Auriga mengatur napasnya, perlahan matanya menatap mata Papa dengan mata yang bergetar dan dengan senyum simpul.
"Apa Papa akan pisahkan aku dengan Agha karena kondisi aku yang sekarang? Apa setelah ini aku dipindahkan ke RS jiwa?"
Papa langsung menggelengkan kepalanya. Tidak pernah terpikirkan baginya akan memasukkan anaknya ke sana, tidak akan pernah. Hati Papa sangat kacau mendengar setiap penuturan dari anaknya itu. Ini salahnya. Salah dirinya sendiri. Air mata Papa gak henti-hentinya turun, sangat sakit melihat anak seperti ini karena ulahnya sendiri. Setiap perkataan dan pernyataan Auriga, seakan menjadi boomerang bagi Papa.
"Gak, gak akan. Kamu pulang bareng Papa ya nak. Maafin Papa sayang..."
"Mental adek memang gak stabil, tapi adek pastiin masih bisa jagain Agha. Jadi Papa gak boleh pisahin adek sama Agha..." ucap Auriga, itu bukan permohonan, melainkan pernyataan yang gak akan bisa dibantah.
Agha yang mendengar itu langsung tak kuasa menahan air matanya.