Chereads / Ar-Rahman / Chapter 6 - Bab 6 : Jawaban

Chapter 6 - Bab 6 : Jawaban

=======[Ar-Rahman_اَلرَّحۡمٰنُۙ]=======

‹‹‹«««Limited Story»»»›››

•Eps. 06•

•Judul : Jawaban•

Hal paling pak Ghofur harapkan terurai-berai sudah, jikalau Lidya anak semata wayangnya itu penurut, maka akan ada keringanan syarat dari proses ta'aruf, hanya saja Lidya memang memilih apa yang menurut syaratnya itu tepat, dan bukan sembarang orang. Bahkan, ustadz pun dia tolak hanya beberapa kesalahan hafalan. Yups, keinginan wanita memang rumit, tapi jika dia mengetahui ada hati yang tepat, maka wanita pasti akan tunduk. Seperti apa yang Lidya harapkan dari seorang supir pak ustadz Heru itu, meski belum tau bagaimana wajah begitupun perawakannya. Pikiran Lidya hanya percaya jika hafalan dia bagus, maka sebagaimana dulu dia mengharapkan Qorfath datang kepadanya dengan hafalan surah Ar-Rahman, tak jauh beda dari hafalan seorang supir tersebut; tiada lain Qorfath sendiri jika Lidya mengetahui.

Sementara, dari balik pintu kamar penuh gantungan boneka hewan chibi, seorang Lidya berdiri-bersandar dengan tatapan memandangi langit-langit ruang.

"Ya Allah, pertemukan hamba dengan dia, sekali lagi." Berucap lirih, penuh harap.

[[Gelap]]

Berganti slide sorotan...

[[Pukul 10.30]]

Pagi menjelang siang...

Panjang deretan kendaraan...

Tidak se-sunyi nan sepi sebagaimana awal perjalanan mobil hitam tepat tengah deretan panjang mobil lain, diantara celah 'tersalip' beberapa jenis motor yang melaju lebih dulu. Sedangkan, kanan maupun kiri, depan serta belakang banyak sekali kendaraan roda 4 mengantri. Eits, bukan antri bensin, namun memang demikian terlihat kemacetan satu jalanan lurus menuju persimpangan. Bukan lagi pemandangan hijau desa rupanya, ternyata ada banyak kendaraan masing-masing jenis memilih melawan arus, maka terjadilah bentrok kemacetan panjang.

Tiittt!

Tiittt!

Tiittt!

Tiittt!

Kebiasaan warga negara Indonesia, kondisi jelas-jelas macet, spam klakson setiap kendaraan mendesak agar kemacetan dapat hilang. Disitulah setiap mode kesabaran pengendara diuji.

Lebih dekat menyorot mobil hitam dekat rambu lalu lintas.

"Gerah! Gerah!" 

Suasana dalam mobil, khusus lebih bagian depan dekat tempat duduk supir, yakni Qorfath. Memperlihatkan pak ustadz Heru alias Heru melepaskan ikatan dasi, membuka kancing kerah rangkap pakaian formal-nya, menoleh arah kiri, dimana kaca jendela setengah terbuka bermaksud mengundang angin - malah membawa hawa panas serta pengap.

"Bener pak, gerah banget!" Sahutan Qorfath telah menutup botol minuman mengandung ion setelah meneguk setengah.

Lalu? Keadaan belakang? Yakni, kedua orang tua Heru. Tak dapat terelakkan, bahwa bapak-bapak kebanyakan lebih santai dalam berbagai keadaan, begitulah keadaan pak takmir, diam menengok lama jendela. Berbeda dengan sang istri alias ibu kandung Heru yang tidur pulas faktor lelah.

Entah bisa ditebak hati kesal Heru melalui ekspresi antara menahan gerah tersebut. Apalagi sahutan Qorfath enggan digubris oleh Heru.

Bahkan, sedari berlalu suatu perjalanan hingga melewati batas desa, mereka berdua antara Qorfath sang supir serta Heru sang majikan sekedar diam-diam-an tiada cakap-cakap basa-basi yang tentu jika bertahan lama sebagaimana posisi mobil terjebak macet tepat jalan raya, pasti semakin membakar keadaan dalam mobil. Hati bad mood, fisik gerah sekali:v namun, Qorfath tak menyerah untuk mencairkan canggung, bisa kalian lihat saat dia menyahut bermaksud memulai obrolan walau 'kecil'.

"Sumpah Fath, gerah banget ya apalagi pas saya pulang lagi kecewa gini, kan?" Tanpa menoleh lawan bicara, sepatah kata sindiran Heru terlontar, tatapan fokus depan.

"I-Iya pak..." Malah mendadak sekarang Qorfath merasa canggung.

"Gimana Fath? Kaget gak saya mau ta'aruf sama Lidya?" Bertanya kesekian kali oleh Heru.

"..." Muka Qorfath masam lupa berkedip.

"Hmm?" Mengumpan perhatian pak takmir walau sangat lirih.

Nafas berat Qorfath terhembus. -"Tapi dia sudah masa lalu saya pak..." Menujukan senyuman tipis sambil menoleh.

Ekspresi diam mengarah depan, maka Heru berkata "Tapi kamu dengar sendiri kan tadi? Dia minta kamu yang gantiin saya, kalau beneran dia lihat kamu dan tau kalau kamu dulu yang sempat ngejar dia, apalagi hafalan kamu, pasti kamu bakal diterima sama dia."

"Saya juga baru sadar soal syaratnya pak." Berucap serius memalingkan Qorfath.

"Hmm?" Sekedar Heru melirik singkat.

"Syaratnya, saya mulai paham... Kalau itu dari kertas yang pernah dia kasih ke saya." Tangan kiri menyelip menuju saku, mengambil lipatan kertas.

