Jaccob juga kaget melihat wanita yang saat ini berdiri di samping Petra. Dia mengulum senyum, ternyata keberuntungan jatuh kepadanya. Dia memang tertarik pada Maria saat di kantor tadi, tak disangka dia adalah hadiah yang dimaksud oleh Petra.
"Selamat malam Tuan," ucap Petra sedikit menunduk ketika Jaccob duduk di sofa tunggal di depannya.
Jaccob hanya menganggukan kepalanya. Dia masih melihat ke arah depan, bukan ke Petra, melainkan Maria.
Maria menyipitkan mata tatkala melihat tatapan Jaccob yang baginya sangat mesum itu. Tapi dia akan diam, menilai situasi terlebih dahulu.
"Jadi ini hadiah yang kau maksud? Menarik juga," ucap Jaccob tersenyum sinis.
"Ya Tuan, dia akan menjadi milik anda." ucap Petra.
Maria segera menoleh ke arah ayahnya. Apa maksud perkataannya itu.
"Mulai sekarang, kau akan menjadi wanita milik Tuan Jaccob," ucap Petra yang melihat tatapan bertanya dari Maria itu.
"Apa maksudmu, kau hanya bilang aku akan bekerja di sini. Bukan untuk menjadi wanitanya," suara keras dari Maria membuat Jaccob menaikkan salah satu alisnya. Wanita itu tambah menarik ketika sedang marah, pikir Jaccob.
"Ya, kau akan bekerja sebagai wanitanya," ucap Petra dengan singkat.
"Kau anggap aku jalang? Siapa kau sampai berani melakukan ini!" teriak Maria marah pada ayah tirinya itu.
"Jangan lupakan yang di rumah Maria," ucapan singkat dari Petra itu membungkam Maria.
"Maaf Tuan, dia sedikit liar. Saya mohon pamit terlebih dulu," ucap Petra pada Jaccob.
Jaccob hanya menggerakkan tangannya dan membuat Petra langsung pergi dari sana. Meninggalkan dirinya dan Maria di ruangan ini.
"Dunia memang sangat kecil, kau berhutang padaku dan ternyata kau juga adalah wanita yang dihadiahkan untukku," ucap Jaccob memandang Maria tanpa berkedip.
"Aku tidak mau menjadi wanitamu," ucap Maria yang juga menatap berani pada Jaccob.
"Kau mau! Atau kau akan masuk penjara dan.." ucapan Jaccob menggantung.
"Ayahmu telah menandatangani sebuah perjanjian, jika kau berani berontak. Dia dan semua keluargamu akan mati," lanjutnya.
Deg...
Kalau yang mati ayahnya mungkin Maria tak akan peduli, tapi bagaimana jika itu ibunya. Maria tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi. Dia menatap tajam pada Jaccob, mendongakkan kepalanya seolah menantang calon bosnya itu.
"Tunjukan kamarku," ucap Maria seperti tak takut pada Jaccob itu.
Sedangkan Jaccob tersenyum senang. Baru kali ini dia menemukan wanita semenarik Maria. Dia bisa melihat ketakutan di mata Maria tapi sikapnya sangat bertolak belakang dengan tubuhnya yang sedikit gemeteran.
"Rose," teriak Jaccob.
Tak lama wanita setengah baya keluar dari dalam rumah dan berdiri di samping bosnya itu.
"Tunjukan kamar untuk wanita ini, lantai atas sebelah kamarku. Dan mulai sekarang, kau yang melayaninya," ucap Jaccob tanpa mengalihkan pandangan dari Maria.
"Baik Tuan," ucap Rose langsung bergerak mengambil koper Maria dan berkata untuk mengikutinya.
Sepanjang jalan tak ada yang bersuara, bahkan suara langkah kakinya pun seperti tidak terdengar. Dia menaiki sebuah tangga yang berlengkok itu, dengan karpet merah di setiap anak tangganya. Mengikuti kemana dia akan dibawa oleh wanita tua ini.
Sesampainya di lantai atas, dia berjalan sampai di ujung lorong, wanita itu membuka pintu dan membiarkan Maria masuk.
"Silahkan Nona," ucap Rose lalu pergi meninggalkan Maria.
Maria hanya mengangguk, dia masuk ke dalam kamar itu. Kamar yang sangat besar dengan sebuah ranjang king size, sebuah sofa besar di sebelah kanan. Maria melihat sebuah pintu yang menuju balkon, dia menyusuri kamar itu. Ada dua pintu di dalam kamar ini, Maria membuka salah satunya yang ternyata adalah kamar mandi. Dia juga membuka pintu yang di sebelah kamar mandi itu, sebuah ruangan yang berisikan banyak sepatu. Maria masuk lebih dalam, membuka pintu kecil yang tertempel di dinding dan ternyata itu sebuah lemari yang berisikan banyak gaun dan baju untuk wanita. Seolah kamar ini memang disiapkan untuk wanita sepertinya.
Maria mendesah kasar, bisa-bisanya ayahnya itu menjadikannya kambing hitam untuk masalahnya. Dia melihat pantulan wajahnya di cermin meja rias itu, melihat betapa menyedihkannya dirinya yang tak bisa memilih kehidupannya sendiri.
Maria memutuskan keluar dari ruangan itu, saat dia menutup pintu dan berbalik dia melihat Jaccob sudah duduk di sofa yang ada di kamarnya.
"Kau tidak punya sopan santun? Masuk sembarangan di kamar seorang wanita." ucap Maria ketus.
"Jangan lupakan bahwa semua ruangan ini adalah milikku," balas Jake dengan sombongnya.
