Maria berjalan tergesa memasuki kelasnya, dia bahkan tak menghiraukan makian orang yang ditabraknya. Tujuannya saat ini adalah kelasnya. Dia harus cepat-cepat masuk sebelum Miss Claire berada di tempat.
Tapi langkahnya menjadi pelan tatkala dia melihat Miss Claire sudah di kelasnya. Dia menjadi ragu ingin masuk atau tidak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu.
Tok tok tok..
Seisi kelas menoleh kearahnya termasuk dosennya itu. Maria hanya bisa tersenyum meringis, sahabatnya yang duduk paling pojok tertawa karena melihat kelakuan Maria. Gadis yang biasanya bar-bar takut pada sosok dosen killer yang selalu menurunkan nilai jika terjadi sesuatu kesalahan di matanya.
Miss Claire, seorang wanita paruh baya dengan badan sedikit gempal. Rambut di atas bahu dan memakai kacamata itu menoleh ke arah pintu. Melihat salah satu mahasiswanya yang telat datang hampir setengah jam.
"Tidak sekalian membolos?" ucap Miss Claire ketus.
Maria berjalan masuk dengan kaki pincang, membuat Miss Claire menaikkan salah satu alisnya.
"Sorry Miss, ada kendala tadi di jalan. Saya mengalami kecelakaan," ucap Maria dengan wajah memelas.
Miss Claire menghela nafas pelan menatap Maria. "Obati saja terlebih dulu lukamu. Nanti minta salinan tugas temanmu agar kau tidak tertinggal nilai." ucapnya.
Maria bersorak senang dalam hati, sebenarnya yang lecet hanyalah di bagian tangannya. Kakinya tidak sakit, tapi celana yang dipakainya tadi robek akibat terseret di aspal jalan. Membuat Miss Claire menjadi iba padanya.
"Thankyou Miss," ucapnya lalu berbalik meninggalkan kelas masih dengan jalan yang pincang.
Tapi sesampainya di luar kelas, dia menutup mulutnya agar tawanya tidak terdengar, dia kembali berjalan normal dan menuju ke uks. Lukanya mulai terasa sakit.
Ternyata kelakuan Maria sempat dilihat oleh sahabatnya Ashley, dia menggelengkan kepala dan tersenyum.
Saat ini Maria berada di kantin, duduk sendirian di bawah pohon yang rindang. Dia melepaskan jaketnya yang sudah robek itu, melihat luka di tangannya yang memerah dan terasa perih. Pasti sebentar lagi akan terasa kaku, pikirnya.
Tiba-tiba seorang lelaki duduk di depannya membawa minuman dan menaruhnya di atas meja. Dia menyerngit ketika melihat luka Maria, dia kira tadi Maria hanya acting agar tidak dimarahi dosennya, tapi ternyata dia salah, Maria benar-benar terluka.
"Kau kenapa?" tanya lelaki yang bernama Ashley itu.
"Memangnya aku kenapa?" ucap Maria bertanya balik.
Ashley segera menyentil dahi Maria, selalu saja dia menutupi apa yang terjadi padanya.
"Kemarilah, ikut aku," ucap Ashley berdiri dan menarik tangan Maria.
"Hei, minumanku." rengek Maria
"Nanti akan aku belikan lagi," ucap Ashley tetap menarik Maria, dia menoleh dan tersenyum ketika melihat wajah cemberut Maria.
"Jangan ditarik-tarik gini dong, emang gak sakit apa?" ucap Maria mengerucutkan bibirnya.
"Benarkah? Ku kira kau tidak bisa merasakan sakit," ucap Ashley mengejek dan Maria semakin mengerucutkan bibirnya.
Selalu saja dia tidak bisa mengelak perkataan Ashley. Mereka sudah kenal sejak bersekolah di SMA. Tak disangka ternyata Ashley mengikuti dirinya di universitas ini padahal dirinya mendapat beasiswa dari universitas yang lebih terkenal. Tapi dia menolak dan lebih memilih bersama Maria.
Ternyata Ashley membawa dirinya ke uks, Maria mengerutkan dahinya, dia sudah dari sini tadi, kenapa Ashley membawanya kembali ke sini. Tapi dia menurut saja dan mengikuti Ashley yang mendudukannya di salah satu ranjang di sana.
Ashley bergerak mengambil perlengkapan P3K di lemari yang tergantung di atas ranjang itu. Setelahnya dia menarik kursi dan duduk di depan Maria. Mengambil kapas dan menuangkan sedikit alkohol di kapas itu, lalu mengarahkan ke luka yang ada di tangan Maria.
