Chereads / I Want You My Sexy Widow / Chapter 2 - Cute Twins

Chapter 2 - Cute Twins

"Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu. Kau ini sedang melakukan wawancara di perusahaanku," ucap lelaki itu dengan pelan.

"Logan, sebenarnya apa mau kamu?" tanya Amory kesal.

"Kau menyebabkan aku dikeluarkan di beberapa perusahaan, bahkan menelepon seluruh rekan bisnismu untuk memblacklist nama dan identitasku di daftar penerimaan karyawan mereka. Dan sekarang aku melamar di perusahaan lain, yang tidak pernah aku sangka kalau perusahaan ini adalah milikmu juga. Aku bisa gila sekarang! Apa kau mau aku jadi gila?"

Amory mencurahkan semua rasa kesalnya dengan berbicara tanpa henti dan tanpa titik-koma memandang Logan. Wajahnya semakin kesal setiap mengeluarkan perkataannya, sedangkan Logan hanya santai dan tersenyum melihat wajah Amory yang tetap menggoda meski sedang kesal.

"Amor, apa uang yang aku berikan padamu tidak cukup sehingga kau harus mencari pekerjaan dan menjadi suruhan orang lain di depan mataku?" Logan membantah dengan mengerutkan alis keningnya.

"Itu lebih baik, dibandingkan aku harus menerima uangmu tanpa bekerja. Akan lebih baik jika aku merasakan juga hasil dari keringatku sendiri," bantah Amory dengan kecut.

"Apa menghabiskan uang Suami tidak baik bagimu? Kamu ini adalah istri dari CEO muda yang tampan. Kau wajar mendapatkan semua kekayaanku," balas Logan santai sambil menengadah ke atas dengan senyumannya seolah sedang mengingat sesuatu di masa lalu.

"Apa yang kau pikirkan? Itu hanya kecelakaan! ... kalau bukan karena kau sedang terluka saat itu dan hati nuraniku masih ada, aku sudah meninggalkanmu di pinggir jalan," bantah Amory menggelengkan telapak tangannya di depan wajah Logan.

"Itu sebabnya uang saja tidak bisa membalas semua pengorbananmu melahirkan kedua anakku yang lucu dan pintar. Apalagi saat itu ketika aku terbangun, semua pakaianku sudah terganti. Aku bahkan belum memperhitungkan hal ini terhadapmu."

Lagi Logan berkata seolah sedang menyalahkan Amory di akhir kalimatnya. Entah apa maksud dari kalimatnya itu, tapi terlihat jelas kalau kekesalan Amory kembali muncul di raut wajahnya saat hal itu dikatakan Logan.

"Jadi menurutmu, aku sedang mengambil keuntungan darimu?" tanya Amory menaikkan nada suaranya.

"Kalau tidak, siapa lagi Ayah—"

"Cukup!" Belum sempat Logan melanjutkan perkataannya, Amory telah berdiri dengan cepat sambil menadahkan tas yang ia pegang ke atas meja dengan kuat. Logan tersentak dan terdiam melihat bentakan yang dibuat Amory di depannya. Wajahnya terlihat merasa bersalah karena telah menyinggung sesuatu hal yang mungkin sangat dibenci Amory.

Amory tidak mengatakan sepatah-kata pun. Sorotan matanya bisa mewakili semua perkataan yang akan dia katakan. Tak menunggu lama dia menatap Logan, tubuhnya segera berbalik dan pergi dengan melangkah cepat menjauhi Logan hingga keluar dari ruangannya.

Bunyi pintu yang tertutup terdengar sangat kuat ketika Amory menutup pintunya. Mata Logan ikut terpejam seiring dengan suara pintu yang keras itu.

"Aish! Aku membuatnya marah lagi," gerutu Logan dengan suara sesalnya saat matanya masih tertutup.

Amory berjalan keluar dengan cepat tanpa memperhatikan semua orang yang duduk di kursi untuk menunggu panggilan wawancara. Sebagian dari mereka menatap sinis dan bingung melihat sikap Amory yang tidak punya sopan santun..

Ia berjalan dengan cepat dan segera keluar dari gedung itu. Di luar gedung terlihat seorang wanita berambut pendek dan berwarna hitam yang tersenyum sedang melambaikan tangannya dengan bersandar di belakang mobil yang terparkir.

"Hei, apa wawancaranya berjalan lancar? Apa pertanyaannya sesulit itu sehingga membuatmu terlihat sangat berantakan?"

Amory mengacuhkan pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia terus berjalan dan masuk ke dalam mobilnya. AC mobil dihidupkan maksimal, dan ventilasi AC diarahkan semua padanya.

"Ada apa? Namamu juga sudah diblacklist di perusahaan ini?" tanya seorang wanita yang baru saja masuk di dalam mobil dan duduk di sampingnya. Wanita itu masih melihat Amory dan menunggu pertanyaannya terjawab.

