Chereads / The Guardians : Seeker / Chapter 6 - Badai

Chapter 6 - Badai

"Ha ha ha. Gadis apakah kepalamu terbentur." Mendengar apa yang dikatakan Lilyan, Z tertawa seolah mendengar sebuah lelucon. "Jika monster itu disebut Bintang Sihir bukankah yang kamu lakukan tadi adalah sihir dan kamu adalah.., hah?!"

Tertegun dengan leluconnya sendiri, Z memandang Lilyan dengan tidak percaya.

Seolah membuktikan pikirannya, Lilyan berkata. "Benar, penyihir. Lebih tepatnya aku seorang Sorcerer."

"...."

"Ini gila."

...

Menyelusuri hutan, Z memikirkan apa yang dikatakan Lilyan tadi. Jika benar dengan apa yang dia katakan bahwa monster-monster itu masih dalam tahap bayi, bukankah segalanya akan menjadi lebih gila lagi. Mereka sudah kesulitan selama sepuluh tahun untuk melawan bayi, lalu bagaimana dengan yang remaja atau yang lebih buruk lagi yang dewasa.

Memikirkan ini saja sudah membuat dia pusing. "Haaah, untungnya aku tidak sendiri dan ini bukan hanya urusanku. Mungkin aku harus melepaskan masalah ini untuk ditangani para tua bangka itu."

Membayangkan bagaimana reaksi para tua bangka itu ketika mengetahui hal ini membuat Z bersemangat. Ini benar-benar menjengkelkan bagaimana mereka membuatnya bolak-balik untuk melakukan tugas sedangkan keturunan mereka menikmati semua kenyamanan.

Mungkin semuanya akan lebih baik jika mereka hanya diam dan duduk manis menikmati kerja keras orang tua mereka atau yang lebih hebatnya jika mereka memutuskan untuk ikut membantu beberapa tugas, dia mungkin akan bersujud penuh syukur jika itu benar-benar terjadi.

Sayangnya, mereka hanya sekumpulan idiot yang penuh dengan dirinya sendiri, menganggap bahwa dirinya lebih mulia dari yang lain. Mereka melakukan apapun yang mereka mau dan menyebabkan banyak masalah yang pada akhirnya dia dan kelompok-kelompok lainnya yang harus membereskannya.

Untungnya tidak semua keturunan para tua bangka itu idiot, ada dari mereka yang cukup berprestasi. Salah satu dari mereka memiliki karisma yang hebat dan dia juga seorang Penggunaan kemampuan dengan serangan terkuat. Dia kemudian menarik orang-orang dengan karismanya dan membentuk kelompoknya sendiri yang kemudian menyelesaikan beberapa tugas yang dinilai cukup sulit.

Tapi bukannya idiot-idiot itu mencontoh perilakunya, mereka malah menjadi semakin sombong seolah mereka yang melakukannya. Dan parahnya si "pria karismatik" itu tidak meluruskan kesalahan mereka, dia sebaliknya meminta mereka untuk melanjutkan kesalahan yang mereka lakukan dan itu membuatnya sakit kepala.

"Yah, setidaknya berita ini bisa menjadi balas dendam kecilku."

Melihat ke belakang dan memikirkan pertemuannya dengan Lilyan, dia merasa semua itu seperti ilusi seolah-olah pertemuan itu tidak pernah terjadi. Ini seperti dua orang yang hidup di dunia yang sama dan di waktu yang sama tapi tidak ditakdirkan bertemu. Oleh karena itu, tidak peduli seberapa banyak mereka berusaha, apapun yang mereka lakukan mereka tidak akan bertemu karena itu adalah takdir, tapi seolah terdapat tangan di balik layar yang mencoba menghubungkan kedua takdir membuat mereka dapat bertemu.

"Takdir ya." Menggelengkan kepalanya, Z melanjutkan perjalanannya dan tidak mengetahui ada sepasang mata yang masih mengamatinya. Dan tidak hanya itu, pemilik sepasang mata itu juga mengucapkan kata yang sama persis dengannya.

"Takdir." Gumam Lilyan sambil memegang kalung yang ada di lehernya. Setelah melihat Z menghilang dalam pandangannya dia perlahan berbalik dan sosoknya tiba-tiba diselimuti kabut. Seperti sebuah fatamorgana dia perlahan-lahan mulai berubah dari apa yang sebelumnya gadis cantik berambut pirang menjadi gadis biasa yang dapat ditemukan di mana saja. Bahkan tidak akan pernah ada orang yang menyadari bahwa dia sebenarnya seorang gadis yang sangat cantik dari sosoknya yang sekarang ini.

...

Kembali di perkemahan, meskipun tidak ada perubahan pada suasananya namun beberapa penyintas masih menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Sebagian besar dari mereka terutama para orang tua pernah mengalami banyak kejadian yang mengancam nyawa, apalagi mereka sudah kehilangan hitungan berapa kali mereka sudah mengalaminya sejak peristiwa wabah dimasa lalu terjadi. Terlebih lagi, mereka bahkan membangun semacam kesadaran bawaan, sebuah insting, yang mana ketika kejadian mengancam kehidupan mendekat mereka akan diperingatkan sehingga mereka dapat mengambil tindakan yang akan mereka lakukan ketika ancaman itu mendekat.

