lidya diam menunduk dengan senyuman simpul mengembang hampir menghipnotis Qorfath.

Bagi Heru sendiri, berusaha melihat tak melibatkan rasa berlebihan, jadi hanya kagum belaka.

"Masya Allah..." 

Momen kehadiran Lidya memalingkan Qorfath usai dia pandang, terlalu gugup melihat.

Sorotan segera menjauh pelan-pelan menuju atas. Merekam momen kebahagiaan atas jawaban segala doa-doa Qorfath termasuk sebagian doa dari Lidya hingga mereka saling bersatu, mengingat cinta dengan saling kenal mengenal dahulu "Ta'aruf" hingga tiba saat perencanaan Akad atau Ijab Qobul. Aamiin. Mahar sederhana namun membawa haru dari Qorfath kelak ketika keduanya menikah; sesuai syarat dari Lidya adalah mahar berupa hafalan surah Ar-Rahman. 

•••

[[Gelap]]

•••

[[Pukul 15.15]]

Sore hari, paparan hangat sinar matahari, menyorot dari atas suatu jalanan bolak-balik dua arus dengan kondisi lalu lintas lancar damai.

Fokus saja, banyak kendaraan berlalu, salah satu mobil berbagai warna adalah mobil hitam umum diketahui sedang melaju santai mengikuti arus jalan.

Lebih dekat...

Tepat arah depan mobil tersebut...

"Alhamdulillah, insya Allah tanggal-nya sudah ditentukan Fath. Kamu gak usah khawatir, untuk persiapannya bakal saya atur."

Tutur kata Heru menggampangkan ketika posisi dia menggantikan Qorfath menyetir. Sebagai wali, merasa wajib untuk Heru menyetir mobil dan duduk dengan Qorfath tepat sebelah kiri.

Punggung Qorfath menyenderi kursi, duduk tidak terlalu tegak.

"Bismillah pak, terima kasih banyak pak. Saya gak tau dengan apa balas kebaikan bapak, udah bantu saya banyak dan ngasih kemudahan ke saya. Semoga Allah yang membalas kebaikan bapak, saya cuman bisa mendoakan," ucapnya.

"Udah tenang aja Fath, anggap aja kita ini keluarga kamu. Jadi, pasti kita bantu kamu untuk proses ke jenjang serius-nya. Alhamdulillah, tadi udah ngobrol-ngobrol dan kenalan sama si Lidya. Jadinya kamu lebih yakin dan mantap buat ta'aruf dia. Kalau anggapan bapak, Lidya bener-bener santriwati sholehah," sahut pak takmir.

"Aamiin..."

Tanggapan sang istri sebelah kiri sang suami.

"Aamiin pak, insya Allah ini udah jalan terbaik dari Allah. Alhamdulillah." Begitulah respon Qorfath, ekspresi bahagia berseri-seri terpampang jelas.

"Insya Allah..." 

Lirih Heru tetap fokus depan.

Kring

Kring!

Kring!

Kring!

Kring!

Kring!

Tiba-tiba suara dering terimbuh getaran dari saku Heru mengejutkan siapapun. Jelas dering suara panggilan ponsel.

"Siapa sih?" 

Refleks salah satu tangan Heru menyelip menuju saku, mengambil ponsel.

Wajib bagi Heru menghentikan laju kecepatan mobil ketika ada panggilan penuh tanda tanya tengah-tengah fokus menyetir. Posisi mobil berhenti menepi dekat trotoar jalan.

"Untung sekalian dicas tadi di rumah pak Ghofur." Sigap Heru menerima panggilan, melekatkan ponsel pada telinga.

"Siapa Her?"

Tanya sang ibu.

"Itu buk, budhe dari kampung halaman kita," bisik Heru.

"Wah!" Malah sang ibu terkejut.

"Besarin speaker-nya! Bapak mau denger. Tumben ya telepon?!" Antusias penasaran pak takmir.

Sementara, pandangan Qorfath terbagi, sama-sama heran bercampur penasaran.

"Assalamualaikum..."

Salam dari pihak pemanggil.

"Halo? Ada apa budhe? Walaikumsalam..." Cepat Heru merespon.

Berlangsung obrolan Heru dengan Budhe-nya alias bibi di kampung halaman.

"Budhe kasihkan teleponnya ke paman kamu aja ya?" 

"Siap Budhe, gak papa. Kira² ada apa ya?"

"Halo? Heru kan ini?"

Pihak telepon digantikan sang paman.

"Betul, ini Heru pak Dhe!"

Sosoran Heru biasa akrab memanggil paman dengan pak Dhe, yaitu panggilan khas kampung halaman.