"Ini pak." Mulailah Qorfath mengulurkan tangan, memberikan lipatan kertas barusan.

"Apa itu?" Awal-awal sikap Heru bodo amat, namun dia refleks menoleh karena penasaran.

"Kertas yang pernah Lidya kasih waktu dia pergi ke pesantren, saat kita masih SMK pak, udah lama banget dan saya masih simpan kertas ini. Pernah saya kasihkan Lidya, namun kertas ini kembali ke saya."

"Hmm..." Tanpa berpikir panjang, tangan kiri Heru menyahut kertas sekaligus membuka lipatan kertas tersebut.

"Ar-Rahman?" Menyentak Heru. -"Apa ini?" Tatapan selidik.

Membuat kedua orang tua Heru berpandangan penuh tanda tanya.

"Itu yang Lidya tulis pak untuk saya, dan saya mulai paham sekarang," ucap Qorfath melanjutkan.

"Paham karena?" Pertanyaan Heru.

Menyiapkan kata-kata berat, nafas Qorfath terhembus diikuti ekspresi lesu.

"Ya, saya paham kalau Lidya amanahkan kertas itu ke saya supaya saya hafalin isi surah-nya, lalu sekarang, ternyata hafalan itu sebagai syarat kalau mau ta'aruf dia." Sekilas senyuman Qorfath teralihkan lawan bicara.

"Jadi, dengan kata lain? Lidya udah tau kalau kamu bakal ngejar dia?"

Entah kenapa, obrolan meredam emosi Heru meski tau macet masih berlangsung, perlahan demi perlahan mobil melaju diantara kebanyakan kendaraan.

Pertanyaan Heru barusan lantas menggeleng-gelengkan kepala Qorfath, terkekeh kecil.

"Saya gak kepikiran kayak gitu pak, yang saya tau masih banyak laki-laki yang bisa hafalin surah itu, contohnya bapak sendiri kan?" Lanjutnya.

Maka Heru diam sejenak, menyandarkan diri pada kursi. -"Sudah lama gak ketemu Lidya kan?" Malah bertanya demikian, tidak merasa tersinggung sama sekali.

"Ya pak, dan saya belum ngerti kenapa bisa ketemu dia selama ini, dan kenapa baru kali ini." Tanggap Qorfath.

"Saya mulai ngerti..." Pandangan Heru mengarah jendela tepat sebelah.

"Ngerti apa pak?" Menolehkan Qorfath sebentar.

"Saya terlalu bangga sama diri saya sendiri, ternyata diatas saya masih ada yang lebih baik dalam hafalan. Jujur saja, tidak semua surah Al-Qur'an saya hafal, sebagian masih saya hafalkan sedikit demi sedikit. Jadi, teruntuk surah Ar-Rahman; Itu diluar dugaan saya, karena memang bener, hafalan surah Ar-Rahman saya masih belum matang, masih baru-baru ini saya hafalkan." Kejujuran Heru menjelaskan segala hal.

"Soal tadi..." Membuat Qorfath menunduk. -"Saya minta maaf pak kalau lancang melanjutkan hafalan, niat saya cuman pengen bantu bapak saat itu, gak ada niatan lain." Menatap lawan bicara 'segan'.

"Hmm!" gumam tawa Heru. -"Ya, gimana lagi Fath? Gak ada kesempatan lagi untuk saya, saya juga gak memenuhi syarat kan?"

Sejenak Qorfath diam. -"Insya Allah masih ada pak, saya bisa bantu bapak hafalin surah-nya dari sekarang."

"Kamu ngomong kayak gak ikhlas..." Alhasil Heru cengar-cengir sendiri, sambil menyerahkan kertas yang telah dia lipat kembali.

"Ini saya kembalikan."

"..." Betapa bingungnya Qorfath, refleks meraih lipatan kertas tadi.

"Insya Allah saya ikhlas pak, lagian yang saya tau Lidya udah kecewa sama saya pak..."

"Kalau kecewa, gak mungkin kan syaratnya masih sama?" Terlontar sindiran halus oleh Heru.

Senyuman tipis Qorfath terpampang, lama menatap depan. -"Saya cuman pengen ada yang lebih baik buat dapatin Lidya pak. Yaitu, bapak sendiri. Saya percaya bapak memang orang yang tepat." Menyelipkan lipatan kertas menuju dalam saku.

"Loh?" Malah bergeleng-gelenglah Heru, terkekeh-kekeh. -"Kan kamu tau sendiri saya ditolak, kan Lidya minta kamu selaku supir saya buat gantiin dia. Kamu denger kan?"

"..." Hanya diam, masih dengan senyuman 'mengambang' Qorfath. 

"Saya pasti bakal kalah sama orang yang setiap harinya berdoa buat Lidya. Apalagi kalau doa-nya udah langganan setiap hari sama yang di-Atas. Itulah yang buat saya paham, kalau semua yang terjadi tadi ada hikmahnya. Dan Allah merencanakan takdir lain untuk saya dan kamu Fath." Sosoran lanjutan Heru.

"Saya masih gak ngerti maksud bapak, seakan bapak dukung sama sama Lidya. Saya jadi ngerasa gak enak pak, saya gak pantes kalau harus debat sama atasan sendiri," ucap Qorfath.

"Hmmm..." 

Kali ini Heru menegakkan badan. -"Okay, saya akan pikirkan ini lagi." Menoleh singkat.

"Soal apa pak?"

"Saya akan ta'aruf Lidya sekali lagi..."

Menyentak kedua orang tua Heru...

Bahkan, Qorfath membuka mata lebar-lebar. 

