*Ugh*
*Uhuk*
*Uhuk*
*Uhuk*
"Kamu tak apa? Bisakah kamu melanjutkan."
"I..iya."
"Bagus, sebentar lagi kita akan sampai di Sektor C."
Memandangi reruntuhan yang menghijau di sepanjang jalan, terbesit dalam pikiranku mengapa semuanya bisa menjadi seperti ini. Aku yakin dulu tempat ini sangat indah berbeda dengan sekarang, tempat yang seharusnya penuh dengan aktivitas meskipun terasa sedikit monoton tapi itu lebih baik dari sekarang. Sejauh mata memandang yang aku lihat hanyalah reruntuhan tanpa ada vitalitas, sebuah tempat yang semakin kamu pandang semakin suram hatimu seolah-olah akhir sebuah era.
Aku tidak jelas tentang situasi saat itu, yang aku tahu bahwa semuanya berawal dari sebuah fenomena. Hujan meteor, itulah fenomena yang terjadi, berbeda dengan hujan meteor yang biasanya, hujan meteor ini terjadi serentak di seluruh dunia. Bahkan cahaya matahari pun tidak bisa menghalangi kecemerlangannya.
Aku tidak yakin bagaimana tempat lain menanggapinya, tapi aku ingat bahwa kami semua keluar dari rumah melihat fenomena itu. Pemandangan itu masih tertanam dalam benakku, langit waktu itu sangat berbeda dari biasanya seolah-olah... seolah-olah menyampaikan sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku waktu itu, tapi ketika pemandangan itu muncul dari benakku, aku merasa khawatir bahkan... sedikit takut. Aku merasa seperti langit sedang sedih, berduka atas kesengsaraan kami.
Menghilangkan pikiran yang berkecamuk dalam benakku. Aku mengalihkan pandangan, hanya untuk melihat para penyintas yang masih tetap berjuang untuk bertahan hidup. Di mata mereka yang kulihat hanyalah keputusasaan, ketakutan, dan kesedihan. Tapi lebih dari itu aku melihat keinginan dan harapan, sebuah keinginan akan hidup dan berharap bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin meskipun itu hanya secercah harapan palsu mereka akan tetap memegangnya.
"Kapten." Sebuah panggilan menyentakku dari lamunan.
"Bagaimana? Bisakah mereka bertahan." Mengalihkan pandangan, aku menyaksikan anggota kelompokku mendekat. Dia terlihat seusiaku sekitar 17 atau 18 tahun, tubuh tegap mengenakan pakaian hijau gelap dengan rompi pelindung dada, di pinggangnya terdapat kujang dan pedang.
"Buruk, mungkin hampir setengahnya tidak bisa bertahan jika terus melanjutkan." An itulah nama panggilannya, aku tidak tahu nama aslinya dia hanya menyuruh kami memanggilnya An.
"Begitu ya." Gumamku sambil melihat matahari yang sudah di ufuk.
"Panggil Tempo, suruh dia mengintai di sekitar. Jika ada sesuatu yang salah segera kembali, utamakan penyintas." Melihat sekeliling, "kau dan Audrey rawat mereka yang terluka. Buat Bahr membuat api dan memasak, dan panggil Abir kemari."
"Baik Kapten." Menanggapi perintahku An pergi tanpa repot-repot bertanya dan meninggalkanku yang masih merenungkan peristiwa beberapa hari ini, untuk beberapa alasan aku merasa khawatir tentang situasi saat ini.
"Bos." Memulihkan ketenangan, aku melihat Abir yang sudah berada di hadapanku. Dia berperawakan sedang, sedikit pendek dengan kacamata bundarnya, namanya Abirama kami memanggilnya Abir. Jika kamu melihatnya dengan sekilas kamu akan mengira bahwa dia adalah kutu buku. Namun, siapa sangka bahwa kutu buku ini akan selalu menyembunyikan pisau lempar di tubuhnya, dan tidak hanya itu dia cukup ahli dalam beladiri, meskipun aku tidak tahu beladiri macam apa itu.