Di sisi lain di sebuah tenda yang tidak jauh dari para penyintas, duduk dua pemuda yang saling berhadapan di sekitar api unggun. Salah satunya berbadan besar dan yang lainnya sedikit kurus dan dia juga sedikit pendek dibandingkan temannya itu, masing-masing dari mereka berambut hitam pendek dengan kulit sawo matang tapi berbeda dengan pemuda berbadan tegap yang memiliki rambut yang lurus, pemuda kurus itu memiliki rambut yang bergelombang.

"An katakan di mana Kakak."

"Sudah kukatakan AKU.. TIDAK.. TAHU! Sampai kapan kamu akan terus bertanya." An menjawab dengan jengkel ketika dia melihat Tempo yang duduk di seberangnya sambil memanggang daging di api unggun bertanya setiap lima menit.

"Bukankah kamu yang terakhir kali melihatnya."

"Itu bukan berarti aku tahu di mana dia."

Melirik ke arah para penyintas An bertanya. "Ngomong-ngomong..., berapa lama menurutmu mereka akan sampai."

Melirik ke arah itu, Tempo menjawab. "Mungkin pagi seperti kata mereka. Jika dia yang memimpin Blizzard kali ini maka tidak ada keraguan mereka akan tiba beberapa jam lagi."

Merenungkan perkataannya, An menganggukkan kepalanya. "Kamu benar."

"An!"

Tiba-tiba sebuah panggilan menyentak An dan Tempo dari obrolan. Melihat ke arah itu mereka melihat Abir datang dengan tergesa-gesa dan dari tatapannya jelas sesuatu yang salah sedang terjadi.

"Di mana Bos." Melihat sekeliling, Abir bertanya dengan terengah-engah.

Saling melirik dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, An menjawab. " Dia masih belum kembali."

"Sial." Mengutuk dengan pelan, Abir berbalik dan menuju tenda yang tidak jauh dari sana.

"Hei tunggu. Apakah ada yang salah."

Masih dalam keadaan berlari, Abir menjawab. "Bangunkan Bahr dan bersiap-siap."

Melihat bagaimana Abir bertindak keduanya mau tidak mau merasakan ketegangan di udara.

"Bangunkan Bahr, aku merasa perkataan Kapten mungkin akan terjadi." Berdiri, An berkata pada Tempo dan berjalan menuju tenda penyintas.

"Haaah." Menghela nafas, Tempo berdiri dan memasuki tenda. "Baru saja aku pikir semuanya akan baik-baik saja."

Tidak lama setelah Tempo memasuki tenda sebuah suara terdengar jelas dari dalam. "Bangun gendut! Ada pekerjaan yang harus dilakukan."

Setelah beberapa waktu berlalu mereka berkumpul, tidak termasuk Z ada lima orang dalam kelompok dan sekarang mereka berkumpul di satu tempat.

"Jadi, apakah kamu sudah tenang." Audrey yang sekarang menggantikan Z menatap Abir, dan bertanya. "Jelaskan situasinya jika kamu sudah."

Mengganggu pelan, Abir memandang mereka semua dan berkata. "Baru saja, meskipun itu kecil aku mendeteksi pergerakan. Dan itu tidak datang hanya dari satu arah..."

Berhenti sejenak, dia menatap mereka satu persatu dan melanjutkan. "Itu datang dari segala arah dan mulai mengelilingi kami."

Sedikit kejutan muncul di ekspresi mereka, meskipun Z telah memberitahu mereka bahwa monster-monster itu menunjukkan kecerdasan tetapi mendengar sendiri bahwa monster-monster itu mengelilingi mereka masih membuat mereka terkejut.

Setelah kejutan kecil itu, masing-masing dari mereka menatap Audrey menunggu tanggapan darinya. Dalam kelompok mereka ada aturan tidak tertulis bahwa Audrey akan menggantikan Z jika dia tidak hadir.

Ada dua alasan yang mendasarinya, pertama karena kedekatan Audrey dengan Z dan kedua adalah kekuatannya. Tidak ada yang tahu seberapa kuat dia, tapi yang pasti selain Z tidak ada dari mereka yang bisa mengalahkannya meskipun mereka bekerjasama.

Menatap Abir, Audrey bertanya dengan pelan. "Berapa banyak yang mengelilingi kita."

Menutup matanya, Abir terdiam sejenak. Dia kemudian membuka matanya dan menjawab. "Sekitar dua puluh."

Mengangguk lembut, Audrey bertanya lagi. "Berapa banyak waktu yang kita miliki."

"Kurang dari tiga puluh menit."

"Tiga puluh menit." Gumam Audrey dengan pelan.

Melihat ke selatan, dia dengan erat mengepalkan tinjunya mekipun ekspresinya tidak berubah, tindakannya jelas menunjukkan betapa tertekannya dia.

"Kita akan pergi. Bangunkan mereka." Menarik napas dalam-dalam, Audrey mulai memberikan perintah. "Lima menit, aku akan memberikan lima menit untuk persiapan."

"Bagaimana dengan Kakak." Tanya Tempo.

Tanpa sedikitpun emosi Audrey berkata. "Biarkan dia sendiri, kita tidak punya banyak waktu."

"Tapi..." Merasakan tatapan dingin darinya, Tempo merinding dan memutuskan untuk diam.

"Ayo." Menepuk pundaknya An menariknya menjauh dari sana.

Menyaksikan semuanya menjauh darinya, Audrey melihat ke kejauhan dan bergumam pelan. "Kuharap itu hanya perasaanku saja."