"Yah, saya juga gak yakin dia akan nerima saya, saya pikir Lidya akan minta kamu yang gantiin saya nanti. Lalu dia bakal nerima kamu Fath? Walaupun gitu, saya gak nyerah, saya akan coba perbaiki hafalan saya, kamu bisa bantu kan Fath?"

"Eh! Bi-Bisa pak! Bisa, insya Allah!"

Renungan Qorfath 'pecah'.

"Alhamdulillah... Nah, gitu dong damai, lagian kan semua punya masa lalu, jadi jangan ungkit masa lalu, hahaha." Pak takmir menyahut.

Walaupun berat, lebih berat lagi Qorfath harus tersenyum menanggapi celetukan pak takmir. Tidak hanya dia, melainkan ibu kandung Heru dan Heru sendiri; seketika momen 'tegang' cair.

"Kira-kira rencana bapak buat nemuin Lidya lagi kapan?" Selang beberapa detik, Qorfath bertanya.

"Hmm, kurang tau. Saya pikir harus secepatnya, mulai nanti saya akan perbaiki hafalan surah Ar-Rahman saya, sekaligus minta kamu buat koreksi."

"Siap pak!👌"

Begitulah Qorfath merespon.

"Tapi, usahakan sebelum 1 Minggu loh ya? Berarti dimulai dari sekarang, kamu harus maksimalkan hafalan kamu nak!" Ibu kandung Heru menyahut.

"Eh? Kenapa buk emang?"

"Kan kamu udah janji bakal anterin bapak ibu ke bandara pas senin-nya buat pulang kampung. Jadi, sebelum itu, ibu-bapak bisa jadi wali kamu buat ke rumah pak Ghofur," jelas sang ibu.

"Eh iya!" Tamparan dahi menyadarkan Heru. -"Astagfirullah, iya juga pak, buk! Kan Heru harus pesen tiket dari sekarang. Hampir-hampir Heru lupa, astagfirullah."

"Bakal jadi tantangan nih pak!"

Tanggapan Qorfath disusul kekehan.

"Bener, waduh! Sebelum senin, sudah harus hafal nih surah. Bismillah..." Respon Heru gak jauh beda, ekspresi terlihat bahagia dari sebelumnya.

"Bismillah pak..." 

(Qorfath)

"Bismillah, lancar..."

(Pak takmir)

"Aamiin!"

Langsung Heru menengadah, terseruak harapan besar.

[[Gelap]]

•••

Bruk!

"Alhamdulillah!"

Memulai kejelasan, dari depan hadangan punggung seorang laki-laki berkaos ketat biru dengan selampiran pakaian formal tersanggah bahu. Dia berlalu tak lama setelah memutar bagian dalam mesin mobil, yakni mulai menutup kap mesin depan.

"Dicoba pak!"

Dari depan, seruan jelas Qorfath. 

"Okay!" 

Ckss!

Brrmmm!

Nggrrmmmmm!

Gelegar mesin suara mobil hitam siap dinyalakan Heru sesudah instruksi Qorfath.

Saaasshhhh!

Justru, wanti-wanti momen harapan malah terputus hampa oleh nyala asap yang menye-roak keluar kap mesin depan.

"Astagfirullah!" Muka Heru tertutup jari-jemari tangan, menggeleng frustasi.

"Masih belum nyala?" 

Tanya pak takmir masih duduk 'anteng' bersama sang istri.

"Belum pak, kok bisa-bisanya mogok. Udah gitu, tadi macet banget lagi! Allahu Akbar..." Keadaan Heru bersandar pada kursi dalam mobil, hanya bisa mengelus-elus dada berusaha sabar.

"Gimana pak?" Tiba-tiba Qorfath memunculkan diri dari balik kaca bagian tempat duduk supir yang setengah terbuka.

"Ya, gak gimana-gimana... Mobilnya mogok, mana udah sore," keluh Heru.

"Hmmm, udah jam setengah 3 sore."

Ungkap pak takmir menengok jam tangan.

"Suruh orang buat dorong mobilnya lagi pak?" Tetap Qorfath berusaha memberikan saran.

"Gak usah, tadi udah dicoba, masih aja mesin mobilnya mogok, kayaknya ada mesin yang rusak," tolak Heru 'menjelaskan.

"Kalau gitu, saya coba tanya orang dekat sini ya pak? Barangkali ada tempat bengkel."

"Ya, jangan lama-lama Fath!"

"Siap pak!"

Dari kejauhan, sorotan memperlihatkan Qorfath lari kecil menuju arah warung makan diatas trotoar belokan jalan.

Sementara, panas hangat sengatan matahari sore membiaskan gelap mobil menjadi emas sedikit putih bercahaya. Begitu pula pohon-pohon kelapa dari setiap tautan per-tautan atas trotoar. 

Kalau dilihat lebih luas lokasi mereka, tampak hanya ada jalan dan rerumputan panjang tak terurus, namun beberapa kilometer belakang mereka dari kanan maupun kiri adalah kompleks perumahan tinggi-besar bak istana dengan beberapa mobil terparkir dekat rumah masing-masing. Hanya saja, suasana tampak sepi, tiada terlihat penghuni rumah sejauh berlalu selain saat beberapa warga berhasil bahu-membahu mendorong mobil hitam hingga mesin sempat kembali menyala beberapa kilometer saja sebelum mati ditempat saat ini terlihat.

Depan mobil, adalah hamparan jalan belokan ke kanan, bagian batasan belokan jalan sekedar trotoar dan dinding rumah tua tak sedap dipandang. Terhias gravity-gravity tulisan random penuh simbol.

