Hari memerah semerah darah.
Begitulah dibenak pikiran seorang anak yang terduduk seperti paku yang menancap. Matanya yang tak bergerak tak mencerminkan hatinya yang tengah berisi perasaan yang diaduk-aduk. Kini, hari benar-benar merah—, lebih tepatnya warna di sore hari. Sore hanya berlalu sebentar, karena sekarang sedang ada pada di bulan Laym, satu bulan dari empat bulan pada penanggalan Teknoz. Dan, dunia sedang pada satu musim yang disebut 'malam panjang'.
Uh, bukan, ini tidak akan membahas itu.
Anak itu, seharusnya.
Keil.
Itu namanya, perkenalan secara langsung.
Meskipun kita bisa mengenalkannya secara tidak langsung, lebih baik memberitahukan di awal, untuk membuat satu kesan yang lebih kuat untuk diingat. Benarkah begitu? Tentu saja aku tak tahu jawabannya. Carilah sendiri, sebelum reset terjadi, dan internet akan mengalami disfungsi—
Bukan, bukan, hanya candaan, mari kita lanjutkan.
Apa yang kau rasakan, jika sebuah pembantaian yang melibatkan keluarga, teman-teman, dan sahabat-sahabat yang sangat kau cintai terjadi tepat di depan matamu? Yah, aku tak ingin menginterogasi kalian. Tapi, inilah perasaan yang dipikul oleh Keil.
Dia ingin bergerak dan membela, namun mentalnya tak siap. Sehingga, ia hanya menyaksikan kehororan dari balik persembunyiannya. Dadanya panas karena dendam, dan apa yang bisa ia lakukan untuk menunaikannya? Sungguh, Munasian dan Teknologisian memiliki perbedaan jurang yang jauh. Tidak, tidak sampai situ apa yang dipikirkan Keil. Keil hanya merasa lemah karena selalu hidup enak tanpa persiapan untuk kondisi seperti ini, sebagai anak-anak yang belum dewasa.
Keil sangat membenci kematian, terutama kematian yang disebut sebagai 'bunuh diri'. Satu mimpi Keil adalah menjadi pemimpin desa, dan memakmurkan desanya. Ia sendiri tak tahu menahu tentang fakta penjajahan di Dunia Tengah. Jadi, kedatangan Tekno menjadi sebuah kejutan pahit buatnya.
Dan, hal terpenting dari yang membuatnya frustasi adalah ia menyaksikan kematian ibunya yang sangat mengenaskan di bawah telapak-telapak kotor para Tekno. Akhirnya, ia sekarang tahu, tak ada roh terkutuk di desanya. Penjahat-penjahat tersebut tak lain adalah manusia sepertinya.
"Tekno! Akan kubuat kalian—"
Benar, omong kosong. Keil tahu itu. Keil masih kesal, kenapa orang-orang di desa membohonginya. Roh jahat bernama Tekno? Kebodohan tingkat apa yang mengendalikan mulut-mulut mereka. Keil menyesal berpikir seperti ini, karena ibunya yang sangat ia cintai dan menyelamatkannya juga menceritakan hal yang sama.
Seandainya..
Ia berharap semua ini hanya mimpi.
Seandainya..
Ia mulai mengharapkan apa yang ia benci.
Seandainya..
Ia berangan-angan satu hewan buas akan membuatnya bertemu dengan ibunya.
Seandainya..
Keil ingin mati. Tangannya bergetar tak sabar. Sayang, tak ada benda yang cocok untuk memenuhinya.
"MENGAPA SEMUA INI HARUS TERJADI PADAKU?!"
Keil berteriak sekuat tenaga mengalahkan suara aliran sungai yang berwarna merah bertumpuk. Satu karena waktu, satu lagi karena peristiwa yang baru saja terjadi. Sekitar seribu orang lebih dimutilasi dan dibuang begitu saja ke dalam sungai.
Keil mencoba menenangkan dirinya dengan merebahkan tubuh kecilnya. Keil sedikit berharap bahwa nyawanya mungkin akan melayang di saat dia tertidur. Suara air yang menenangkan tetap berpengaruh pada Keil meski bau-bau anyir memenuhi tempat itu. Itu karena Keil tak begitu peduli dengan bau yang menyengat di sana.
Keil menarik nafas, kini sebagian bau anyir mulai tercium oleh hidungnya. Tapi, ia lebih cepat mati suri dari bau yang akan mengganggunya. Keil tertidur pulas dengan posisi kedua tangan bertumpuk di atas dadanya dengan posisi berbaring. Perlahan dunia yang gelap setelah menutup kedua matanya, kini ia menyaksikan sesuatu dalam warna yang terang.
***