"Nah, Alhamdulillah. Untung nomor kamu masih sama. Lagi dimana ini Her?"

"Posisi? Didalam mobil, lagi ditepi jalan raya, posisi mau pulang pak."

"Loh? Habis darimana?"

"Habis ta'aruf."

Tanpa basa-basi, jawaban Heru terlontar demikian.

"Loh? Kok gak ngabarin? Sama siapa kamu ta'aruf?!" Betapa terkejutnya sang paman.

"Loh! Bukan!" Beruntung Heru segera sadar. -"Astagfirullah, maksud Heru habis nganterin supir saya ta'aruf." Terkekeh-kekeh.

"Owalah, kirain... Kamunya kapan nih Her ta'aruf juga? Masa atasan keduluan sama supirnya? Hahaha!" 

Membuat ekspresi Heru terlipat masam, akibat sindiran meski tau sekedar 'guyonan'.

Terlihat, Qorfath tersenyum kecil. Sedangkan, kedua orang tua Heru anteng menyimak.

Melanjutkan obrolan...

Heru bertanya "Kira-kira ada apa ya pak Dhe? Soalnya ini gak bisa lama-lama. Takutnya macet nanti."

"Oh iya! Lagian juga kan pak Dhe gak tau kalau kamu lagi ada ditepi jalan. Ini kamu sama orang tua kamu kan Her? Sama supir kamu juga?"

"Bener pak, mereka lengkap didalam mobil." Celingak-celinguk sesudah menjawab.

"Ibu bapak kamu jadi pulang kampung Senin depan?"

"Eh?" Menolehkan Heru ke belakang. -"Gimana buk? Pak?" Mendahulukan bertanya.

"Jawab iya!" 

Selesai saling berpandangan, kedua orang tua Heru bersahutan menjawab.

"I-Iya betul pak Dhe, mereka bakal kesana Senin..." Menolehkan Heru menuju depan.

"Kamu gak ikut sekalian?"

"Rencana ikut, tapi mungkin belum bisa dulu pak, ada urusan pas Senin. Cuman bisa nganterin bapak ibu sampai bandara aja."

"Ooo gitu. Kirain udah dikasih tau sama bapak ibu kamu..."

"Loh soal apa pak Dhe?" 

Sempat tersentak, alhasil Heru mulai melirik.

"Itu... Kapan hari, ayah ibu-nya Azizah datang ke rumah pak Dhe."

"Azizah?" Mengejutkan Heru.

Tampak ekspresi pak takmir bersama sang istri berubah masam seakan merahasiakan sesuatu. Terlebih malah si pak Dhe membicarakan soal apa yang diketahui oleh mereka berdua.

"..." Sementara Qorfath diam memperhatikan.

"Iya betul, si Azizah temen kuliah kamu dulu yang sering kamu ajak mampir ke rumah pak Dhe ituloh? Yang dulu kamu sering pinjam motor pak Dhe buat jemput dia dan ajak dia makan bakso di rumah buat urusan kerja kelompok. Masa lupa?"

"Subhanallah!" Seketika Heru menepuk dahi, menyadari. -"Alhamdulillah, ingat pak Dhe, tapi ya emang ada apa ya pak orang tua Azizah datang ke rumah?"

"Ya nyariin kamu. Kayaknya ibu bapak kamu belum bilang ya? Biar pak Dhe yang wakili. Jadi, ayahnya sama ibunya Azizah tanya soal kamu, kamu masih sendirian kan? Rencana mereka pengen kamu lamar anaknya si Azizah." Terang-terangan penjelasan pak Dhe.

"Loh?! Kok?!" Betapa terkejutnya Heru, membagi pandangan.

Membuat 'diam' Qorfath mekar akan senyuman 'refleks terkejut.

"Waduh ketahuan rahasia kita buk! Hahahaha!" Gelagak tawa akhir ucapan sahutan pak takmir.

Sang ibu sekedar senyum-senyum menanggapi.

"Loh? Jadi bapak ibu membunyikan sesuatu ya?" Memalingkan Heru ke belakang.

"Gak! Cuman belum sempet bilang aja. Ya karena kamu ngomong soal Lidya waktu itu, jadi masih bapak ibu tahan soal si Azizah ini. Ya Alhamdulilah ada yang lebih dulu kasih tau kamu, yaitu pak Dhe kamu," jelas ibu tercinta.

"Terus? Rencana bapak ibu buat pulang kampung Senin depan? Kan Heru gak ikut?"