Lalu, ciri berikut adalah warung makan yang dihampiri oleh Qorfath saat ini, beruntung, mengikuti arus jalan, akan ada mushola tua diantara dua persawahan. Namun, cukup mengherankan kemana mobil itu berhenti? Entahlah, bisa saja mereka melewati 'jalan tikus' usai melalui macet panjang tadi? Mungkin demikian, karena sampai sore tiba, bisa dibayangkan berapa jam mereka terjebak macet, yang pada akhirnya kejadian menjengkelkan yakni mobil mogok turut menghambat waktu serta mood perjalanan mereka. 

Kembali fokus, sorotan dari jauh, seusai mengobrol, tampak Qorfath berjalan sedikit lebih cepat mendekati kediaman mobil.

"Gimana Fath?" 

Pintu mobil Heru tutup, dia memilih beranjak keluar.

"Kalau kata pemilik warungnya sih, bengkel emang jauh dari lokasi ini pak, beberapa kilometer lah. Cuman beberapa meter dari warung ada mushola." Jawaban Qorfath 'berhenti membelakangi bagian depan mobil.

Langkah Heru terhenti persis posisi Qorfath, nafas berat terhembus dengan menjadikan kedua tangan sandaran belakang.

"Gimana ya... Pcsk!"

Celingak-celinguk kesal.

"Terus, kata pemilik warungnya apa lagi?"

"Cuman nawarin suruh mampir ke warungnya pak, buat makan."

"Mogok gini malah makan."

"Mungkin kedua orang tua bapak laper? Bisa mampir ke warung kayaknya." Begitulah Qorfath memberikan saran.

"Kayaknya sih sampai Maghrib nih. Kamu belum makan kan dari siang tadi? Cuman minum Mizone." Heru terkekeh kecil sambil menepuk-nepuk pundak si supir.

"Loh, kalau saya gampang pak. Kalau makan ya monggo aja, magrib mobil bisa dititipkan diwarung ini, terus kita sholat magrib di mushola dekat sini."

"Yakin kamu?"

Penuh keyakinan Qorfath menjawab "Yakin yakin aja pak."

Dep! Selagi mereka berdua mengobrol, terlihat pak takmir telah keluar dari mobil seusai terdengar suara pintu mobil tertutup.

"Gimana?" Tanpa basa-basi pak takmir bertanya.

"Nihil pak! Bapak laper kan? Makan dulu semuanya gimana pak?"

"Hmmm..." Sejenak pak takmir diam, menyingkapkan lengan tangan demi melihat jam.

"Terserah. Bentar... gimana buk? Kita makan dulu aja ya?" Posisi pak takmir agak menunduk, dia membuka pintu mobil untuk bertanya pada sang istri.

"Ya ayo aja pak kalau gitu."

Sang istri setuju.

"Okay, mampir ke warung aja dulu semua," ucap Heru berjalan melewati Qorfath.

•••

Melihat perubahan kontras langit dari cerah, orange, menuju petang biru ke-ungu-unguan. Mengikuti pula arah matahari bersembunyi, tergantikan petang hari setelah senja. Yakni, lebih mudah kita sebut Maghrib'.

[[Pukul 18.40]]

Drap...

Drap...

Drap...

Tidak lebih dari sedikit langkah, terdengar gempar sahutan sepatu kulit masing-masing kaki berjalan mengikuti arus belokan jalan, jika melihat sorotan atas, keempat anggota tenang berjalan keluar dari mushola berkubah satu tersebut. Keempat dari mereka ialah Heru (paling depan), Qorfath (sebelah kiri Heru), dan kedua orang tua Heru (sebelah kanan 'anak sendiri).

Dari tebakan langkah mereka berlawanan dari jalan depan. Bagaimana mungkin Heru meninggalkan mobilnya sendiri dekat warung sebelumnya? Paham kan? Usai makan sore tadi, mereka melanjutkan sholat Maghrib sekaligus sholat isya' jamaah ke mushola tak jauh dari pemberhentian mobil. Terpaksa berjalan walau sedikit jauh, ya karena mobil benar-benar mogok atau mati total.

Beberapa langkah meninggalkan lokasi mushola, dari beberapa warga kompleks, beberapa bapak-bapak berpakaian taqwa sempat terhenti, dihentikan oleh Heru maupun Qorfath yang tampak sibuk bercakap-cakap dengan mereka. Tidak hanya seorang saja, yang berlalu 'sigap mereka hadang untuk ditanya, sebagian lari karena mengira mereka copet:v walaupun berjumlah sedikit, tak mengapa. Hanya saja hasil sangat nihil dengan jalan keluar, begitulah jika terjebak dilingkungan orang-orang kaya, mereka lebih terlihat didalam rumah enggan mengulurkan tangan (menolong), ya tidak semua memang. Tapi, kalian tau sendiri kan? 🤭

"Kalau gitu makasih ya pak🙏"

"Iya, pak sama-sama..."

Seorang warga laki-laki berlalu usai Qorfath bertanya.

"Hmm..." Alhasil melangkahkan kaki Qorfath agar mendekati langkah sang tuan.

"Satu-satunya bengkel ya cuman sama dengan yang disebutin pemilik warung waktu itu pak, sebagian warga juga bilang gitu. Kalau ojek sekitar sini juga gak ada." Percakapan Qorfath menjelaskan.

Sambil menyelipkan kedua tangan menuju saku celana, tampak ekspresi 'teduh' bimbang Heru, tetap melangkah.

"Gak mungkin juga kan kita nginap di rumah warga disana? Atau lapor satpam dekat kompleks ya?" Heru menambahkan.

"Jangan aneh-aneh! Gak lihat kamu kalau kompleks tadi gelap banget pas Maghrib tadi? Apalagi isya' gini! Takutnya ada preman atau begal kan bahaya!" Larangan pak takmir.

"Terus gimana dong pak? Yakin kita nunggu sampai gelap gini?" 

