"kamu bisu?!" Sentak Risa. Risa bingung kenapa selama satu minggu ini anaknya tak pernah berbicara, apakah anaknya kehilangan suaranya?
"Heh! Saya itu dari tadi ngomong sama kamu!" Sentak Risa, lagi.
Dania yang sedari tadi diam tetap diam, ia hanya fokus memasukan pakaiannya ke dalam Carrier miliknya. Dania tak memiliki koper atau mungkin tas besar selain Carrier yang sering ia gunakan untuk mendaki. Semasa SMA ia sering mendaki bersama teman-temannya.
"Kamu beneran bisu?" kali ini suara Risa berubah menjadi biasa, tak ada bentakan atau kebencian di dalam nada suaranya.
"Risa, ada apa?" lelaki paruh baya berdiri di ambang pintu, sedari tadi ia mengamati sang istri yang terus mengajak anak perempuannya agar bicara.
"Ini Mas, Dania ga mau ngomong!" Jawab Risa dengan menahan kekesalannya.
Herman mendengus kasar, ia tahu. Setelah keributan satu minggu yang lalu anaknya lebih banyak diam, bahkan jika dilihat-lihat Dania tak pernah mengeluarkan suaranya lagi.
Herman mendekat. "Nak, kamu kenapa? Lalu ini, kamu mau kemana?" Tanya Herman.
Dania menoleh, kemudian tersenyum hangat. Satu detik kemudian ia menggeleng pelan sembari mengeluarkan dua lembar kertas berawarna putih.
"Baca," Dania berucap tanpa suara. Ia hanya menggerakan bibirnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Herman mengernyit aneh, tangannya membuka salah satu kertas itu. Matanya menatap tajam ke arah tulisan tangan Dania, ia tak suka dengan isi surat itu. Di dalam surat itu Dania mengatakan kalau ia akan pindah ke Jakarta dan kerja disana. Ada satu hal yang membuat Herman marah. Dania akan menjadi orang bisu, Dania tak akan mengeluarkan suaranya.
"Jangan aneh-aneh! Hidup di kota sangat berbahaya apalagi kalau kamu menjadi orang bisu. Mau dihina kamu?!" Sentak Herman. Sungguh ia sangat kesal dengan jalan pikiran anaknya itu.
Risa yang sedari tadi diam terbelalak mendengar perkataan sang suami, Bisu? Yang benar saja. Jadi orang normal seperti biasa saja kadang Dania dicai maki, lalu ini? jadi orang bisu? apa Dania bodoh?
"Dasarnya bodoh, ya bodoh! otak kamu dimana? Kamu yang kayak gini aja sering dicaci maki, apa kabar dengan diri kamu yang bisu itu?!" Risa menyaut dengan suara meninggi. Ia berjalan mendekati Dania dan menarik rambut Dania dengan kasar.
"Ngomong! Saya tahu kamu ga bisu, dasar anak kurang ajar!" Kesal Risa. Dania sendiri hanya meringis tanpa suara, ia juga tak menyangka kalau usahanya untuk menjadi bisu berhasil.
"Risa cukup!" Herman berteriak, keadaan berubah menjadi hening. Herman memegang dadanya yang bergemuruh, ia sangat marah tapi ia bisa apa. Semua keputusan ada di tangan anaknya. "Kali ini biarkan saja, Risa! Biarkan dia merasakan perihnya kehidulan, dan kamu Dania! Setiap bulan harus mengirim kami uang. Jangan sampat tidak! kau ingat itu." Herman berucap tegas, dirinya sudah muak dengan kelakuan anak perempuannya. Semasa Dania SMA dirinya selalu dipanggil ke sekolahan untuk membebaskan Dania dari guru BK, dan untuk saat ini ia tak akan peduli lagi.
"Tapi Mas-"
"Cukup, saya tidak peduli lagi Risa! Ini kan yang kamu mau? Dania sudah mendapatkan pekerjaan jadi biarkan saja," potong Herman dengan cepat. Setelahnya pergi meninggalkan Risa dan Dania.
"Ck! Kenapa kamu ga mati aja sih?!" Geram Risa, nadanya sangat menusuk.
Dania mendongak, ia menatap punggung sang Ibu dengan pandangan miris. bibirnya tersenyum tipis, namun matanya menggambarkan kebencian yang luar biasa. Ia berfikir setelah ia bekerja ia akan membungkam mulut orang tuanya menggunakan uang.
Dania berdehem pelan. "Gua jadi takit sendiri, kalo nanti suara gua ilang beneran gimana ya?" Gumam Dania, kemudian terkekeh menanggapi ucapannya sendiri.
"Lu beneran mau akting bisu ya?"
Dania menoleh mendengar suara itu, kemudian mendengus kasar. "Ga usah ikut campur!" Ketus Dania.
Anjas sang adik menatap sendu kakaknya. Sejujurnya ia kasihan dengan kakaknya, namun ia bisa apa? Apalagi gengsinya cukup besar untuk akrab dan berbicara dengan kakaknya.
"Mending lu keluar!" Usir Dania.
Bukannya keluar, justru Anjas mendekat. "Gua kasih ini, buat pegangan lu di Jakarta. Satu lagi, ini. Tolong dipake!" Ketus Anjas, kemudian keluar dari kamar kakanya.
Dania tersenyum simpul menatap tiga lembar uang seratus ribuan dan satu gelang berwarna hitam. Ia tahu kalau adiknya punya Gengsi yang sangat besar, ia sangat paham seperti apa adiknya.
kali ini Dania bertekad, ia akan bekerja dengan sunggug-sungguh. Ia berjanji ia akan bekerja tanpa melihat Waktu.