"Apakah kamu memiliki sesuatu dengan aku Bos." Dengan gaya seorang kutu buku, dia duduk di depanku dan mengambil buku entah dari mana.
"Bagaimana menurutmu dengan mereka ketika terakhir kali kamu menghadapinya?" Duduk di seberangnya, aku menanyakan dengan santai.
"Yah seperti biasa, meskipun sulit jika ditangani dengan tepat kita bisa mengalahkan mereka dengan mudah." Mengerti apa yang kutanyakan, Abir menjawab dengan santai setelah mengetahui itu bukan sesuatu yang serius.
"Ingat lagi dan bandingkan itu dengan pertama kalinya kamu melawan mereka." Melihat bahwa dia masih terlihat santai aku mencoba menyadarkannya bahwa ini adalah sesuatu yang serius.
"Yah... jika kamu ingin membandingkannya maka mereka mungkin terlihat sedikit berbeda dari biasanya, yang kuingat dulu mereka lebih brutal, lebih beringas. Tapi kemarin mereka sepertinya terlihat berhati-hati, seolah-olah ...," tertegun, Abir menutup bukunya dan bergumam, "seolah-olah lebih cerdas."
Menyadari bahwa segalanya terasa menakjubkan, dia mengalihkan pandangannya padaku. "Serius?"
Aku mengangguk sebagai jawaban, "yah, meskipun ini hanya sebuah dugaan. Tapi tidak ada salahnya untuk berhati-hati."
"Bos, jika apa yang kamu katakan itu benar maka kita akan selesai."
"Karena itu aku menyuruh Tempo untuk mengintai," melihat ke langit, "kamu kembali dulu dan untuk berjaga-jaga kurasa kamu harus menghubungi markas."
Merenung sejenak Abir menjawab, "bagaimana aku harus menjelaskan kepada atasan."
"Katakan saja aku menyuruhmu meminta bantuan, dan untuk tanggung jawab aku akan menanggungnya."
Melihat Abir pergi aku memutuskan untuk melihat keadaan sekitar, "haaah, sepertinya ini malam lain tanpa tidur."
...
Tahun 2xxx, sebuah fenomena menggetarkan bumi terlihat di seluruh dunia. Sebuah hujan meteor yang diyakini berasal dari pecahan planet mati di sisi lain galaksi. Manusia percaya bahwa peristiwa ini akan mengantarkan mereka ke era peradaban yang lebih maju, tapi siapa sangka bahwa apa yang disebut sebagai kepercayaan oleh mereka malah menjadi penyebab kehancuran mereka sendiri.
Di tahun yang sama di bulan Desember, sebuah wabah mulai menyebar menyebabkan semua aktivitas terhenti. Ketika orang-orang menyalahkan pemerintah karena kurangnya penanganan terhadap wabah, politisi menduga bahwa ini adalah konspirasi. Di sisi lain tidak ada yang menyadari bahwa sedikit dari mayoritas yakin ini semua terjadi akibat dari hujan meteor.
Tahun 2xxx, tiga tahun setelah menyebarnya wabah kini manusia ditengah masa pemulihan. Tidak ada yang memperkirakan bahwa butuh tiga tahun untuk menangani wabah. Setelah segalanya sudah ada di jalurnya, tanpa peringatan apapun terjadi gempa di seluruh dunia. Mereka tidak mengharapkan adanya perubahan di kerak bumi yang mengakibatkan gempa terjadi. Bagaimanapun, gempa tidak mengakibatkan banyak korban tapi itu membawa manusia ke era kegelapan, sebuah peristiwa langit hitam di mana dunia tanpa adanya listrik.
Bulan Agustus tahun 2xxx, tiga bulan setelah gempa. Manusia kini mencari berbagai metode untuk memulihkan sumber energi listrik, mereka khawatir jika ini sampai berlarut-larut akan terjadi konsekuensi yang serius bahkan mungkin kematian. Entah untuk menjawab harapan mereka atau yang lainnya listrik menyala tepat di bulan Agustus tapi bukannya kelegaan yang mereka dapatkan kengerian lah yang menunggu mereka.