"Ya, sabar dulu... Ini ponsel bapak mati. Ponsel ibu kamu juga sama. Coba telepon kenalan kamu."

"Telepon siapa pak? Kenalan Heru kan lokasinya jauh-jauh semua. Lagian baterai ponsel Heru sisa sedikit, 15% doang nih. Mana diwarung tadi akses internet lemot banget." 

"Eh iya! Fath? Ponsel kamu gimana? Sinyal ful dan masih ada internet kan? Atau ada kenalan gitu yang dekat lokasi ini?"

Mulailah Qorfath menjawab "Kalau sinyal sih insya Allah aman pak, internet juga hemat, cuman gak ada kenalan lagi saya pak, kan ini hp baru udah setahun lalu. Jadi kontak saya saat ini cuman pak Heru, dan bapak kandung pak Heru."

Ekspresi pak takmir berubah datar, membatin demikian "Ponsel baru setahun lalu_-".

"Wah, susah kalau gini..." Kian frustasi ekspresi Heru.

"Atau gini, kita balik ke mobil dulu dan dicoba lagi barangkali nyala, gimana?" Pak takmir menujukan saran.

"Boleh sih pak." Anggukan setuju Heru. -"Tapi, kalau semisal tanya sama warga sih percuma."

"Bismillah pak, moga nyala lagi..."

Timpal Qorfath.

"Aamiin..."

Bersamaan meng-aamiin-kan.

Terus berjalan...

Dan sorotan menjauh dari atas...

[[Gelap]]

•••

Nggrrrmmmm!

Ckssss!

"Haaahhh..."

Nafas berat seseorang terhembus lelah. Terlebih geram mesin bukannya tambah kuat, justru melemah tengah-tengah, lalu kembali mati.

Saat semua jelas, Heru terlihat duduk membungkuk dengan kedua tangan erat menggenggam mesin kendali. Pandangan mengarah bawah sesaat, sebelum menengadah memejamkan mata.

"Ya, Allah!"

Dan Heru segera membuka pintu mobil, memilih keluar.

"Belum bisa ya?"

Pak takmir bertanya, posisi berdiri disamping kiri mobil bersama istri tersayang.

Lebih dekat pintu mobil, berdirilah Qorfath posisi kedua tangan erat menyentuh pinggang. Menatap heran mobil hitam tersebut.

"Belum bisa pak, percuma! Udah dicoba berpuluh-puluh kali, kalau mesin-nya error ya percuma!" jawab Heru berintonasi kesal, menyamakan kediaman Qorfath selaku supir pribadi.

"Fath?" Sejenak setelah diam, panggilan Heru kepada Qorfath.

"Iya pak? A-Ada apa pak?"

Terkekeh segan.

"Laper ya kamu? Kok ngelamun gitu?" Sambil menunjuk.

"Kok tau pak? cuman warungnya udah tutup. Hehe..." Menyengir lebar.

"Iya juga. Hadeh! Warung apaan tuh, dari Maghrib malah tutup!" Pandangan Heru menoleh arah warung. 

Memang benar, keadaan warung gelap gulita alias tutup dengan tirai menutupi keadaan dalam, cahaya terang hanya terdapat dari tiang lentera bohlam lampu 'belakang mobil. Bisa ditebak, persiapan tutup warung dimulai sejak awal maghrib tadi, lantas menjadikan alasan kenapa mereka berempat sudah di mushola tanpa telat sholat.

"Daripada mikir bikin pusing, gimana sementara nanti istirahat didalam mobil? Besok pagi kita cari solusinya bareng, soalnya udah gelap sih tempatnya." Pak takmir celingak-celinguk ngeri.

"Ya, aku sih terserah pak. Mau gimana lagi. Ya kan?" Bagi Heru setuju-setuju saja.

Beralih pada Qorfath, tampak diam tenang memperhatikan atas, ya tentu memperhatikan kanan-kiri. Beralih lagi pandangan Qorfath pada bohlam lampu yang berkedip-kedip menambah kesan mengerikan 'tempat pemberhentian mereka.

"Bismillah..." lirih mengucapkan ketika mengusap-usap tengah dada.

•••

Berlalu beberapa jam sejak awal niat Heru bersama keluarga pergi menuju desa untuk berta'aruf dengan santriwati bernama Lidya, yang akhirnya berujung penolakan mentah-mentah. Slide adegan yang berbeda, menyorot bulan bulat sempurna, menyala sendirian tanpa hamparan awan maupun kerumunan bintang selain gelap akan sunyi.

"Krik!

Krik!

Krik!"

Hanya saja jangkrik masih bersahutan merengik' pertanda betapa larut malam panjang tersebut.

Menunjukkan [[Pukul 03.12]]

Menjelang pagi-pagi buta, meski gelap masih melanda.

"Huaaahhhh!"

Awal seseorang tidur bersandar dalam mobil, tiba-tiba menguap panjang.

"..." Yups, Heru terbangun dari tidur lelap-lelah-nya. Langsung menoleh tempat duduk supir.

"Eh? Loh?" Mengejutkan Heru karena Qorfath tidak ada disebelahnya. Lebih khawatir lagi, Heru sigap menoleh belakang.

"Alhamdulillah..."

Lebih lega ketika melihat kedua orang tua-nya masih tidur terlelap di kursi bagian belakang. Walau mereka bersebelahan, tetapi tertidur menghadap arah berlawanan. Memilih menjadikan kaca pintu sebagai sandaran walau keras.

"Jam berapa ini?" 

Usai celingak-celinguk, ponsel dalam genggaman segera Heru nyalakan.

"Jam 3?" 

Mengusap-usapi mata.

"Qorfath dimana ya ini?" Perasaan Heru sedikit khawatir.