"Auw.. Ini perih. Gak bisa pelan-pelan apa?" tanya Maria bersungut kesal.
Tapi yang ditanya hanya diam, masih melakukan pembersihan pada luka Maria. Ashley menempelkan handsaplas pada luka yang kecil, saat dia akan menempelkan perban, Maria menolak.
"Kau ingin aku terlihat seperti orang cacat ya!" serunya menyipitkan mata menatap ke arah Ashley.
Ashley hanya tertawa melihat itu, dia bergerak membereskan kotak P3K itu, meletakkan kembali ke tempat semula. Dia berdiri di depan Maria dan mengacak-acak rambut Maria.
"Ish, kau ini," ucap Maria menampik tangan Ashley yang menurutnya membuat rambutnya berantakan.
"Kau ada kelas lain?" tanya Ashley
"Masih ada 1 mata kuliah lagi," ucap Maria turun dari ranjang. Berjalan keluar dan diikuti oleh sahabatnya itu.
"Baiklah, aku akan menunggumu. Setelahnya temani aku membeli buku ya," ucap Ashley yang berada di belakang Maria.
Maria ingin mengiyakan ajakan Ashley, tapi seketika dia ingat mempunyai janji dengan orang yang ditabrak dengannya pagi tadi.
"Aku tidak bisa, aku ada janji nanti," ucap Maria menggeleng.
"Dengan siapa?" tanya Ashley, dia berjalan mensejajari langkah Maria dan menoleh ke arahnya.
"Dengan orang yang aku tabrak tadi," ucap Maria lagi.
"Ingin ku antar?" tanya Ashley.
"Tidak usah, lagi-pula nanti aku tidak kerja. Ayah memintaku pulang lebih awal," ucap Maria, dia melihat jam di tanganya. Sudah waktunya dia masuk ke kelas selanjutnya.
"Apa dia kasar lagi padamu?" tanya Ashley, dia sangat tahu bahwa ayah tiri Maria selalu kasar pada Maria. Beberapa kali Maria datang ke kampus dengan wajah yang lebam, setiap ditanya dia selalu mengelak. Akhirnya Ashley yang penasaran saat itu datang ke rumah Maria dan menanyakan pada pembantu di rumah Maria saat rumah lenggang.
"Tidak Ashley, kenapa kau cerewet sekali hari ini," ucap Maria mengerutkan dahi.
"Sudahlah, aku akan masuk kelas dulu. Sampai jumpa besok," imbuhnya lalu berlari meninggalkan Ashley, terkadang dia berbalik dan mengejek sahabatnya itu.
Ashley berdecak, selalu saja Maria tidak pernah berbicara jika menyangkut kehidupan pribadinya. Tapi inilah yang disukai Ashley dari Maria. Meskipun wanita itu terlihat rapuh, tapi dia berusaha tetap kuat dan menutupinya. Sudah dari lama Ashley menyukai Maria, tapi dia tidak ingin persahabatan mereka hancur karena perasaannya. Karena dia tahu, sampai kapanpun Maria hanya menganggapnya seorang sahabat.
**
Siang harinya, Maria pergi ke alamat kantor yang diberi lelaki tadi pagi itu. Berniat untuk tanggung jawab karena kejadian pagi tadi. Dia mengendarai montornya, melaju mengikuti gps di handphonenya yang terpasang di setang montor.
Saat dia sampai di tempat tujuannya, dia menganga lebar melihat gedung yang sangat tinggi itu. Dia meletakkan montornya dan membuka helm yang dipakainya. Bergerak masuk ke dalam, dan langsung menuju meja resepsionis.
"Selamat siang, saya ingin bertemu dengan pak.." ucap Maria terpotong, dia melihat kartu nama itu dan membacanya. "Maxime Jaccob Ainsley," lanjutnya menoleh ke arah wanita di depannya.
"Apa anda sudah membuat janji?" tanya wanita itu.
"Em, belum sih. Tapi katakan saja, saya yang menabraknya tadi pagi," ucap Maria menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.
Dia sangat malu dengan penampilannya, celana jeans yang robek dengan kaos oblong yang sedikit kusam, tas ransel digendongannya, tak sepadan dengan para wanita di sini yang terlihat cantik dan berpenampilan rapi.
Terlihat wanita di depannya ini melakukan panggilan, setelahnya dia memberitahukan sesuai perkataan Maria lalu menutup panggilan itu.
"Mari ikut saya, anda sudah ditunggu oleh pak bos," ucap wanita itu sopan.
