"Maaf Logan, aku serius."
Logan terdiam. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa sambil menatap pasrah ke arah Amory..
Amory sendiri terlihat kesal karena Logan sama sekali tidak memarahinya ataupun membentaknya karena telah berlaku kasar terhadapnya.
"Baiklah ... aku akan mengizinkan kamu bekerja."
Satu kalimat yang diucapkan oleh Logan membuat Amory kembali tersenyum. Akhirnya usahanya untuk membuat Logan menyerah berhasil. Dia bisa mendapatkan dua hal yang dia inginkan, mendapatkan pekerjaan dan mengembalikan kartu ATM milik Logan.
"Di mana aku bisa bekerja? Kapan?"
"Di tempatku. Besok pagi kamu sudah bisa mulai bekerja, dan jangan sampai terlambat di hari pertama kamu bekerja," jelas Logan berdiri dari tempat duduknya.
"Ta-tapi kenapa harus di perusahaanmu?"
"Kau sangat beruntung karena diterima langsung oleh pebisnis terkenal sepertiku. Para wartawan pasti akan mengejarmu," lanjut Logan sambil berjalan menjauh meninggalkan Amory yang masih terdiam dibuatnya tidak berdaya,
"Dasar Narsis!" gumamnya tersenyum kecil.
Ia terpaksa harus menerima tawaran Logan, karena perusahaan Logan juga menduduki posisi lima besar dalam bisnis perdagangan. Dan bukan hanya itu saja, ia adalah pemilik dari beberapa Apartemen terkenal di New York, termasuk apartemen yang Amory tinggali.
Tidak ada yang tahu siapa kedua orang tuanya dan bagaimana dia bisa membangun semua kekayaan di usia mudanya. Sejak bertemu dengan Logan di malam saat dia sedang sekarat dan di kejar-kejar oleh beberapa orang jahat, Amory telah masuk ke dalam kehidupannya.
Amory kembali mengingat bagaimana pertemuan mereka pertama kali dan hal apa yang di lakukan Logan padanya. Saat pertama kali datang ke New York dan hendak mencari alamat Leandra, ia malah dihadang oleh Logan dan segera mendorongnya ke dinding gang kecil. Tanpa bertanya atau berkata-kata Logan telah membungkam mulutnya dengan menempelkan bibir hangat dengan kuat di mulut Amory. Bukan hanya itu, Logan juga mengancamnya dengan nyawa jika ia berani berteriak. Dalam hal ini Amory sangat ketakutan, ia pasrah dengan apa yang akan dilakukan Logan terhadapnya.
Memikirkan kenangan itu membuatnya melepaskan napas berat yang membebani pikirannya selama ini.
Derap langkah terdengar setelah kedatangan Logan, beberapa orang yang sedang berlari seperti sedang mencari sesuatu hanya melewati mereka.
Amory segera menendang Logan dengan lututnya saat semua orang telah pergi. Logan terjatuh dengan keadaan lemah, noda darah muncul di kemeja putihnya. Rasanya Amory ingin meninggalkannya sendirian di tempat itu untuk membalas semua perbuatannya, tapi ia berpikiran lain tentang Logan. Saat sedang menciumnya, Logan sama sekali tidak bermain dengan bibirnya, dia hanya membungkam mulutnya saja agar tidak bisa berteriak. Amory terpaksa menolongnya karena Logan tidak mungkin melakukan hal itu kalau bukan karena nyawanya sedang terancam.
Amory bahkan menyewa hotel dan merawat orang yang tidak ia kenal. Dia terpaksa melakukannya karena berpikir rumah sakit akan membuat orang-orang yang mengejarnya bisa menemukannya.
Saat Amory terbangun, Logan sudah tidak ada di ranjang. Ia hanya meninggalkan sebuah kartu nama dan kartu ATM di atas meja yang berada di samping ranjang. Amory menghubungi kontak tersebut dan memintanya untuk bertemu. Ia mengembalikan kartu ATM itu kepada Logan, tapi siapa yang sangka Logan malah menolaknya dan mengatakan kalau dia tidak akan pernah melepaskan orang yang sudah mengambil keuntungan darinya.
***
Wilmar Group of Companies ....
Gedung perusahaan berlantai tiga puluh yang terlihat hampir mirip dengan sebuah hotel berdiri dengan kokohnya di depan mata Amory. Ia hampir tidak menyangka akan bekerja di perusahaan yang berpengaruh di NY.
"Logan, eh, Tuan Logan, maaf aku terlambat."
Amory berdiri di depan Logan yang duduk di belakang meja sambil melihatnya datar. Ia masih harus mengatur pernafasannya karena harus naik ke lantai atas menggunakan tangga darurat. Satu hadiah menarik di hari pertama ia bekerja yaitu para karyawan tidak mengizinkannya menggunakan lift karena tidak memiliki kartu identitas karyawan.