:"Leandra, aku tidak tahu apakah niat baikku ini yang menolongnya di masa lalu adalah kesialan atau keberuntungan," ucap Amory dengan nada datar dan pandangan mata yang lelah.

"Maksudmu, kamu tidak diterima juga di tempat ini?" Leandra balik bertanya dengan wajah kebingungan dan kelelahan.

"Ini adalah perusahaan ke sepuluh yang kau datangi, dan namamu juga sudah diblacklist di sini?" lanjut Leandra ikut merasa kesal.

"Bukan hanya itu. Lebih parahnya lagi, perusahaan ini adalah milik Logan Wilmar, lelaki pebisnis yang masuk dalam sepuluh besar pebisnis terkenal di USA."

Mata Leandra membulat besar saat mendengar nama Logan Wilmar disebutkan oleh Amory. Ekspresi Leandra seakan takjub melihat ke arah sahabatnya itu.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau pemiliknya adalah Logan Wilmar?"

"Dia yang mewawancaraiku," balas Amory dengan wajah kecut.

Leandra tersenyum sambil mengungkapkan kekagumannya akan Logan Wilmar. Ia mengatakan kalau Amory sangat beruntung karena bisa bertemu secara langsung dengan lelaki idola para wanita sepertinya.

Logan Wilmar adalah salah satu pebisnis terkenal yang termasuk dalam sepuluh besar pebisnis terkenal di USA. Dia semakin diminati kaum hawa karena ketampanan dan kekayaannya yang melimpah di usia mudanya. Selain itu dengan statusnya yang masih lajang membuat para selebriti dan model mendekatinya, tapi sampai sekarang Logan sendiri belum memutuskan untuk menikah. Dia masih suka bermain-main dengan gadis-gadis cantik. Untuk kehidupan keluarganya belum ada yang tahu, dia masih menyembunyikan seperti apa keluarganya.

Selagi Leandra menjelaskan profil tentang Logan, wajah Amory menjadi semakin kecut. Ia mengorek telinganya yang bahkan tidak terasa gatal hanya untuk berpura-pura tidak mendengarkan perkataan Leandra.

"Leandra!"

"Ya? ... ada apa?" tanya Leandra menghentikan perkataannya yang masih saja terus membicarakan tentang Logan.

"Apa kau benar-benar tergila-gila padanya?"

"Tidak-tidak. Aku hanya kagum saja, karena ada sebangsa kita yang populer di negara orang," jawab Leandra tersenyum lebar.

***

Pukul 12: 00 ....

P.S 198. New York City.

Lawer Lab School

Matahari berada tepat di atas kepala Amory yang saat itu menunggu di depan gerbang sekolah yang sangat besar. Matahari yang terasa hangat di kulitnya mulai terbiasa ia rasakan. Berbeda dengan suhu matahari di negaranya yang terasa membakar kulit.

"Mommy!"

Teriak seorang anak perempuan yang berusia sekitar delapan tahun dengan wajah gembiranya. Rambut coklat bergelombang yang diikat menyamping terurai di terpa angin saat ia sedang berlari. Di belakang anak perempuan itu muncul seorang anak laki-laki yang wajahnya hampir sama dengan gadis kecil yang tadi. Ia terlihat sedikit lebih tinggi dari gadis kecil itu.

Sikapnya sangat jauh berbeda dengan anak perempuan yang tadi, anak laki-laki itu terlihat lebih tenang. Bahkan cara berjalannya saja terlihat tenang dan santai, dengan raut wajahnya yang sedikit datar semakin menonjolkan perbedaan anak-anak lain yang seusianya.

"Hai, Mommy," sapa anak lelaki itu dengan santai dan terus melanjutkan langkahnya melewati Amory.

Amory hanya melihatnya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia membungkuk dan menggendong anak kecil perempuan itu dan berjalan ke arah mobil.

Tangan satunya memegang kepala anak kecil laki-laki yang kini berjalan bersampingan dengannya. Amory membiarkan keduanya duduk di kursi belakang, sedangkan dirinya duduk di depan untuk menyetir mobilnya.

"Mommy, i will—"

"Lucy? Mommy sedang menyetir, jangan berbincang dengan Mami, oke?" sela Amory menengok kaca spion di atasnya yang memantulkan bayangan kedua anak itu.

"But Mommy ..." Lucy menghentikan perkataannya saat dia melihat tatapan Amory di kaca spion. Wajahnya menjadi cemberut.

"Baiklah, Lucy, katakan apa yang ingin kau katakan." Amory tahu kalau Lucy setiap pulang sekolah selalu menceritakan apa yang terjadi pada kembarannya.

"Mami ... Lucy mau memberitahukan sesuatu yang sangat penting."