"Fath?" Pandangan Heru mengarah warung, namun hanya sepi dan imbuhan suara jangkrik.

"Coba telepon!"

Tiba-tiba...

Ting!

Ting!

Ting!

Ting!

Ting!

Dering ponsel bukan sembarang dering alarm, melainkan dering telepon seseorang secara mendadak' mengganti wallpaper ponsel Heru.

"Loh?! Kok?" 

Menolehkan Heru antara kanan, kiri, depan, dan belakang. Waspada lebih dahulu sebelum mengangkat telepon.

Tepat layar ponsel, tulisan nomor dan nama tertera begitu jelas.

"Pak Ghofur? Ngapain?"

Memang mengherankan bagi Heru! Pukul 3 pagi, pak Ghofur menelepon entah untuk tujuan apa. 

Tek! Refleks penasaran membuat Heru mengangkat panggilan, lalu segera membuka pintu mobil untuk beranjak keluar. Hanya ada obrolan antara Heru serta pak Ghofur.

"Halo pak? Assalamualaikum? Ya? Ada apa pak?"

Kian intonasi ucapan Heru melemah sebelum hilang menyisakan gerak-gerik kecil bibir menandakan obrolan berlangsung senyap.

•••

[[Pukul 03. 21]]

Berganti kemana keberadaan Qorfath, yakni mushola serupa tempat sembahyang sebelumnya.

Lebih dekat, terlihat Qorfath duduk Tasyahud ditengah-tengah shaf depan mushola terbuka tersebut, lama menengadah dengan kedua tangan terangkat sejajar posisi kepala.

"Ya Allah, perkenankan doa hamba-Mu ini, ya Rabb... Tunjukkan pilihan terbaik dari kebimbangan hamba, berikan jalan keluar dan pertolongan-Mu. Jika dia memang orang yang tepat untuk hamba, maka kuatkan hati hamba, dan jika bukan dia, maka ikhlas-kan hati hamba ini dalam melihat takdir yang kau tetapkan. tidak ada yang kebetulan, selain semua ini bagian dari rencana-Mu. berikanlah kesabaran yang cukup, dan berikan jawaban terbaik atas doa-doa hamba selama ini. Aamiin... Ya Rabbal A'lamin."

Kedua tangan Qorfath merendah, menyelesaikan sepatah kata akhir-an sebuah doa yang dia panjatkan setiap selesai sholat tahajud.

Lalu, menunduk agak lama...

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

"A'udzu billahi minasy syaithonir rojiim."

(Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari setan yang terkutuk.)

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Bismillahirrahmanirrahim..."

Seperti biasa, Qorfath memulai bacaan ta'awudz. Hendak muroja'ah berbagai pilihan surah hafalan.

•••

[[Pukul 03.25]]

Selang 13 menit...

Perbedaan aktivitas sepertiga malam antara Heru dengan Qorfath jelas kita lihat.

"Jadi gitu ya pak? Bapak yakin?"

Meneruskan adegan panggilan antara Heru bersama pak Ghofur. Posisi Heru tepat depan mobil, mendudukinya, mengandalkan salah satu telapak tangan sebagai sandaran.

Tanpa memperlihatkan seluk-beluk maupun perawakan pak Ghofur selain suara 'kemersik' speaker.

"Iya saya yakin, udah dari pagi tadi sejak kamu balik gara-gara ditolak anak saya, saya udah memikirkan hal ini. Alhamdulillah, selesai sholat tahajud dan istikharah tadi, hati saya sudah mantap dan udah ngerasa damai. Saya yakin sama Qorfath, supir kamu." Begitulah ucapan pak Ghofur.

"Tahajud dan istikharah ya pak?" Ekspresi Heru merenung tunduk. Andai saja Heru Istiqomah sholat tahajud, pasti pertolongan Allah lebih dekat.

"Ya, bener. Hati saya udah nerima semisal Qorfath ta'aruf dengan Lidya. Ngomong-ngomong, saya boleh minta nomor orang tuanya Qorfath?" Lanjutan sepatah kata pak Ghofur.

"Nomornya? Wah, gak punya pak. Qorfath yang cerita sendiri, kedua orang tuanya udah gak ada dari SMK pas dia ada di desa." Kebenaran masa lalu Qorfath terungkap langsung oleh Heru.

"Loh! Innalilahi wa innailaihi ro'jiun... Baru tau saya! Wah, jadi dia gak punya wali nanti pas mau ta'aruf Lidya?"

"Hmm... Soal wali, insya Allah saya siap jadi wali-nya Qorfath pak, sama kedua orang tua saya sendiri. Alhamdulillah, untuk kecukupan, Qorfath udah bisa dibilang mampu, dia juga udah punya rumah sendiri dekat kompleks rumah saya."

"Alhamdulillah, wah... Kaya juga tuh si supir kamu." Tertahan kekehan sementara. -"Maaf, ya her, kalau saya ngerepotin, telepon kamu dijam-jam segini. Ya gimana lagi? Habis selesai sholat istikharah, saya langsung yakin buat obrolin soal Qorfath ke kamu. Daripada niatan saya hilang kan? Hehehe."

"HmHmHm..." gumam kecil berserta senyuman simpul Heru.

"Gimana ya pak..." Mengusapi sekali tengah hidung, lalu berpaling menatap arah warung.

"Justru saya yang minta maaf karena ngecewain anak bapak. Mungkin bapak juga kecewa kan sama saya? Ya, tapi setelah bapak telepon saya... Saya mulai yakin, kalau selama ini Qorfath dan Lidya itu insya Allah udah ditakdirkan berjodoh. Karena kalau saya denger cerita Qorfath soal Lidya, dan dari bapak. Apalagi mereka sempat saling ketemu kan? Ya, saya pikir ini udah bagian dari takdir Allah."