"Hahaha! Omongan kamu tanda udah seneng banget dapat info tentang Azizah tadi. Ya, gampang. Lagian sebenarnya bapak udah pesenkan 1 tiket pesawat buat kamu, rencana bakal kasih tau kamu sebelum kamu tanya soal Lidya. Ya, sengaja bapak ibu belum omongin ini sampai semua jelas keadaannya." Kali ini pak takmir menjelaskan.

"Ada-ada aja nih bapak ibuk! Bisa-bisanya..." Heru menggeleng dengan ekspresi 'pasrah' sambil mengembangkan senyuman kecil.

"Jadi gimana Her?"

Tiba-tiba pak Dhe minta kejelasan.

"Eh! I-Iya pak! Alhamdulillah, ya kalau dibilang pengen lamar Azizah sih udah dari dulu pas Heru sering mampir ke rumah pak Dhe. Cuman karena Azizah waktu itu tiba-tiba ngilang pas kelulusan kuliah, jadi ya Heru putus harapan." Ungkapan kejujuran Heru secara langsung.

"Hahaha! Ya, ini kata kedua orang tua Azizah, kalau ternyata Azizah yang pengen kamu lamar dia. Bahkan, sering tanya soal kamu pas di kota. Soal Azizah yang tiba-tiba ilang setelah kamu lulus sebenarnya kata ayahnya sih karena waktu itu mereka pindah ke kota dan tinggal di rumah dinas beberapa tahunan faktor kontrak kerja ayahnya. Jadi, mereka minta kamu sama kedua orang tua kamu buat datang ke rumah mereka untuk rencana ta'aruf si Azizah, yaitu kenalan dulu sampai ada kecocokan dan baru deh menuju proses lamaran kalau emang saling suka dan cocok. Bagi pak Dhe sih, udah cocok kok, hahahah!" lanjut pak Dhe.

"Siap pak! Makasih banget pak Dhe soal info nya. Alhasil Heru jadi tau apa yang bapak ibuk rencanain😂" Imbuhan tawa kecil.

"Santai aja. Ya, udah pak Dhe matiin telponnya ya? Nanti dilanjut lagi pas kamu sampai rumah. Gimana?"

"Boleh! Boleh pak Dhe."

"Assalamualaikum... Salam buat bapak ibu dibelakang kamu."

"Walaikumsalam, siap!"

Titt! Panggilan antara mereka berdua berakhir sudah.

Mendadak suasana berubah diam sepi, entah kenapa 'satu keluarga' dalam mobil bungkam beberapa saat.

Tidak berlangsung lama, ekspresi mereka terbuai bahagia dari senyum lebar mereka menatap satu sama lain.

"Alhamdulillah!"

Kompak ucapan syukur memecah kecanggungan-sepi.

•••

[[Gelap]]

Tamat.

•••

•-Tambahan Scene-•

Usai ta'aruf...

3 Minggu berlalu...

Menuju Khitbah...

(Lamaran/Tunangan)

Hari demi hari berlalu...

Berbagai proses telah rampung...

Hingga tibalah...

1 bulan setelah lamaran (Tunangan).

Masa-masa tunangan...

Berlalu sudah...

Kali ini...

Pada hari dan tanggal yang dimaklumi.

Masih gelap tiada jelas gambaran...

"Ananda Qorfath bin Nibumizan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Lidya Salsabila binti Ghofurar Rohim Al-Nuri dengan maskawinnya berupa surah Ar-Rahman, perhiasan emas 20 gram, berlian 5,29 karat, uang tunai Rp. 9.022.018, dan seperangkat alat sholat, tunai." 

(Si penghulu) 

Lalu, mempelai pria (Qorfath) membaca kabul (menjawab) dengan lantang:

"Saya terima nikah dan kawinnya Lidya binti Ghofurar Rohim Al-Nuri dengan maskawin tersebut dibayar tunai."

"Alhamdulillah..."

"Sah!"

Si penghulu pada hadapan orang banyak.

"Sah! Alhamdulillah..."

"Sah!"

"Sah!"

Para hadirin bersahutan menjawab.

"Alhamdulillah!"

Kelanjutan ucapan si penghulu.

•••

Selesai sudah. Qorfath bersama Lidya resmi menikah. Mengikat janji setia dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Insya Allah sakinah mawadah warahmah. Aamiin.

•Beginilah rekaman videonya :

Pernikahan Qorfath dengan Lidya. Dilanjutkan lantunan bacaan Ar-Rahman oleh Qorfath. 

https://youtu.be/sOJQT6lWwds

-

•Surah Ar-Rahman•

https://youtu.be/X82GH_L2YFA

-