"Temani aku malam ini," ucap Jaccob berdiri dan menatap ke arah Maria. Dia menggerakkan dagunya agar Maria mengikutinya.
Maria berjalan di belakang Jaccob. Dia masuk di ruangan lain yang ada di lantai dua ini. Lampunya yang remang itu membuat penglihatan Maria tidak jelas. Dia melihat Jaccob yang sudah duduk di kursi yang ada di ruangan ini.
Jaccob mengambil sebuah remote yang ada di depannya dan menekannya. Seketika ruangan itu menjadi terang-benderang dan Maria bisa melihat dengan jelas. Ruangan dengan sofa lebar di bagian pojok, ada meja tinggi seperti ruang makan yang tergabung dengan dapur itu, kursinya juga tinggi mengikuti meja tersebut. Ternyata ini adalah sebuah bar.
"Kemarilah," ucap Jake menatap ke arah Maria.
Maria mendekat dan berdiri di depan Jaccob. Dia masih menatap penuh selidik pada lelaki di depannya ini.
"Ambilkan aku Red Wine, cari di tempat itu," ucapnya menunjukan sebuah lemari kecil yang ada di depannya. "Lalu siapkan di sini," ucap Jaccob lagi.
Maria dengan segera mengambil sebuah botol kaca yang berada di laci lemari itu, mengambil gelas kecil, menyajikannya di depan Jaccob.
"Kemarilah dan duduk bersamaku," ucap Jaccob lagi dan Maria menurut dengan diam.
"Berapa umurmu?" ucap Jaccob, mengambil botol Red Wine itu, menuangkan di gelas kecil dan langsung menenggaknya.
"23 tahun," ucap Maria singkat.
"Kau tahu kan, ayahmu telah memberikan dirimu padaku. Jadi kau harus mengikuti semua perkataanku," ucap Jaccob, menyerahkan gelas kecil yang berisi Red Wine itu di hadapan Maria. "Minumlah,"
"Itu kemauan ayahku, bukan kemauanku. Aku tidak mau meminum minuman itu," ucap Maria sedikit ketus.
Tiba-tiba Jaccob terkekeh, dia mengeluarkan handphonenya dan memperlihatkan didepan Maria.
"Kau tahu Maria, jika kau melakukan penolakan sekali lagi. Aku pastikan orang-orangku akan membunuh keluargamu saat ini juga," ucapnya tersenyum sinis.
Maria yang melihat itu menjadi geram, dulu ayahnya yang mengancam dirinya dengan menggunakan ibunya. Dan sekarang orang lain pun sama, mengancam dirinya dengan keluarganya. Dia mengambil gelas itu kasar dan langsung meminumnya sekali tenggak.
"Kau puas Pak?" ucap Maria, dia menahan sedikit rasa getir yang ada di lidahnya.
"Gadis pintar, dan jangan panggil aku pak. Kau bisa memanggilku Jake, atau sayang kalau kau mau," ucap Jaccob menatap Maria dengan senyuman menggoda.
Maria menolehkan kepalanya, dia tidak ingin melihat wajah bosnya yang mesum itu.
Mereka banyak mengobrol, bukan, lebih tepatnya Jake yang memberi banyak pertanyaan agar Maria menjawab. Di setiap obrolan Jake selalu menyuruh Maria untuk meminum Red Wine yang disajikan olehnya. Meskipun dia melihat bahwa wajah dan badan Maria sudah terlihat mabuk, tapi Maria bisa menjawab semua pertanyaan Jake, matanya bahkan masih terbuka dengan jelas.
Jake yang sudah tak tahan dengan pesona Maria akhirnya meraih tengkuk Maria, menekan bibirnya ke arah bibir Maria, melumat dengan ganas kenyalnya bibir Maria, merasakan sisa dari Red Wine yang tertinggal di dalam mulut Maria. Jake bahkan sampai memejamkan matanya.
Meskipun mabuk, Maria masih sadar dengan yang dikatakannya, matanya berusaha terbuka lebar agar dia bisa melihat wajah Jake, tapi ketika Jake menarik dirinya dan menciumnya, dia menjadi sadar seratus persen apa yang sedang dilakukannya. Dia berusaha berontak agar dapat dilepaskan, tapi tenaga Jake lebih besar darinya, tangan Jake yang mulai bergerilya di tubuhnya membuat Maria panik. Dia menggigit bibir Jaccob yang masih menempel di bibirnya itu, setelah lepas dia melayangkan tamparan di wajah Jaccob.
Jaccob baru pertama kali mendapat perlakuan seperti itu dari wanita. Dia menatap nyalang pada wanita yang di depannya ini, dia menecengkeram kuat lengan Maria dan mendekatinya.
"Beraninya kau menamparku," geramnya.
Plak... Sekarang gantian Jake yang menampar Maria.
"Kau hanyalah wanita yang akan menjadi jalangku, jangan berani bertindak sampai membuatku marah, atau aku buat kau tak bisa berjalan seminggu," ucapnya berteriak, gairahnya hilang menjadi emosi.
Maria merasa sakit di lengannya akibat cengkraman Jaccob, air matanya perlahan turun, tapi dia berusaha kuat. Dia mendongak, hanya diam menatap berani di hadapan Jaccob.
Jaccob yang sudah kesal itupun mendorong tubuh Maria ke belakang sampai terbentur meja. Dia berjalan keluar, membanting pintu dan meninggalkan Maria.
Setelah melihat kepergian lelaki yang merebut ciuman pertamanya itu, Maria menumpahkan semua tangisannya. Dia merasakan sakit di kepalanya akibat terbentur meja tadi.
"Kali ini apalagi, Ya Tuhan," ucapnya menangis terisak.
**
Sinokmput