Wanita itu lalu mengajak Maria untuk mengikutinya, mereka masuk ke dalam lift dan lift pun bergerak naik ke atas. Sesampainya di atas, mereka langsung memasuki ruangan yang ada di depannya itu.
Maria mengagumi tempat ini, dindingnya terbuat dari kaca membuat pemandangan di luar tampak terlihat sangat indah. Dia bisa melihat gedung di sekitarnya yang sejajar dengan tempat ini. Sibuk dengan dunianya sendiri Maria sampai tidak sadar jika pintu yang ada di depannya itu sudah terbuka.
"Saya permisi dulu bos," ucap wanita yang mengantarkannya itu pergi meninggalkan Maria yang berada di depan ruangan.
Maria masuk ke dalam, melihat lelaki yang tadi pagi, duduk di meja kerjanya sedang menatapnya dari atas sampai bawah, membuatnya menjadi risih.
"Aku kira kau tidak akan datang," ucap lelaki itu yang ternyata adalah Jake.
"Maaf pak, saya tidak akan lari dari masalah. Saya minta maaf karena datang terlambat, saya masih ada urusan tadi di kampus," ucap Maria, dia masih berdiri di depan meja itu.
"Duduklah," ucap Jaccob.
Maria pun menuruti, dia langsung duduk di depan lelaki itu.
"Karena yang kau tabrak tadi adalah mobil terbaruku, kau harus mengganti rugi. Bayar semua perawatan mobilku." ucap Jaccob.
"Berapa yang harus saya ganti rugi pak?" tanya Maria.
Jake menyerahkan sebuah kertas rincian biaya perawatan mobilnya, Maria segera membacanya dan seketika mulutnya menganga lebar.
"600 juta?" ucapnya tercekat. Dia menatap tak percaya pada lelaki di depannya ini.
"Ini semua yang harus saya bayar?" ucap Maria lagi, dia benar-benar kaget dengan biaya yang tertulis di kertas itu.
"Ya, dan jika kau tidak bisa membayar aku akan melaporkanmu ke polisi," ucap Jaccob angkuh.
"Tapi... Tapi pak, bolehkah saya mencicilnya. Saya akan membayar semuanya tapi tolong beri saya waktu," ucap Maria.
"Tidak ada waktu, dan kau harus membayarnya sekarang." ucap Jaccob.
"Baiklah, silakan penjarakan saja saya," ucap Maria dengan lesu. Dia menyenderkan tubuhnya, sedikit membungkuk hingga Jake tidak bisa melihat wajahnya. Dari mana dia mendapat uang sebesar itu, biarlah di penjara saja, Maria pasrah.
Jaccob menatap wanita yang ada di depannya ini, bodynya oke juga. Bagaimana jika dia dibiarkan bekerja di sini sebagai sekretarisnya, toh dia juga bosan melihat wajah Kenzo terus-terusan. Dia butuh penyegaran dengan meletakkan wanita di sampingnya setiap bekerja.
"Baiklah, bagaimana jika kau bekerja sebagai sekretaris? Kau bisa membayar 3/4 gajimu untuk membayar hutang." ucap Jaccob.
Maria mendongakkan kepalanya, dia menatap lelaki di depannya. Dia sedikit memikirkan ucapannya. Jika dia bekerja di sini bagaimana dengan kuliahnya dan pekerjaan yang sebelumnya. Tapi jika dia menolak, apakah sanggup Maria hidup di penjara.
"Tapi, bolehkah saya meminta syarat?" ucap Maria.
Ucapan wanita itu membuat Jaccob menaikkan sedikit alisnya, dia ingin mendengar syarat apa yang diajukan oleh wanita itu.
"Saya hanya minta jadwal siang, karena pagi hari saya harus berkuliah terlebih dulu, saya tidak ingin putus kuliah," kata Maria pelan, dia takut permintaannya akan ditolak dan lelaki ini akan membatalkan tawaran itu.
"Hanya itu?" tanya Jaccob.
"Ya pak, hanya itu." ucap Maria bersemangat.
"Baiklah, besok datang lagi ke kantor di jam seperti ini." kata Jaccob.
Maria mengucapkan terimakasih pada lelaki itu, meskipun handphonenya dikembalikan, tapi kartu identitasnya masih ditahan. Tak apalah, yang penting Maria tidak jadi masuk penjara.
Maria berpamitan pada calon bos barunya itu, lalu keluar dari ruangan. Dia akan pulang, satu masalah selesai dan setelahnya dia akan menyelesaikan masalah dengan ayahnya.
**
Sinokmput