Logan mendorong segelas air putih yang ada di atas mejanya dan menyuruh Amory untuk minum. Tanpa menunggu lama, rasa haus dan kering di kerongkongannya mendorong dengan cepat tangannya untuk mengambil segelas air itu dan meneguknya dengan cepat.
"Kau benar-benar meminumnya sampai habis? ... aku lupa mengatakannya kalau aku sudah meminum sedikit airnya," ucap Logan keheranan.
"Tidak apa-apa."
"Kamu benar, jangankan air, kita juga sudah pernah melakukan hal yang lebih dalam dibandingkan pertukaran air liur." Senyum eksentrik yang sangat narsis muncul di wajah Logan, tapi dalam sekejap dihamburkan dengan tas yang memukul kepalanya.
"Argh! Sakit! Kau adalah karyawan pertama yang berani memukul kepala bosmu di hari pertama bekerja. Hebat!"
Tak tahan lagi dengan rasa letih di kakinya, Amory segera duduk di kursi dan meluruskan kaki sambil memijat-mijatnya dengan pelan.
"Kenapa dengan kakimu? Apa liftnya rusak?" tanya Logan semakin bingung dengan sikap Amory.
"Tak perlu bertanya lagi, bukankah kau tahu sendiri peraturan di perusahaanmu? Aku sama sekali tidak diizinkan menggunakan lift karena tidak memiliki kartu karyawan," jawab Amory kesal.
"Ah ia ... aku lupa kalau ada peraturan ini di perusahaanku."
"Tidak apa-apa, itu tidak akan membuat aku mundur dari pekerjaanku. Sekarang apa yang harus aku kerjakan dan di mana kau tempatkan aku?" tanya Amory menyemangati dirinya sendiri sebab dia tahu kalau masalah yang dihadapinya adalah upaya Logan untuk membuatnya menyerah bekerja.
Logan hanya tersenyum kecil dan melirik kursi kosong yang ada di sampingnya. Ia mempersingkat deskripsikan pekerjaan Amory dan apa saja yang akan dia lakukan.
Amory memulai pekerjaan pertamanya dengan merangkumkan semua keuntungan yang akan Logan dapat jika ia menanda tangani kontrak yang mereka ajukan. Setiap kali selesai merangkumnya dan membacakan keuntungannya, Logan tanpa bertanya lagi segera menandatangani dokumen tersebut.
"Em, Tuan—"
"Jika kau ingin aku memanggilmu Nyonya, maka panggil aku Tuan sekali lagi," sela Logan tersenyum kecil mendekatkan wajahnya di depan wajah Amory.
"Logan, apa kau yakin dengan rangkumanku? Kenapa kau tidak membacanya lagi untuk memastikan agar aku tidak keliru," tanya Amory menutup kembali dokumen yang baru saja dia buka.
"Tidak perlu, hanya membuang-buang waktuku saja. Itu sebabnya aku memperkerjakan kamu dalam hal ini, jadi kamu harus bertanggung jawab dengan keputusanmu."
"Bagaimana jika ada kesalahan?"
"Itu pekerjaanmu, bukan urusanku," tepisnya acuh.
"Bukankah kau bilang kau suka kerja? Jadi nikmatilah pekerjaanmu. Ayo lanjutkan lagi."
Amory melanjutkan lagi pekerjaannya, ia sendiri merasa tertantang dengan perkataan Logan. Meskipun hal itu adalah siasat Logan untuk membuatnya mundur dari pekerjaannya, ia tidak akan pernah menyerah.
Tumpukan-tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja sudah mulai menipis. Aktivitas mereka berdua terhenti saat mendengar bunyi suara perut yang berasal dari perut Amory.
"Kau lapar?" tanya Logan melirik perutnya.
"Tidak-tidak, aku belum terlalu lapar," jawab Amory menekan perutnya agar bisa menahan bunyi susulan dari dalam perutnya.
Logan menghubungi seseorang di telepon dan memintanya membawakan makan siang untuk mereka. Amory tanpa menunggu lama segera memakan makanan yang baru saja di antarkan Marlon kepada mereka.
Hari pertama bekerja, Amory mengerjakan semua pekerjaannya dengan cepat. Karena tidak ada lagi yang harus ia kerjakan Logan menyuruhnya untuk pulang dan menjemput kedua anak-anaknya.
"Tunggu, Amor!" sela Logan menghentikan Amory yang baru saja berdiri dari tempat duduknya.
Logan melirik ke atas meja tepat di mana sebuah kartu karyawan yang bertuliskan nama Amory tertulis dengan jelas.
"Aku tidak ingin kau sakit di hari pertama kau bekerja," lanjut Logan tersenyum.