"Oh, ya? Apa itu?" tanyanya sambil fokus menyetir mobil dan melihat ke depan.

Amory melirik lagi ke kaca spion di atasnya dengan memperhatikan raut wajah bocah lelaki yang terlihat tampak kesal.

"Tadi ... Lucky dicium teman perempuan di dalam kelas," ucap Lucy menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya sambil menahan tawa.

"Benarkah?" Amory seakan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Kedua bocah itu tampak menggemaskan di matanya

"Cih! Kekanakan," gerutu Lucky kesal dengan menyembunyikan pipinya yang mulai berwarna merah muda.

"Memangnya kenapa? Aku kan memang masih kecil, kamu saja yang terlalu bersikap dewasa," ledek Lucy membuang wajahnya dengan acuh.

"Tentu saja. Bagaimana pun aku ini kakakmu, aku harus bersikap dewasa agar bisa menjagamu, Adik kecilku yang manis," balas Lucky kembali meledeknya dengan senyuman tipis di wajah sambil mengejar wajah Lucy.

"Itu tidak benar. Hanya berbeda lima menit saja kok, bagaimana bisa kau menganggap dirimu Kakak. Intinya kita lahir di hari yang sama, jadi tidak ada yang menjadi Kakak atau Adik," bantah Lucy dengan wajah kecut.

"Tetap saja. Intinya aku yang lebih dulu lahir, jadi aku ini adalah kakakmu," tepis Lucky tidak mau mengalah dalam perdebatan.

Lucy terdiam, ia kembali merengek meminta pembelaan pada Amory. Sementara Amory hanya tertawa mendengar perdebatan konyol di antara anak seusia mereka. Melihat Lucy yang merengek, Lucky meletakan tangannya di kepala Sweetly sambil mengelus pelan kepalanya.

"Sudah, jangan menangis Adik kecilku yang manis. Ini, Kakak berikan permen untukmu," bujuk Lucky menyodorkan sebuah permen lolipop dengan bungkusan berwarna merah muda.

"I-ini, ini kan permenku yang hilang, kenapa ada padamu? Apa kau mengambilnya dari tasku?" tuding Lucy merampas permen itu dari tangan Lucky.

"Kamu tenang saja, Kakak akan menjagamu. Tadi teman sebangkumu yang mengambilnya, dan aku membantumu untuk mengambilnya kembali," jelas Lucky tersenyum.

"Jadi gadis yang menciummu itu yang mengambil permenku?"

"Ia. Tapi sudahlah, permenmu juga sudah ada padamu, kan?"

"Tidak bisa. Kamu tenang saja, aku sebagai kakakmu yang akan memberikan pelajaran untuknya," ucap Lucy bersemangat.

"Dasar bocah. Bagaimana kau bisa menganggap dirimu seorang Kakak, milikmu saja yang dicuri kamu tidak tahu."

Sepanjang perjalanan Amory dibuat tertawa dengan sikap kedua anak itu. Ia bahkan melupakan semua pikiran yang membebaninya saat itu.

***

Malam harinya di dalam ruang makan. Ketiganya telah duduk di meja makan yang telah tersedia berbagai macam menu makanan. Suara bel rumah berbunyi di sela-sela keheningan saat akan memulai santapan mereka.

"Biar aku saja, Mami," sela Lucky menghentikan Amory yang baru saja akan berdiri dari kursinya.

Amory terdiam dan perlahan duduk kembali di kursinya. Ia menatap Lucky yang berjalan meninggalkan dapur. Ekspresinya begitu keheranan dan masih tidak habis pikir dengan pemikiran Lucky, seorang bocah berusia delapan tahun yang kelakuannya sudah hampir seperti anak berusia dua belas tahun.

"Lucky, siapa yang datang?" tanya Amory saat Lucky baru saja masuk ke ruang makan.

"Paman Logan," jawab Lucky datar dan langsung duduk di kursinya.

Amory terdiam melihat Logan yang berdiri di ambang pintu dapur dengan tersenyum lebar. Dia mengangkat kedua tangannya yang sedang menjinjing beberapa tas belanjaan lalu terus masuk mengacuhkan ekspresi Amory.

"Daddy Logan!" seru Lucy bersemangat saat menoleh ke belakang.

"Lucy! Dia bukan ayahmu!" sela Amory dengan nada yang meninggi sehingga membuat Lucy menundukkan kembali wajahnya dengan murung.

"Tidak apa-apa, jangan terlalu keras pada gadis manis sepertinya," tepis Logan meletakkan tas belanjaannya di atas meja.

Logan duduk di antara Lucky dan Lucy. Ia tersenyum dan membujuk Sweetly yang sedang murung dengan berkata, "Sweetly, jangan cemberut. Nanti wajah manismu ini akan cepat terlihat tua seperti Mami kamu, karena jarang tersenyum. Kamu boleh memanggil Paman dengan sebutan Daddy, tapi panggilnya di saat tidak ada Mami kamu, oke?" bujuk Logan tersenyum kecil.