"Aamiin... Aamiin. Makasih loh ya udah didoain. Ya, Alhamdulilah kalau ternyata jalannya begini. Ya, saya coba menerima, dan saya gak bisa terus egois sama sikap saya. Saya pengen lihat anak saya bahagia, sebelum saya jadi tanah."

"Astagfirullah, jangan gitu ngomongnya pak! Umur cukup Allah yang tau. Bismillah aja pak, lancar."

"Hahahaha!" Celetukan tawa pak Ghofur. -"Betul juga kamu. Ya udah, saya mau matiin teleponnya. Maaf ganggu, posisi kamu masih dirumah kan ini? Kalau pagi nanti kamu ajak keluarga kamu dan Qorfath buat mampir ke rumah saya gimana? Saya ingin pagi ini acara ta'arufnya."

"Pagi nanti? Beneran nih pak?" Tentu menyentak Heru. -"Wah." Mulai terkekeh segan.

"Iya, pagi nanti. Bisa kan? Soalnya selain hari itu saya ada acara. Ya supaya hati saya tenang aja kalau pagi nanti beneran bisa, terserah jam berapa asal pagi, saran saya sih jam 9-an atau 10-an." jelas pak Ghofur.

"Emm... Anu pak..." Heru menggaruk-garuk pipi. -"Posisi saya gak lagi dirumah, dan semisal nanti pagi pun sebenarnya bisa. Cuman, ini mobil mogok alias mati total dari sore pak, jadi... Saya, kedua orang tua saya, dan Qorfath kejebak mogok. Dan sampai saat ini kita milih tidur di mobil."

"Loh?! Dari sore? Dimana posisi kamu sekarang?!" Betapa paniknya pak Ghofur.

"Bapak tau arah Jl. Melati, setelah ngelewatin pesantren Al-Mubin Akbar? Nah! Kan itu masuk gang pak, ngelewati sawah, terus kompleks perumahan. Saya ada disana pak."

"Tau-tau... Ciri-ciri lokasi kamu saat ini?"

"Kalau ciri-ciri, ehm... Bapak tau warung setelah perumahan itu? Kan itu satu-satunya warung pak. Nah, mobil saya berhenti disitu. Yang dari lurus mau ke belokan jalan. Jalan searah itu pak!" Sangat detail Heru menjelaskan.

"Wah! Alhamdulillah!" 

Ungkapan mengejutkan pak Ghofur.

"Loh? Kok Alhamdulillah pak?!"

"Maksud saya, Alhamdulilah. Kan jam 1 malam tadi saya belum tidur, karena ada janji sama supir truk yang biasa anterin sapi-sapi saya ke penjual. Kebetulan, truk itu menuju ke lokasi yang kamu jelasin. Berangkat setelah subuh nanti. Mungkin bisa kamu tunggu? Nanti bisa saya telepon supir-nya supaya ke lokasi kamu sekalian."

"Alhamdulillah! Ya Allah!" 

Betapa terkejut dan bersyukurnya Heru.

"Beneran nih pak?" Antusias pertanyaan bahagia.

"Ya, Alhamdulilah beneran! Saya juga kaget kok bisa posisi kamu pas sama tujuan supir truk saya nanti."

"Tapi pak, mobil saya? Masa diderek sama truk?"

"Gampang itu! Urusan mobil kamu, peralatan bengkel lengkap didalam koper yang dibawa oleh supir truk saya, sengaja saya suruh dia bawa terus buat jaga-jaga kalau ada masalah mesin atau kerusakan lain. Jadi, insya Allah supir truk saya bisa bantu buat perbaikin mobil kamu, bismillah. Dia juga jago soal mesin, cuman gak cocok sama anak saya soalnya gak ganteng, hahahaha!"

"Bapak, bisa-bisanya bercanda dijam 3 pagi." Meskipun Heru tertawa kecil atas lelucon terstruktur pak Ghofur:v

"Ya, udah. Saya matiin telepon ya ini? Tunggu supir truk saya, palingan sampai ke lokasi jam 7-an pagi. Gak papa kan? Kalau berangkat habis subuh sih, lebih cepet biasanya, soalnya jalanan sepi."

"Siap pak! Gak masalah. Makasih banget loh pak! Alhamdulillah, saya seneng banget dengernya. Ya udah pak, baterai ponsel saya juga tinggal sedikit."

"Assalamualaikum."

Titt! Panggilan sengaja pak Ghofur akhiri enggan mendengar cerocosan Heru barusan.

"Eh? Wa-Walaikumsalam..."

Perlahan tangan Heru merendah, menyelipkan ponsel ke saku.

Beberapa detik...

setelah obrolan panggilan berakhir.

Drap, drap...

Tap... Tap.

(Derap langkah seseorang mendekat.)

"Loh pak?" Dialah Qorfath, terkejut melihat sang tuan telah bangun dan ada didepan mobil. Sementara, posisi Qorfath menghampiri dari arah sama pula.

"Fath? Darimana kamu?"

Pertanyaan wajar Heru.

Sebelum menjawab, terlebih dahulu Qorfath cengengesan. -"Itu pak, biasa... Tadi kebangun karena kebelet buang air, dan mampir ke mushola sekalian sholat tahajud. Maaf pak kalau nyariin. Orang tua bapak? Masih tidur nih?"

"Ohh, pantesan saya bingung kok kamu gak ada pas saya bangun. Iya, mereka masih tidur dimobil." 

Obrolan mereka berdua berlangsung.

"Sholat tahajud ya?" 

Batin Heru langsung merubah ekspresi menjadi muram.

"Tapi, mohon maaf nih pak. Kok bapak sampai keluar mobil? Ada apa ya pak? Apa nyariin saya?" Berbagai pertanyaan Qorfath.