"Terima kasih, Logan."
Amory segera keluar dari ruangan Logan. Ia menggunakan lift untuk turun dari lantai yang tinggi itu. Di dalam lift hanya dirinya seorang, dan rasanya sangat lama untuk menunggu liftnya berada di lantai dasar.
Ponselnya berdering, Leandra menghubunginya dan mengatakan kalau Lucy demam. Hal itu membuat Amory cemas, ia bergegas menjemput kedua anaknya di rumah Leandra. Untung saja rasa cemasnya di tenangkan oleh Leandra. Dengan profesinya sebagai seorang dokter anak membuat Amory sedikit tenang karena Leandra merawatnya. Karena demam yang di derita Sweetly, Leandra meminta Amory agar membiarkannya merawat Lucy di kliniknya, kebetulan jadwalnya tidak terlalu sibuk jadi ia memiliki kesempatan untuk membantu Amory merawat kedua anaknya.
Hari kedua Amory bekerja di perusahaan Logan pikirannya masih tertinggal di klinik Leandra. Memang sejak kecil tubuhnya Lucy begitu lemah, berbeda jauh dengan Lucky yang kesehatannya lebih baik.
Mata Amory terpaku pada dokumen yang di pegangnya, jari tangannya memutar pulpen dan memainkannya dengan perlahan. Ia merasa bersalah karena telah membentak Lucy waktu itu, dan mungkin hal itu adalah penyebab dia demam.
"Amor? ... ada apa?"
Logan yang sejak tadi memperhatikan pandangan mata Amory yang kosong seakan tahu kalau ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Em, Tidak ada apa-apa."
"Apa kau masih mau menyembunyikannya dariku?"
Mata Logan terpaku menatapnya. Amory terpaksa mengatakan keadaan Lucy terhadap Logan. Namun Logan hanya terlihat santai dan mengatakan kalau dia sudah mengirim dokter ke apartemen setelah mendapat telepon dari pihak sekolah kalau Amory telah meminta izin untuk Lucy dengan alasan sakit.
"Tidak perlu Logan, mereka berdua tidak ada di apartemen."
"Apa katamu? Lalu di mana mereka sekarang, apa kau menitipkan mereka pada jasa penitipan anak?"
"Dasar bodoh! Mereka itu anakku, tentu saja aku tidak berani menitip mereka."
"Ayo, antarkan aku menemui gadis manisku," ucap Logan dengan wajah yang khawatir menarik tangan Amory untuk segera bergegas.
"Tidak-tidak. Kamu tidak boleh menemui mereka di sana," sela Amory menarik kembali tangannya.
"Kamu tunggu aku di apartemen, aku akan menjemput mereka di klinik temanku."
"Dengar Amor, aku ini Ayah mereka, aku tidak mau anakku kau titipkan begitu sa—"
"Berhentilah bercanda Logan! Aku serius," tepis Amory dengan wajah kesal.
Satu-satunya alasan Amory yang selama ini dia simpan pada temannya yaitu tentang Logan. Ia sama sekali tidak berani mengungkapkan hubungannya dengan Logan pada Leandra karena Leandra pasti akan mencurigai hubungan antara Logan dan kedua anaknya. Mengenai masalah kehamilannya sendiri masih ia tutupi dari Leandra, ia tidak ingin mengenang tragedi pahit di masa lalunya yang telah dia upayakan untuk menghapusnya dari ingatannya.
Di dalam lift Amory keluar bersama dengan Logan begitu lift berhenti di lantai satu. Saat keluar dia melihat pemandangan aneh di depan matanya. Seluruh karyawan yang berjalan melewatinya seperti kelelahan, mereka bahkan beristirahat di kursi dan memijat-mijat kaki mereka.
"Logan, ada apa dengan mereka?"
"Liftnya rusak," jawab Logan terus berjalan dan mengacuhkan apa yang di lihatnya.
"Sejak kapan?"
"Kemarin."
Satu kata singkat membuat Amory mengerti maksud dari Logan. Dia membalas beberapa kesalahan karyawan pada semua karyawannya karena masalah tentang lift yang tidak boleh digunakan oleh orang yang tidak memiliki kartu karyawan.
Amory ingin meminta Logan untuk memaafkan semua karyawannya, tapi Logan berkeras hati dan mengatakan akan memaafkan mereka jika suasana hatinya sudah membaik.
Mereka pergi dengan mobil masing-masing dan tujuan yang berbeda. Logan kembali ke apartemennya dan menunggu Amory membawa kedua anaknya. Sedangkan Amory sendiri pergi menjemput kedua anaknya di klinik Leandra.