Lucy mengangkat kepalanya dengan pelan sambil melirik wajah Amory. Sementara Amory yang merasa bersalah karena sudah mengeraskan suaranya terpaksa harus tersenyum demi menebus kesalahannya.

Melihat Amory yang tersenyum, Lucy kembali ceria lagi. Sementara Logan membagi-bagikan hadiah kepada kedua anak kembarnya, Amory sadari ada kebahagiaan yang terpancar dari mata kedua anaknya.

Saat melihat pemandangan itu, ia merasa bersalah kepada kedua anaknya karena sampai sekarang ia sendiri belum bisa memberikan kebahagiaan keluarga yang utuh terhadap mereka berdua.

Sekilas ingatan masa lalu terbayang di pikirannya, di mana sejak kecil hanya Logan lelaki yang mereka kenal. Itu sebabnya Lucy merasa kalau Logan adalah ayahnya, tapi karena pertanyaan itu pula yang membuat Amory melarang mereka untuk mengungkit siapa sebenarnya Ayah kandung mereka. Sejak saat itu kedua anaknya selalu menghindari pertanyaan itu.

Amory sendiri merasa berdosa kepada kedua anaknya, tapi ia sama sekali tidak ingin masa lalu kelamnya terbongkar. Ia hanya ingin anak-anaknya hidup bahagia tanpa adanya masalah, itu sebabnya ia selalu bersikeras untuk memiliki pekerjaan sendiri agar bisa menjadi fondasi yang kuat demi kedua anaknya.

"Daddy Logan, hari ini Daddy tidur di sini saja," ajak Lucy dengan polosnya.

Amory tersedak mendengar perkataan Lucy, ia melambaikan tangannya dan meminum segelas air dengan tangan yang satu lagi. 'Dasar bocah! Sudahku bilang jangan memanggilnya seperti itu!' rutuknya dalam hati.

"Tidak bisa, Lucy!"

"Kenapa? Biasanya kalau Daddy Logan kemari, Daddy selalu menemaniku tidur."

"Karena Paman harus berangkat ke kantor pagi-pagi sekali," jawab Amory dengan tersenyum sambil melirik ke arah Logan dan memelototinya tegas.

"Ia Lucy. Besok Daddy harus berangkat kerja lebih awal, maaf, yah," sambung Logan mendukung perkataan Amory.

Makan malam di hari itu seperti biasanya, berjalan dengan lancar dan sesedikit ada adegan humoris di antara percakapan mereka. Amory juga tidak bisa mengacaukan suasana yang membuat kedua anaknya bahagia, ia terpaksa membiarkan Logan mengambil ahli suasana saat itu.

***

432 Park Avenue Penthouse, New York

10.00 PM

"Terima kasih."

Logan terdiam menatap Amory yang tiba-tiba saja mengucapkan terima kasih padanya. Ia duduk berhadapan dengan Amory dengan wajah yang bingung.

"Terima kasih untuk apa?"

"Terima kasih karena selama ini kau memperlakukan anak-anakku dengan baik. Maksudku, kau memperlakukan kami dengan baik."

"Amor, bukankah wajar jika aku melakukan semua ini terhadap anak-anakku? Meskipun kau selalu menghindari kenyataan bahwa mereka memang adalah anak-anakku. Lagian hanya dari genku sendiri baru bisa menciptakan kedua bocah yang imut dan lucu seperti mereka berdua."

Amory mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dengan tulisan berwarna Gold yang bercahaya di dalam dominan hitam kartu itu. Ia meletakkannya di atas meja dan mendorongnya mendekati Logan.

"Apa maksudnya ini? Apa kartu Unlimitedku sudah habis?" tanya Logan melirik kartu tersebut.

"Aku sudah tidak bisa menggunakannya lagi ... maksudku, kau sudah terlalu banyak membantuku. Seluruh biaya kami semua bahkan sudah jauh lebih dari cukup untuk membalas budi baikku."

Logan terdiam menatap Amory. "Apa kau masih marah padaku?"

"Tidak. Justru aku harus berterima kasih padamu untuk semuanya."

"Ambil kembali. Aku tidak bisa mengambil barang yang sudah aku berikan padamu," tepis Logan mendorong kartu di meja mendekat ke hadapan Amory.

Wajah Amory menjadi datar. Ia mengambil Kartu itu lalu mematahkannya menjadi empat bagian dan melemparkannya di atas meja. Ekspresi Logan yang pada awalnya begitu bahagia karena kartunya diambil kembali oleh Amory kini berubah menjadi datar saat melihat kepingan kartu yang berada di atas meja.