"Ohh, itu... Ehem!" Perlu kekuatan bagi Heru untuk menjelaskan.

"..." Ekspresi Qorfath 'mewanti-wanti menunggu.

"Sini Fath."

Intonasi Heru terdengar serius tatkala dia maju selangkah demi selangkah sambil melambai mengajak lawan bicara.

"Ya pak?"

Tanggap Qorfath maju menyamakan langkah sang tuan.

"Saya barusan ditelepon..."

"Wah? Sama siapa pak?"

"Pak Ghofur."

Jawaban singkat Heru, tatapan sinis.

Seketika, kedua mata Qorfath terbuka lebar.

"Kok bisa pak?" Wajar Qorfath bertanya demikian.

"Ya, beliau tanya soal kamu." Mulailah Heru tersenyum simpul.

"Wah, bapak kalau bercanda, hehe."

Malah Qorfath mengira candaan belaka, sebagaimana dia terkekeh begitu saja.

"Beneran ini. Serius..." 

Bahkan, ekspresi Heru memang serius.

"..." Langsung bungkam erat mulut Qorfath.

"Kenapa pak, pak Ghofur nyariin saya? Minta saya jauhin Lidya ya pak? Hehe, saya ngerti pak, atau minta bapak mecat saya?"

"Hush! Astagfirullah. Udah tegang aja kamu! Gak, bukan soal itu." Keadaan Heru santai menjadikan kedua tangan sandaran belakang.

"Pak Ghofur telepon saya karena dia udah mantap dan izinin kamu buat ta'aruf Lidya nanti pagi. Dan kabar baik lainnya, nanti pagi supir truk pak Ghofur datang kesini buat bantu perbaiki mobil," jelas Heru terus terang.

"Allahu Akbar! Beneran nih pak?! Ya Allah!" Terkejutlah Qorfath.

"Beneran, dan saya udah sampein yang sebenarnya ke kamu." 

"Tapi pak? Kan bapak yang mau ta'aruf sama Lid—"

"Gak!" 

Sengaja Heru memotong. -"Saya dari awal ngerasa udah gak cocok."

"Tapi pak, saya..."

Rasa tak enak hati menyelimuti Qorfath, ekspresi bahagia tadi menyusut perlahan.

"Beneran gak masalah. Kalau dipikir-pikir, apa salahnya sih kamu ta'aruf sama Lidya? Hanya karena saya tuan kamu, bukan berarti kamu malah ngerasa gak enak sama saya. Saya juga setuju aja kok," ucap Heru.

"Ya, saya gak enak aja pak. Ngerasa gak pantes aja pak, apalagi kan Lidya awalnya emang tujuan bapak buat ta'aruf."

"Lupakan Fath. Justru saya ngerti kalau kamu ini emang cocok sama Lidya. Hafalan kamu bagus, Lidya aja minta kamu gantiin saya waktu itu kan? Dan hari ini pak Ghofur setuju kalau kamu ta'aruf sama Lidya. Masa kamu tolak takdir Allah? Saya siap jadi wali kamu. Kalau kedua orang tua saya denger ini, toh pasti mereka setuju-setuju aja."

"Betul banget! Allah tau pilihan yang baik buat Heru sama kamu Fath." Tiba-tiba seseorang bersuara berat menyahut.

Menolehkan Heru serta Qorfath...

Bertapa terkejutnya mereka berdua melihat pak takmir bersama sang istri sudah keluar dari dalam mobil dengan keadaan berdiri tepat samping kiri mobil.

"Loh? Kok udah bangun pak?"

Demikian Heru bertanya heran.

"Jelas toh! Tidur di mobil bukan kebiasaan bapak ibuk, hehehe," jawab pak takmir terkekeh-kekeh.

"Jadi bapak ibu denger obrolan Heru sama Qorfath tadi atau dari Heru ngobrol sama pak Ghofur?"

"Dua-duanya, iya gak buk?" 

Menanggapi pak takmir suaminya, membuat sang istri alias ibu kandung Heru senyum-senyum sendiri.

"Ya, Alhamdulillah kan? Kalau hasilnya gini, bapak sih setuju."

"Nah! Bapak aja setuju, apalagi saya Fath," timpal Heru.

"..." Begitulah Qorfath, antara senang dan tak menyangka. Dia diam merenung, namun senyuman tipis menjuntai jelas.

"Kalau gitu... Saya mau sujud syukur dulu pak." Ya, begitulah Qorfath ketika hal baik menimpa dirinya.

"Silahkan! Yang lama juga gak papa, hahaha!" Dengan senang hati pak takmir mengizinkan.

Perlahan penuh ke-iklhas-an, terlihat Qorfath bersujud syukur menghadap arah berlawanan dari kiblat, memang sujud syukur boleh menghadap manapun asal hati ikhlas dan penuh rasa syukur terhadap-Nya.

"Alhamdulillah, ya Allah... Semua jadi mudah." Terdengar lirih untaian ucapan syukur Qorfath selama sujud, meng-erat-kan kening.

Dan, dia bangkit berposisi Tasyahud. -"Alhamdulilah..." Segera berdiri walaupun ekspresi harapan menengadah langit.

Heru pun tersenyum bahagia melihat hal tersebut, dia memilih ikhlas dan tabah atas takdir yang Allah berikan. Ya, memang siapa yang berani melawan takdir Allah? Suka tak suka, takdir Allah adalah tetap. 

"Saya jadi belajar banyak dari kejadian ini," batin Heru.

Sementara batin Qorfath tatkala tersenyum bahagia mengeluarkan lipatan kertas dari dalam saku celana. "Lid! Tunggu gue!" Menggenggam erat lipatan kertas tersebut.

Bersambung...