***
Lucy terbaring di ranjang dan sedang di periksa oleh seseorang. Dokter hanya terdiam memberikan resep obat kepada Amory untuk di konsumsi Lucy sesuai anjuran. Sementara Logan dengan wajah cemasnya masih menunggu Lucy sadar dari tidurnya. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengelus kepala Lucy dengan penuh kasih sayang.
"Mrs. Amory, pemicu demam anakmu karena terlalu banyak berpikir. Mungkin saja dia merindukan seseorang sampai membebani pikirannya."
Beberapa kalimat yang di katakan dokter masih terngiang di telinganya. Dia berpikir kalau tidak mungkin seorang anak yang masih kecil akan sakit hanya dengan merindukan seseorang. Dalam lamunan pemikirannya, ia sadar kalau mungkin yang di maksud dengan merindukan seseorang adalah merindukan sosok Ayah baginya.
Memang sejak kecil Lucy pernah satu kali bertanya padanya apa itu Ayah dan sejenis apa dia. Hati Amory seakan tersayat mendengar pertanyaan polos itu. Ia merasa dirinya adalah seorang ibu yang kejam karena tidak mengizinkan anak-anaknya mengenal siapa Ayah mereka. Setiap melihat iklan di sebuah TV yang menunjukkan tentang sebuah keluarga, Lucy bahkan mengambil kesimpulan sendiri kalau arti dari Ayah adalah sama seperti Lucky yang selalu melindunginya dan Logan yang selalu menyayanginya. Ia bahkan bertanya pada Amory kenapa semua teman-temannya memiliki seorang Ayah dan Ibu sedangkan dia hanya memiliki seorang Ibu.
Pedih! ....
Amory tidak sanggup menjawab pertanyaan anak polos itu. Ia semakin tersiksa menyimpan duka di kelopak matanya. Hatinya terasa sudah mau hancur karena mendengar pertanyaan seorang anak kecil yang seperti tombak tajam yang berkali kali tertancap melubangi hatinya. Bukan karena hal tentang lelaki yang menghamilinya dan menghancurkan masa depannya, tapi karena merasa bersalah karena tidak bisa memberikan kehangatan keluarga yang lengkap bagi kedua anaknya, dan merasa bersalah karena telah membawa keduanya dalam ketidakadilan dalam hidupnya.
"Daddy?" panggil Lucy dengan suara yang pelan.
Ia membuka matanya pelan dan melengkungkan sudut bibirnya saat melihat Logan yang berada di sampingnya.
Awalnya Amory ingin mencegahnya dan memperingatinya agar tidak memanggil Logan dengan sebutan itu, tapi niatnya terhenti saat melihat keceriaan di wajah Lucy mulai kembali lagi. Ia hanya terdiam dan memberikan mereka berdua waktu untuk berbicara. Mungkin saja Logan bisa melepaskan rasa rindunya akan sosok Ayah yang selama ini ia pertanyakan pada Amory.
Logan merawat Lucy dan menidurkannya setelah selesai memberikan obat padanya. Sementara Lucky yang melihat hal itu naik di atas ranjang dan duduk menyandarkan badannya di kepala ranjang.
"Paman, biar aku saja yang menjaga adikku. Paman boleh pulang sekarang," ucap Lucky berbisik pelan agar tidak membangunkan Lucy.
"Baiklah Lucky. Lucky adalah Kakak yang baik, tolong jaga adikmu yang manis ini, yah," balas Logan berbisik pelan sambil menepuk pelan kepala Lucky.
"Tentu saja, dia adikku. Sebaiknya Paman segera pergi, orang luar tidak boleh terlalu larut di rumah orang lain."
Amory sedikit lega karena Lucky telah membereskan beban yang ia pikirkan. Namun ia merasa tidak enak juga karena menggunakan seorang anak kecil untuk mengusir Logan di saat dirinya sudah tidak diperlukan lagi.
"Aku pulang dulu. Besok kamu jangan dulu ke kantor, pekerjaanmu adalah merawat gadis kecilku yang manis," ucap Logan dengan wajah serius lalu meninggalkan Amory.
Amory berjalan pelan dan duduk di samping Lucky dengan berkata, "Lucky, kamu tidak boleh berkata seperti itu kepada Paman. Itu tidak sopan,"
"Mami, ini bukan masalah sopan. Ini masalah bisnis."
Amory terdiam bingung mendengar perkataan dari Lucky. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan Lucky.
"Tidak ada hadiah maka tidak ada keuntungan bagiku. Ada hadiah maka akan banyak keuntungan yang akan aku dapatkan," tambah Lucky melengkapi perkataannya yang dijedanya.
Amory menegakkan badannya ia menarik napas panjangnya dan mengembuskannya perlahan sambil menutup matanya.
"Astaga! Apa yang aku makan saat mengandung kalian sehingga pemikiranmu bisa secerdas ini?" gumam Amory tersenyum bodoh menertawai sikap Lucky.